Etika Politik dalam Al-Qur'an (40)
Pelajaran Diplomasi Publik (6):Diplomasi Hudaibiyyah (2)
Oleh: Nasaruddin Umar
Pilihan kebijakan Nabi meskipun agak kontroversi tetapi ternyata pada akhirnya itu yang terbaik. Sekiranya para pelintas batas kaum kafir Quraisy harus ditahan di Madinah maka sudah barang tentu akan memberikan beban ekonomi tambahan bagi masyarakat Madinah yang sudah kebanjiran pengunsi dari Meca. Sebaliknya kalau para pelintas batas dari Madinah ditahan di Mekkah dibiarkan, karena pasiti mereka itu para kader dan dapat melakukan uapay politik pecah-belah di antara suku-suku yang ada di dalam masyarakat Quraish. Pada saat bersamaan, Rasulullah terus menggalang pengaruh dengan kabilah-kabilah pinggiran dan karena kepiawaiannya, maka Rasulullah berhasil memukai sejumlah kabilah-kabilah kecil dan bersatu di bawah kekuatan Rasulullah. Kabilah-kabilah yang tadinya terpecah belah di kawasan Yatsrib (Madinah), Rasulullah berhasil disatukannya, terutama dua suku besar yaitu suku 'Aus dan suku Khazraj. Akhirnya kekuatan umat Islam yang juga didukung oleh umat Agama lain semakin besar. Pada saat bersamaan, diplomasi publik dan diplomasi internasional Rasulullah jalan terus, melampaui batas-batas geografis Arab, termasuk menjali kerjasama dengan negara adidaya Romawi Bizantium di Barat dan Persia di Timur.
Kafir Quraisy Mekkah semakin terkucil karena kabilah-kabilah kecil yang berada di bawah pengaruhnya satu per satu meninggalkannya dan bergabung dengan kekuatan Rasulullah. Pengaruh Rasulullah semakin tak terbendung. Namun tidak berarti kaum kafir tidak memiliki kekuatan. Sisa-sisa kekuatan mereka sewaktu-waktu dihimpun untuk menyerang kekuatan Rasulullah, tetapi kekuatan-kekuatan mereka tetap dipatahkan. Tentara-tentara kaum kafir Quraisy seringkali kehilangan fokus sehingga meskipun jumlah mereka besar tetapi mereka tetap tidak berdaya menghadapi pasukan Rasulullah yang sudah dilatih dengan menghadirkan pelatih-pelatih asing profesional, termasuk di antaranya yang amat terkenal sebagai arsitek perang Rasulullah, yaitu Salman al-Farisi, seorang expertist perang dari Persia.
Keunggulan diplomasi dan strategi Rasulullah memang betul-betul menakjubkan.
Suatu ketika tahanan Perang Badar yang dutahan di depan mesjid menimbulkan
persoalan. Rasulullah meminta pendapat para sahabatnya. Umar mengusulkan
laki-lakinya berlaku hukum perang, dibunuh dan perempuannya dijadikan budak.
Abu Bakar berpendapat lain. Ia mengusulkan agar tawanan perang dimanfaatkan
potensinya untuk kekuatan umat Islam di Madinah. Rasulullah memilih pendapat
Abu Bakar. Rasulullah kemudian meminta para sahabatnya untuk memilah-milah
tawanan perang lalu mereka diminta untuk mengajar dan membebaskan masyarakat
Madinah dari buta huruf dan buta keterampilan. Pembebasan bersyarat ini
memperoleh hasil ganda, selain meningkatkan kekuatan potensi ekonomi umat,
kebijakan ini juga membuat para tawanan perang berbalik mendukung Rasulullah
dan menganut agama Islam dengan sadar tanpa paksaan, karena mereka baru sadar
akan keluhuran budi pekerti Rasulullah dan keagungan ajaran Islam yang
dilihatnya sangat berbeda dengan apa yang mereka dengar dari pimpinannya.
Dari kenyataan di atas dapat disimpulkan bahwa salahsatu kesuksesan misi
Rasulullah karena ia selalu menyikapi setiap persoalan dengan tenang dan dengan
berfikir jernih. Kebijakan-kebijakannya seringkali dinilai tidak populis oleh
sahabat-sahabatnya tetapi pada akhirnya kebijakan itu dinilai lebih tepat.
Spontanitas emosional terkadang memang menjadi bumerang. Al-Qur'an juga
mengingatkan kita: "Janganlah karena kebencianmu pada suatu kelompok
membuatmu tidak beralu adil". Ayat lain: "Janganlah menceburkan diri
kalian ke dalam kebinasaan". Rasulullah juga sering mengambil langkah
mundur untuk mencapai suatu kemenangan. Tidak mesti harus menempuh langkah
nekad atau mengorbankan diri untuk mencapai suatu tujuan. []
DETIK, 31 Oktober 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar