Rabu, 21 April 2021

Satrawi: Menjinakkan Terorisme

Menjinakkan Terorisme

Oleh: Hasibullah Satrawi

TERORISME, sebuah kata yang identik dengan kekerasan; bom, senjata, darah, aparat (junud, bahasa Arab), sadisme; luka-luka, tubuh yang hancur, korban meninggal, bahkan bom bunuh diri. Mirisnya adalah hal ini tak hanya diidentikkan dengan pelaku terorisme, melainkan juga tak jarang dikaitkan kepada para pihak yang berjuang untuk menyelesaikan terorisme, khususnya aparat. Bahkan, tak jarang mereka yang menjadi korban dari aksi terorisme ini juga terkena efek ngeri dari kata terorisme itu sendiri.


Padahal, terorisme tak selalu identik dengan kekerasan dan sadisme seperti di atas. Alih-alih di kalangan aparat yang berjuang untuk menyelesaikan persoalan terorisme ataupun masyarakat sipil yang terdampak aksi terorisme, bahkan di kalangan pelaku terorisme itu sendiri terorisme tak selamanya dan seluruhnya bercorak kekerasan dan kengerian. Minimal kalau kita merujuk kepada yang dirasakan oleh sebagian teroris. Itu sebabnya, tak jarang para teroris menolak disebut sebagai teroris (dengan konotasi sebagaimana di atas), malah mereka menyebut diri sebagai pejuang (mujahid, bahasa Arab).


Bila terorisme diurai dari tahap awal hingga akhir perjuangan yang ingin dicapai (visi), hal-hal bercorak kekerasan seperti yang selama ini identik dengan kata terorisme (sebagaimana di atas) merupakan tujuan antara yang sifatnya situasional dan kondisional. Sementara tujuan akhirnya adalah menegakkan sistem kehidupan bernegara yang sesuai dengan keyakinan mereka. Cita-cita terkait dengan penegakan sistem kehidupan bernegara yang sesuai dengan keyakinannya mungkin tidak hadir atau dimiliki oleh setiap pribadi yang bergabung dengan jaringan terorisme, tapi hampir dipastikan cita-cita tersebut menjadi tujuan dari organisasi teror yang diikuti.


Disebut situasional dan kondisional karena aksi kekerasan seperti penyerangan aparat ataupun pengeboman dilakukan untuk menaklukkan musuh-musuh yang dianggap sebagai thaghut atau penolong thaghut (ansor thaghut). Karena itu, mereka kerap menyebut aksinya dengan label-label heroik seperti mati syahid (mereka menolak disebut bunuh diri) yang nilainya sangat tinggi dalam ajaran Islam.


Di luar hal-hal yang bersifat situasional dan kondisional, hampir tak ada apa pun dari dunia terorisme yang bercorak kekerasan. Sebaliknya, hal-hal yang ada justru bercorak keagamaan, kepedulian, kehangatan, bahkan kepahlawanan, khususnya pada tahap proses awal.


Disebut keagamaan, karena sebagian orang bergabung dengan jaringan terorisme akibat ingin menemukan pola keberagamaan yang lebih murni dan sejati. Kebetulan jaringan terorisme acap mengklaim penjaga dan penerus keberagamaan yang murni dan sejati. Hingga akhirnya yang bersangkutan bergabung dengan kelompok teror dengan tujuan awal mempelajari keberagamaan yang dianggap sejati dan murni.


Pun demikian disebut kepedulian, karena sebagian orang bergabung dengan jaringan terorisme akibat peduli terhadap persoalan sosial-ekonomi-politik, khususnya yang menimpa umat yang satu agama. Seseorang yang bergabung dengan jaringan terorisme karena semangat ini kadang-kadang sampai pada tahap melupakan “saudara dekat” karena peduli dengan “saudara jauh”. Umat satu agama yang ada di luar negeri, misalnya, terasa sangat dekat dan perlu dibela. Walaupun dalam rangka pembelaan yang dilakukan, aksi para teroris justru melukai dan mengorbankan saudara dekat yang ada di dalam negeri.


Kepedulian dengan latar belakang sempit seperti ini tentu belum ideal, karena sejatinya kepedulian bersifat kemanusiaan universal. Namun, yang ingin penulis tegaskan bahwa sampai di titik ini belum ada anasir kekerasan fisik yang identik dengan kata terorisme sebagaimana di atas.


Pun demikian dikatakan penuh kehangatan, karena di internal mereka para teroris mempraktikkan kehangatan dan persaudaraan yang sedalam-dalamnya. Kehangatan praktik persaudaraan yang ada kadang-kadang dirasa lebih hangat dibandingkan saudara kandung, khususnya bagi mereka yang sudah mulai terpapar paham ini. Hal ini pernah disampaikan kepada penulis oleh seorang mantan teroris yang sekarang sudah bertobat.


Walaupun dalam pengalaman mantan teroris yang lain, janji kehangatan persaudaraan seperti ini justru menjadi alasan keluar dan meninggalkan jaringan terorisme. Khususnya ketika orang tersebut ditahan di dalam penjara. Dalam kondisi seperti ini, kehangatan persaudaraan yang ada hanyalah janji kosong. Hingga akhirnya yang bersangkutan meninggalkan jaringan yang ada.


Sampai di sini belum ada hal-hal yang bersifat kekerasan seperti pengeboman, penyerangan, ataupun bom bunuh diri. Hal-hal yang bersifat kekerasan sebagaimana di atas biasanya mulai dilakukan, dilatih, direncanakan ataupun dilaksanakan ketika terkait dengan kepahlawanan; membela umat dan melawan thaghut untuk menegakkan kehidupan bernegara yang diyakini.


Dengan kata lain, dalam rangka menjadi pahlawan dan pejuang umat (mujahid) sebagian teroris siap dan dipersiapkan untuk melakukan aksi-aksi kekerasan seperti pengeboman ataupun peperangan. Dan, di tahapan seperti ini, doktrin-doktrin terkait kepahlawanan ditanamkan sekuat mungkin, khususnya kepada mereka yang akan melakukan aksi penyerangan, pengeboman, ataupun peperangan seperti keutamaan mati syahid, kehidupan surga dengan semua bidadari yang ada, keutamaan jihad, dan yang lainnya.


Persoalannya adalah pemberantasan terorisme yang ada selama ini kurang mendeteksi proses awal terorisme sebagaimana di atas. Bahkan, tak jarang upaya yang ada datang kepada masyarakat dengan trauma bahasa (terorisme) seperti yang timbul dari aksi pelaku terorisme; seperti tema kegiatan “Dalam Rangka Pencegahan Terorisme”, “Pemberantasan Terorisme”, dan yang lainnya. Alih-alih membangun kesadaran awal masyarakat terkait dengan proses awal masuknya paham terorisme, sebagian masyarakat mungkin merasa bukan menjadi bagian penting dari upaya penyelesaian persoalan terorisme mengingat terorisme identik dengan persenjataan yang lebih melekat kepada aparat daripada masyarakat sipil.


Padahal, proses-proses awal masuknya paham terorisme sebagaimana di atas sejatinya bisa dikenali oleh orang-orang terdekat yang tidak terpapar paham ini, baik di lingkungan keluarga, lingkungan tetangga, atau bahkan pendidikan. Pada titik ini, sangat dibutuhkan adanya indikasi-indikasi khusus yang bisa dijadikan pegangan oleh masyarakat; antara semangat keagamaan yang wajar dan yang mengarah pada paham terorisme; antara solidaritas keumatan yang wajar dan yang mengarah pada aksi kekerasan; dan begitu seterusnya.


Inilah yang penulis maksud dengan istilah menjinakkan terorisme. Alih-alih aparat yang bertugas ataupun masyarakat sipil yang menjadi korban aksi terorisme, para pelaku terorisme pun perlu dijinakkan. Salah satunya dengan memberikan gambaran dampak dari aksi terorisme, baik terhadap korbannya (sipil atau aparat) maupun terhadap pelaku dan keluarganya.


Dampak bagi korban dan keluarga korban mungkin sudah jelas (baik korban luka ataupun meninggal). Bagaimana dampak bagi pelaku yang meyakini aksinya sebagai mati syahid yang akan mendapatkan bidadari? Dampak bagi pelaku kalau masih hidup bisa dipenjara yang akan menyengsarakan dirinya dan keluarganya atau mungkin justru cacat seumur hidup akibat bom yang diledakkannya sendiri. Sementara hal-hal yang terkait dengan akhirat (masuk surga) terlalu murah dan mudah bila dilakukan dengan bom bunuh diri. Padahal, surga, juga mati syahid, hanya bagi mereka yang tak pernah menyerah maupun putus asa dalam menyeru pada kebaikan. Dan, yang tak kalah penting adalah kaum beriman sejati tunduk total atas kehendak Allah, bukan justru mengatur Allah dengan amal-amalnya.
[]

 

SINDONEWS, 16 April 2021

Hasibullah Satrawi | Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir, Pengamat Terorisme dan Politik Timur Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar