Rabu, 28 April 2021

(Ngaji of the Day) Fatwa Onani saat Puasa dan Etika Berfatwa Ustadz

Tempo hari ramai diberitakan di berbagai platform media sosial tentang perkataan salah satu ustadz yang menjawab pertanyaan dari sebagian jamaahnya tentang hukum onani saat puasa: apakah termasuk hal yang membatalkan puasa atau tidak. Ia menjawab bahwa permasalahan tersebut merupakan persoalan khilafiyah, sebagian yang berpandangan haram tapi tidak membatalkan puasa di antaranya adalah Imam as-Syaukani dan Ibnu Hazm.

 

Jawaban ini pun sempat ramai dan menimbulkan kegaduhan, mengingat fatwa hukum yang diberikan cenderung asing didengar oleh orang awam serta berpotensi membuat mereka melakukan tindakan meremehkan (tasahul) terhadap hukum syariat. Lantas sebenarnya benarkah penjelasan bahwa onani saat puasa merupakan hal yang tidak membatalkan puasa?

 

Patut dipahami bahwa menjadikan Imam asy-Syaukani dan Ibnu Hazm sebagai rujukan pengamalan syariat tidaklah dapat dibenarkan dalam ranah fatwa, seperti saat menjawab pertanyaan masyarakat yang disampaikan di muka umum. Sebab keduanya merupakan tokoh ulama di luar mazhab empat yang keotentikan pendapatnya sangatlah diragukan. Dalam hal ini Ibnu Hajar menjelaskan:

 

أن تقليد غير الأئمة الأربعة رضي الله تعالى عنهم لا يجوز في الإفتاء ولا في القضاء وأما في عمل الإنسان لنفسه فيجوز تقليده لغير الأربعة ممن يجوز تقليده لا كالشيعة وبعض الظاهرية

 

“Taklid (mengikuti) pada selain mazhab empat adalah hal yang tidak diperbolehkan dalam ranah fatwa dan putusan hukum. Sedangkan taklid pada selain mazhab empat untuk pengamalan sendiri adalah hal yang boleh, selama ulama tersebut boleh diikuti, bukan seperti Syiah dan sebagian mazhab dhahiriyah” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 10, hal. 183).

 

Bahkan Ibnu Sholah dari mazhab Syafi’i menukil adanya konsensus ulama (ijma’) terkait larangan mengikuti pendapat di luar mazhab empat, baik itu untuk pengamalan diri sendiri ataupun dalam ranah fatwa dan putusan hukum. Hal demikian seperti disampaikan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin:

 

(مسألة: ش): نقل ابن الصلاح الإجماع على أنه لا يجوز تقليد غير الأئمة الأربعة أي حتى العمل لنفسه فضلا عن القضاء والفتوى لعدم الثقة بنسبتها لأربابها بأسانيد تمنع التحريف والتبديل

 

“Imam Ibnu Sholah Menukil adanya konsensus ulama (ijma’) terkait tidak diperbolehkannya mengikuti selain mazhab empat, termasuk untuk digunakan pengamalan diri sendiri,terlebih untuk putusan hukum dan fatwa. Karena tidak terpercayanya penisbatan sebuah pendapat pada orang yang mengemukakan pendapat tersebut dengan runtutan sanad yang tercegah dari penyimpangan dan perubahan” (Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 17).

 

Maka berpijak dari dua referensi di atas, memfatwakan sebuah hukum pada masyarakat dengan berlandaskan pada Imam Ibnu Hazm dan Asy-Syaukani merupakan pelanggaran terhadap norma fatwa yang telah ditentukan oleh syara’.

 

Jika ditelaah lebih mendalam terkait pandangan ulama dalam lingkup Madzahib al-Arba’ah (Mazhab Empat) tentang hukum wadh’i dari onani saat puasa, memang ada sebagian ulama Hanafiyah yang berpendapat tidak batalnya onani saat puasa, sebab tidak wujud makna bersenggama. Hal ini dapat kita lihat misalnya dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:

 

الاستمناء باليد يبطل الصوم عند المالكية ، والشافعية ، والحنابلة ، وعامة الحنفية على ذلك ، لأن الإيلاج من غير إنزال مفطر ، فالإنزال بشهوة أولى . وقال أبو بكر بن الإسكاف ، وأبو القاسم من الحنفية : لا يبطل به الصوم ، لعدم الجماع صورة ومعنى

 

“Onani dengan menggunakan tangan dapat membatalkan puasa menurut Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan mayoritas ulama Hanafiyah, sebab bersenggama tanpa mengeluarkan mani saja dihukumi batal, apalagi mengeluarkan mani dengan adanya syahwat. Syekh Abu Bakar bin Iskaf dan Abu al-Qasim dari mazhab hanafiyah berpandangan tidak batalnya puasa dengan onani, karena tidak terdapat wujud bersenggama baik dari segi bentuk ataupun maknanya” (Kementrian Wakaf dan Urusan Keagamaan Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 4, hal. 100).

 

Namun meski begitu, menjelaskan pendapat tersebut secara massif, terlebih kepada orang awam yang berpotensi meremehkan hukum syariat merupakan hal yang tidak diperbolehkan dalam syariat, dalam Bughyah al-Mustarsyidin dijelaskan:

 

(مسئلة) لا يحل لعالم أن يذكر مسئلة لمن يعلم أنه يقع بمعرفتها فى تساهل فى الدين ووقوع فى مفسدة

 

“Tidak diperbolehkan bagi orang alim menjelaskan sebuah permasalahan pada orang yang ia ketahui akan meremehkan hukum agama dan terjatuh dalam sebuah tindak kerusakan” (Sayyid Ba’alawi al-Hadrami, Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 5).

 

Dalam hal ini perlu bagi kita mencontoh sikap para ulama terdahulu yang sangat hati-hati dalam memberikan fatwa terhadap orang awam dengan cara memberikan hukum-hukum yang membuat mereka semakin hati-hati dalam menjalankan syariat, salah satunya dengan cara tidak menampilkan perkhilafan ulama tentang keringanan-keringanan yang mengakibatkan orang awam semakin meremehkan dalam mengamalkan hukum syariat. Mengenai hal ini, Sayyid al-Quthb Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad menerangkan:

 

وكان العلماء المتقون إذا تكلموا مع عامة المسلمين ،أو استفتوهم العامة في شيء لم يحدثوهم بالرخص ، ولم يخبروهم باختلاف العلماء فيما يوهم الترخص . وكانوا يخبرونهم بما يقتضي الاحتياط في الدين ،والبعد عن الأمور المشتبه ويقولون : العامة نضيق عليهم وهم يوسعون لأنفسهم ؛لما هو الغالب عليهم من الغفلة والانقياد للشهوات والحظوظ الدنياوية . فإن وسعت عليهم وحدثتهم بالرخص ،خرجوا منها إلى المحرمات ؛لأن أكثرهم في مثل أحوال البهائم

 

“Para ulama yang bertakwa ketika berbicara pada orang awam, atau ditanyai sebuah permasalahan oleh mereka, beliau tidak menjelaskan perihal keringanan syariat dan tidak memberikan penjelasan mengenai perbedaan pendapat di antara ulama yang memberi kepahaman tentang keringanan. Beliau-beliau memberikan penjelasan pada mereka tentang hukum yang menuntut kehati-hatian dalam menjalankan agama dan jauh dari perkara yang masih suyubhat. Para ulama berkata: ‘Kepada orang awam, kami persempit jalan mereka’ sedangkan untuk mereka sendiri (para ulama) jalan mengamalkan syariat diperlebar. Hal ini dikarenakan rasa lupa, mengikuti syahwat keinginan dan hal-hal duniawi sangat identik pada sikap orang awam. Jika jalan mengamalkan syariat mereka diperlebar dan diberi tahu tentang keringanan, maka mereka akan keluar dari jalan syariat dengan mengamalkan keharaman. Sebab mayoritas sikap mereka seperti halnya tingkah binatang” (al-Habib Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad, ad-Da’wah at-Tamah wa at-Tadzkirah al-‘Amah, Hal. 76-77)

 

Maka sikap paling bijak dalam menjawab pertanyaan orang awam adalah dengan cukup menjelaskan bahwa onani merupakan hal yang haram dan membatalkan puasa, tanpa perlu memperlebar terhadap perkhilafan yang mengakibatkan masyarakat meremehkan hukum. Terlebih perkhilafan yang disampaikan merupakan pendapat yang tidak dapat difatwakan pada masyarakat secara luas, hingga mengakibatkan kredibilitas ulama yang menyampaikan hukum pada masyarakat menjadi semakin diragukan dan tidak terpercaya.

 

Jika masyarakat awam sudah mapan dengan mengamalkan pendapat yang lebih berhati-hati dan tidak tahu ada pendapat lain, sebaiknya ulama membiarkan mereka tanpa perlu menjelaskan adanya perkhilafan dalam masalah tersebut, karena sejatinya mereka telah berpegang teguh pada pendapat yang lebih hati-hati. Sikap demikian tak lain karena masyarakat awam umumnya memiliki kecenderungan untuk mengambil pendapat yang ringan-ringan. Wallahu a’lam. []

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember

Tidak ada komentar:

Posting Komentar