الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya, “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”
Allah mengajari kita bagaimana seharusnya memuji dan menyucikan pihak yang pantas dipuji dan disucikan. Seakan Allah mengatakan, “Wahai hamba-Ku, jika kalian ingin bersyukur dan memuji-Ku, katakanlah, ‘Alhamdu lillah.’ Bersyukurlah atas kebaikan dan keelokan-Ku. Aku lah Allah yang mulia, agung; yang esa menciptakan; tuhan jin, manusia, dan malaikat; tuhan langit dan bumi.” Puji dan syukur hanya milik-Nya, bukan selain-Nya yang dipertuhankan. (As-Shabuni, 1999 M/1420 H: 25).
Ibnu Katsir (1301 M-1372 M) mengawali penafsiran Surat Al-Fatihah ayat 1 dan ayat 2 dengan cara pelafalan dan ragam bacaan. Ia mengisahkan cara mayoritas ulama yang membaca kasrah pada huruf terakhir Surat Al-Fatihah ayat 1, yaitu mim; “bismillahir rahmanir rahimi.” Ia juga mengutip Al-Kisa’i yang menghikayatkan sebagian orang Arab yang membaca fathah pada mim dan mewashalnya, “bismillahir rahmanir rahimal hamdu lillah rabbil ‘alamin.”
Ibnu Katsir mengatakan bahwa qiraat sab’ah membaca awal Surat Al-Fatihah ayat 2 dengan dhammah sebagai struktur mubtada dan khabar, “alhamdu lillahi.” Sedangkan Sufyan bin ‘Uyaynah dan Ra’bah bin Ajjaj membaca fathah (salah satu pemarkah nashab) pada huruf dal sebagai objek atau ma’ful atas kata kerja yang dilesapkan, “alhamda lillahi.”
Ibnu Katsir juga mengutip Ibnu Abi ‘Abalah yang membaca dhammah pada huruf lam karena menyesuaikan dengan huruf dal sebelumnya yang juga dhammah, “alhamdu lullahi.” Bacaan ini terbilang langka. Sedangkan Al-Hasan dan Zaid bin Ali membaca kasrah pada huruf dal karena menyesuaikan dengan huruf lam setelahnya, “alhamdi lillahi.” (Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Azhim, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 14).
Adapun Imam Al-Baidhawi dalam tafsirnya membawa riwayat yang menyebutkan bahwa “rabb” dibaca fathah karena “madah,” “nida,” atau “maf’ul” atas kata kerja yang dilesapkan. Dengan demikian, pembacaannya menurut riwayat ini adalah “alhamdu lillahi rabbal ‘alamin.” (Al-Qadhi Al-Baidhawi, 1998 M/1419 H: 34). Sedangkan Imam Al-Qurthubi mengatakan bahwa “rabb” dapat dibaca rafa’ dan nashab sehingga dibaca “rabbul alamin” dan “rabbal alamin”.
Syekh Muhammad Ali As-Shabuni dalam tafsirnya Shafwatut Tafasir bahwa “alhamdu lillahi” merupakan pujian ketakziman disertai dengan rasa cinta. Pujian di sini melebihi arti syukur karena syukur hanya berkaitan dengan nikmat. Sedangkan “Allah” adalah nama untuk zat suci dan mulia tanpa sekutu. Ia mengutip Al-Qurthubi yang menyebut “Allah” sebagai nama terbesar dan nama Allah paling sempurna. Ia merujuk pada zat yang haq, mencakup segala sifat ilahi dan meliputi sifat rububiyah, yang sendiri sebagai ujud hakiki tanpa sekutu.
Kata “rabb” merupakan turunan kata dari “tarbiyah” yang berarti memperbaiki dan memerhatikan urusan pihak lain. As-Shabuni menyebutkan kalimat Al-Harawi yang dikutip oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya, “Dikatakan untuk orang yang memperbaiki dan menyempurnakan sesuatu, ‘qad rabbahu.’ Salah satunya adalah kalangan pendeta yang merawat al-kitab.” Kata “rabb” sendiri mewakili banyak arti, yaitu penguasa, pembawa kemaslahatan, zat yang disembah, dan tuan yang dipatuhi. (As-Shabuni, 1999 M/1420 H: 25).
الرب في الأصل مصدر بمعنى التربية : وهي تبليغ الشيء إلى كماله شيئاً فشيئاً
Artinya, “Rabb asalnya adalah mashdar yang berarti tarbiyah, yaitu mengantarkan sesuatu menuju kesempurnaannya sedikit demi sedikit,” (Al-Qadhi Al-Baidhawi, Anwarut Tanzil [Istanbul, Darul Haqiqah: 1998 M/1419 H], juz I, halaman 32).
Syekh Jalaluddin dalam Tafsirul Qur’anil Azhim (Tafsirul Jalalain) menafsirkan pujian “alhamdu lillahi” sebagai penanda bahwa Allah adalah pemilik segala pujian makhluk dan layak untuk menerima pujian mereka. Allah adalah nama zat tuhan yang disembah. Sedangkan “rabbil alamin” menunjukkan bahwa Allah adalah penguasa semua makhluk baik manusia, jin, malaikat, binatang melata, dan lain sebagainya. Semuanya dapat disebut “alam” seperti istilah “alam manusia,” “alam jin,” dan seterusnya. Kata “alam” tampil pada ayat ini dalam bentuk jamak karena umumnya semua itu menjadi tanda bagi lainnya yang berasal dari kata “alamah.” Ia menjadi tanda ata Penciptanya.
Kata “alam” mencakup manusia, jin, malaikat, setan sebagaimana pendapat Al-Fara’ bahwa kata “alam” merupakan pecahan kata dari “alamah” atau tanda karena alam merupakan tanda atas keberadaan Pencipta. (Syekh Muhammad Ali As-Shabuni, Shafwatut Tafasir, [Jakarta, Darul Kutub Al-Islamiyah: 1999 M/1420 H], cetakan pertama, juz I, halaman 25).
Sebagian ulama mengartikan bahwa Allah memiliki 18 ribu, 14 ribu, atau 40 ribu alam, termasuk alam jin dan alam manusia. Sedangkan ulama tafsir lainnya mengatakan bahwa Allah menguasai seribu umat; 600 di laut dan 400 di darat. (Ibnu Katsir, tanpa tahun: 15).
Makna Umum Alhamdu Lillah atau Tahmid
Imam At-Thabari dalam karyanya menafsirkan “alhamdu lillahi” sebagai bentuk syukur dan pujian yang ditujukan murni kepada Allah semata, terlepas dari apa yang dipertuhankan atas segala nikmat-Nya yang tak terhingga terhadap makhluk, sebuah nikmat yang tiada seorang pun selain-Nya dapat membilang. Ia mengutip pendapat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa “alhamdu lillah” merupakan bentuk syukur kepada-Nya; tunduk; dan pengakuan atas nikmat dan petunjuk-Nya.
Adapun Ibnu Katsir mengatakan bahwa “alhamdu lillah” merupakan pujian Allah untuk diri-Nya sendiri. Meski demikian, di dalam nya terkandung perintah kepada hamba-Nya untuk memuji-Nya. Ia mengutip riwayat Abu Hatim dari Ibnu Abbas yang merekam percakapan Sayyidina Umar dan Sayyidina Ali.
“Kita mengerti ‘subhanallah,’ ‘la ilaha illallah,’ dan ‘Allahu akbar,’ tetapi ‘alhamdu lillah?’” tanya Sayyidina Umar. “Itu (alhamdu lillah) kalimat yang disukai dan diridhai Allah untuk diri-Nya, dan disukai oleh-Nya untuk dibaca,” jawab Sayyidina Ali. Lafal “alhamdu lillah” memiliki keutamaan luar biasa. banyak hadits meriwayatkan keutamaan bacaan lafal tahmid ini. Salah satunya hadits riwayat Anas bin Malik dalam Tafsir Al-Qurthubi yang dikutip oleh Ibnu Katsir sebagai berikut.
عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لو أن الدنيا بحذافيرها في يد رجل من أمتي ثم قال: الحمد لله، لكان الحمد لله أفضل من ذلك
Artinya, “Dari Anas RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Seandainya dunia dengan segala tepinya berada di dalam genggaman seorang umatku, lalu dia mengucap ‘alhamdu lillah,’ niscaya lebih utama lafal ‘alhamdu lillah’ daripada itu (dunia seisinya).’” Ibnu Katsir menambahkan pandangan Ibnu Abbas. Menurutnya, “alhamdu lillah” adalah kalimat syukur. Jika seseorang mengucapkannya, Allah berkata, “hamba-Ku telah bersyukur kepada-Ku.”
Sementara Imam At-Thabari mengatakan dalam tafsirnya bahwa syukur tidak cukup dengan ucapan, tetapi juga dengan hati dan tindakan. Wallahu a‘lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar