Jumat, 09 April 2021

Azyumardi: PJPI 2020-2035: Tanpa Agama (1)

PJPI 2020-2035: Tanpa Agama (1)

Oleh: Azyumardi Azra

 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam beberapa waktu belakangan ini sedang mempersiapkan dokumen penting bertajuk ‘Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035’ (selanjutnya disebut PJPI).

 

Dokumen kontroversial ini bakal menjadi penunjuk arah pendidikan menuju 2035. Naskah PJPI yang diklaim masih draf dengan penyusun tak jelas telah beredar dan didiskusikan di lingkungan terbatas; Komisi X DPR, kalangan ormas Islam, organisasi pendidikan, pemikir, dan praktisi pendidikan.

 

Meski segera muncul kehebohan di kalangan publik, belum ada pembahasan komprehensif dari Kemendikbud; responnya masih sporadis walau Republika berhari-hari menurunkan laporan tentang hal ini.

 

Agaknya, tak semua pembaca yang ingin membaca naskah PJPI itu dapat mengaksesnya lewat daring atau media massa. Deskripsi ringkas PJPI perlu dikemukakan agar publik dapat memiliki gambaran isinya, kemudian bisa terus memberi kritik dan saran perbaikan.

 

Sebelum disahkan menjadi peraturan presiden (perpres), walau UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak meminta perpres atau semacamnya untuk PJPI. Naskah PJPI yang beredar berupa PPT (atau power points) sebanyak 74 halaman.

 

Naskah PJPI bukan uraian atau narasi lengkap dengan data pendukung atau sumber atau rujukan. Sesuai karakter PPT, substansi dikemukakan dalam kalimat singkat yang sering normatif atau jargon.

 

Secara substansi, naskah PJPI mengandung tiga bagian isi: pertama, tren global dan masa depan pembelajaran; kedua; gambaran pendidikan di Indonesia dan tantangannya; ketiga, peta jalan pendidikan Indonesia.

Kebanyakan isi ini sudah lazim dan diketahui banyak kalangan masyarakat. Dalam bagian pertama, PJPI berbicara banyak tentang dampak disrupsi teknologi dalam berbagai bidang kehidupan.

 

Seperti sosial-budaya, demografi, ekonomi, dan lingkungan hidup dengan semakin berkurang energi fosil, perubahan iklim, dan naiknya permukaan air laut. Juga disebut, disrupsi bertambah parah dengan pandemi Covid-19.

 

Dalam perubahan disruptif, cara bekerja juga berubah. Untuk pemecahan masalah, (orang) perlu lebih bertumpu pada kognisi dan sosial daripada keterampilan. Banyak negara dunia sudah mulai melakukan perubahan pendidikan untuk meresponsnya.

 

Pendidikan Indonesia juga harus berubah. SDM unggul Indonesia tidak dibentuk berdasarkan pengetahuan masa silam. Namun, lebih ditentukan perubahan demografis, literasi digital, stabilitas politik, dan keberhasilan memberantas kemiskinan.

 

Selain itu, Indonesia juga mengalami perubahan lapangan kerja. SDM yang diperlukan adalah mereka yang terpelajar, luhur, adaptif, dan kolaboratif untuk mencapai target pembangunan 2045.

 

Menghadapi tantangan perubahan disruptif itu, PJPI mencatat masalah pendidikan Indonesia (sekarang), seperti rendahnya partisipasi, hasil OISA dan mutu guru, kurangnya infrastruktur, dan kesenjangan pemerintahan.

 

Selain itu, PJPI menyebut kurang memadainya pembelajaran pendidikan tinggi karena rendahnya kualitas pengajar, masalah kurikulum, dan (kelemahan) kolaborasi industri.

 

Juga kesenjangan kualitas pendidikan antara Jawa dan luar Jawa; keterbatasan pemerintahan (lokal) dan masih rendahnya kontribusi dunia industri dan swasta.

 

PJPI menyarankan peningkatan kualitas guru, penyediaan infrastruktur lebih memadai, dan kerja sama erat dengan industri serta swasta.

 

Setelah memaparkan berbagai masalah dunia pendidikan Indonesia karena berbagai faktor di tingkat global, nacional, dan lokal, PJPI kemudian masuk ke bagian yang disebut sebagai ‘Peta Jalan Pendidikan Indonesia’.

 

Peta jalan ini dimulai dengan pernyataan tentang ‘Visi Pendidikan Indonesia 2035’.

 

Visi itu ‘membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pemelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila’.

 

SDM unggul pemelajar yang disebut sebagai ‘pelajar Pancasila’ adalah pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

 

Pada bagian ini, bisa dipahami munculnya kritik keras Ketua Umum PP Muhammadiyah Profesor Haedar Nashir. Haedar menyebut, draf PJPI ‘inkonstitusional karena tidak menggunakan kata atau terminologi ‘agama’. “Menghilangkan frasa agama dalam pendidikan, jelas bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945”.

PJPI tidak memakai kata ‘iman’, ‘takwa’ sebagai kata benda, tetapi sebagai kata kerja ketika menyebut ciri ‘Pelajar Pancasila’ seperti dalam tujuan pendidikan, Pasal 3 UU No 20 Tahun 2003: “...menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia...”. []

 

REPUBLIKA, 18 Maret 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar