Oleh: Hasibullah Satrawi
TERORISME, sebuah kata yang identik dengan kekerasan; bom, senjata, darah, aparat (junud, bahasa Arab), sadisme; luka-luka, tubuh yang hancur, korban meninggal, bahkan bom bunuh diri. Mirisnya adalah hal ini tak hanya diidentikkan dengan pelaku terorisme, melainkan juga tak jarang dikaitkan kepada para pihak yang berjuang untuk menyelesaikan terorisme, khususnya aparat. Bahkan, tak jarang mereka yang menjadi korban dari aksi terorisme ini juga terkena efek ngeri dari kata terorisme itu sendiri.
Padahal, terorisme tak selalu identik dengan kekerasan dan sadisme seperti di
atas. Alih-alih di kalangan aparat yang berjuang untuk menyelesaikan persoalan
terorisme ataupun masyarakat sipil yang terdampak aksi terorisme, bahkan di
kalangan pelaku terorisme itu sendiri terorisme tak selamanya dan seluruhnya
bercorak kekerasan dan kengerian. Minimal kalau kita merujuk kepada yang
dirasakan oleh sebagian teroris. Itu sebabnya, tak jarang para teroris menolak
disebut sebagai teroris (dengan konotasi sebagaimana di atas), malah mereka
menyebut diri sebagai pejuang (mujahid, bahasa Arab).
Bila terorisme diurai dari tahap awal hingga akhir perjuangan yang ingin
dicapai (visi), hal-hal bercorak kekerasan seperti yang selama ini identik
dengan kata terorisme (sebagaimana di atas) merupakan tujuan antara yang
sifatnya situasional dan kondisional. Sementara tujuan akhirnya adalah
menegakkan sistem kehidupan bernegara yang sesuai dengan keyakinan mereka.
Cita-cita terkait dengan penegakan sistem kehidupan bernegara yang sesuai
dengan keyakinannya mungkin tidak hadir atau dimiliki oleh setiap pribadi yang
bergabung dengan jaringan terorisme, tapi hampir dipastikan cita-cita tersebut
menjadi tujuan dari organisasi teror yang diikuti.
Disebut situasional dan kondisional karena aksi kekerasan seperti penyerangan
aparat ataupun pengeboman dilakukan untuk menaklukkan musuh-musuh yang dianggap
sebagai thaghut
atau penolong thaghut (ansor
thaghut). Karena itu, mereka kerap menyebut aksinya dengan
label-label heroik seperti mati syahid (mereka menolak disebut bunuh diri) yang
nilainya sangat tinggi dalam ajaran Islam.
Di luar hal-hal yang bersifat situasional dan kondisional, hampir tak ada apa
pun dari dunia terorisme yang bercorak kekerasan. Sebaliknya, hal-hal yang ada
justru bercorak keagamaan, kepedulian, kehangatan, bahkan kepahlawanan,
khususnya pada tahap proses awal.
Disebut keagamaan, karena sebagian orang bergabung dengan jaringan terorisme akibat
ingin menemukan pola keberagamaan yang lebih murni dan sejati. Kebetulan
jaringan terorisme acap mengklaim penjaga dan penerus keberagamaan yang murni
dan sejati. Hingga akhirnya yang bersangkutan bergabung dengan kelompok teror
dengan tujuan awal mempelajari keberagamaan yang dianggap sejati dan murni.
Pun demikian disebut kepedulian, karena sebagian orang bergabung dengan
jaringan terorisme akibat peduli terhadap persoalan sosial-ekonomi-politik,
khususnya yang menimpa umat yang satu agama. Seseorang yang bergabung dengan
jaringan terorisme karena semangat ini kadang-kadang sampai pada tahap
melupakan “saudara dekat” karena peduli dengan “saudara jauh”. Umat satu agama
yang ada di luar negeri, misalnya, terasa sangat dekat dan perlu dibela. Walaupun
dalam rangka pembelaan yang dilakukan, aksi para teroris justru melukai dan
mengorbankan saudara dekat yang ada di dalam negeri.
Kepedulian dengan latar belakang sempit seperti ini tentu belum ideal, karena
sejatinya kepedulian bersifat kemanusiaan universal. Namun, yang ingin penulis
tegaskan bahwa sampai di titik ini belum ada anasir kekerasan fisik yang
identik dengan kata terorisme sebagaimana di atas.
Pun demikian dikatakan penuh kehangatan, karena di internal mereka para teroris
mempraktikkan kehangatan dan persaudaraan yang sedalam-dalamnya. Kehangatan
praktik persaudaraan yang ada kadang-kadang dirasa lebih hangat dibandingkan
saudara kandung, khususnya bagi mereka yang sudah mulai terpapar paham ini. Hal
ini pernah disampaikan kepada penulis oleh seorang mantan teroris yang sekarang
sudah bertobat.
Walaupun dalam pengalaman mantan teroris yang lain, janji kehangatan
persaudaraan seperti ini justru menjadi alasan keluar dan meninggalkan jaringan
terorisme. Khususnya ketika orang tersebut ditahan di dalam penjara. Dalam
kondisi seperti ini, kehangatan persaudaraan yang ada hanyalah janji kosong.
Hingga akhirnya yang bersangkutan meninggalkan jaringan yang ada.
Sampai di sini belum ada hal-hal yang bersifat kekerasan seperti pengeboman,
penyerangan, ataupun bom bunuh diri. Hal-hal yang bersifat kekerasan
sebagaimana di atas biasanya mulai dilakukan, dilatih, direncanakan ataupun
dilaksanakan ketika terkait dengan kepahlawanan; membela umat dan melawan
thaghut untuk menegakkan kehidupan bernegara yang diyakini.
Dengan kata lain, dalam rangka menjadi pahlawan dan pejuang umat (mujahid)
sebagian teroris siap dan dipersiapkan untuk melakukan aksi-aksi kekerasan
seperti pengeboman ataupun peperangan. Dan, di tahapan seperti ini,
doktrin-doktrin terkait kepahlawanan ditanamkan sekuat mungkin, khususnya
kepada mereka yang akan melakukan aksi penyerangan, pengeboman, ataupun
peperangan seperti keutamaan mati syahid, kehidupan surga dengan semua bidadari
yang ada, keutamaan jihad, dan yang lainnya.
Persoalannya adalah pemberantasan terorisme yang ada selama ini kurang
mendeteksi proses awal terorisme sebagaimana di atas. Bahkan, tak jarang upaya
yang ada datang kepada masyarakat dengan trauma bahasa (terorisme) seperti yang
timbul dari aksi pelaku terorisme; seperti tema kegiatan “Dalam Rangka
Pencegahan Terorisme”, “Pemberantasan Terorisme”, dan yang lainnya. Alih-alih
membangun kesadaran awal masyarakat terkait dengan proses awal masuknya paham
terorisme, sebagian masyarakat mungkin merasa bukan menjadi bagian penting dari
upaya penyelesaian persoalan terorisme mengingat terorisme identik dengan
persenjataan yang lebih melekat kepada aparat daripada masyarakat sipil.
Padahal, proses-proses awal masuknya paham terorisme sebagaimana di atas
sejatinya bisa dikenali oleh orang-orang terdekat yang tidak terpapar paham
ini, baik di lingkungan keluarga, lingkungan tetangga, atau bahkan pendidikan.
Pada titik ini, sangat dibutuhkan adanya indikasi-indikasi khusus yang bisa
dijadikan pegangan oleh masyarakat; antara semangat keagamaan yang wajar dan
yang mengarah pada paham terorisme; antara solidaritas keumatan yang wajar dan
yang mengarah pada aksi kekerasan; dan begitu seterusnya.
Inilah yang penulis maksud dengan istilah menjinakkan terorisme. Alih-alih
aparat yang bertugas ataupun masyarakat sipil yang menjadi korban aksi
terorisme, para pelaku terorisme pun perlu dijinakkan. Salah satunya dengan
memberikan gambaran dampak dari aksi terorisme, baik terhadap korbannya (sipil
atau aparat) maupun terhadap pelaku dan keluarganya.
Dampak bagi korban dan keluarga korban mungkin sudah jelas (baik korban luka
ataupun meninggal). Bagaimana dampak bagi pelaku yang meyakini aksinya sebagai
mati syahid yang akan mendapatkan bidadari? Dampak bagi pelaku kalau masih
hidup bisa dipenjara yang akan menyengsarakan dirinya dan keluarganya atau
mungkin justru cacat seumur hidup akibat bom yang diledakkannya sendiri.
Sementara hal-hal yang terkait dengan akhirat (masuk surga) terlalu murah dan
mudah bila dilakukan dengan bom bunuh diri. Padahal, surga, juga mati syahid,
hanya bagi mereka yang tak pernah menyerah maupun putus asa dalam menyeru pada
kebaikan. Dan, yang tak kalah penting adalah kaum beriman sejati tunduk total
atas kehendak Allah, bukan justru mengatur Allah dengan amal-amalnya. []
SINDONEWS, 16 April 2021
Hasibullah Satrawi | Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir, Pengamat Terorisme dan Politik Timur Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar