Menjaga lisan dari perkataan buruk merupakan keharusan. Nabi Muhammad ﷺ biasa menghindari penyampaian sesuatu yang terkesan jorok, dengan tidak menyebutkannya secara eksplisit, melainkan menggunakan kata kiasan. Misalnya pada kasus seperti terekam dalam hadits yang diceritakan oleh Abad bin Hamim:
أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ الَّذِي يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلاَةِ؟ فَقَالَ: «لاَ يَنْفَتِلْ - أَوْ لاَ يَنْصَرِفْ - حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Artinya: "Seorang laki-laki mengeluh kepada Rasulullah ﷺ bahwa ia seolah-olah merasakan sesuatu (seperti kentut) dalam shalatnya. Lalu Nabi menyarankan orang tersebut untuk tidak meninggalkan shalatnya sampai ia benar-benar mendengar suara atau mencium bau” (HR Bukhari).
Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad tidak secara eksplisit menyebut kalimat misalnya “sampai dia mendengar suara atau bau kentut” tapi hanya dengan istilah “mendengar suara atau mencium bau” saja. Kebiasaan Nabi memang menghindari menyebutkan kalimat-kalimat yang terkesan jorok jika diucapkan apa adanya.
Pernyataan-pernyataan yang kurang baik memang perlu dihindari. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar mengisahkan ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasul. Pertanyaan itu hanya perumpamaan saja, namun akibatnya ia malah mengalami sendiri. Berikut haditsnya:
يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَأَيْتَ أَنْ لَوْ وَجَدَ أَحَدُنَا امْرَأَتَهُ عَلَى فَاحِشَةٍ، كَيْفَ يَصْنَعُ إِنْ تَكَلَّمَ تَكَلَّمَ بِأَمْرٍ عَظِيمٍ؟ وَإِنْ سَكَتَ سَكَتَ عَلَى مِثْلِ ذَلِكَ، قَالَ: فَسَكَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُجِبْهُ، فَلَمَّا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ أَتَاهُ، فَقَالَ: " إِنَّ الَّذِي سَأَلْتُكَ عَنْهُ قَدِ ابْتُلِيتُ بِهِ،
Artinya: “Ya Rasulallah, bagaimana menurut anda seumpama seseorang di antara kita ada yang mendapati istrinya sedang melakukan perzinahan (selingkuh)? Apa yang harus dilakukan? Kalau mau dibicarakan, mestinya dia akan membicarakan masalah besar. Namun kalau mau diam, kok dia ya mendiamkan masalah besar? Mendapati pertanyaan tersebut, Nabi Muhammad ﷺ hanya diam seribu bahasa. Beliau tidak berkenan menjawab. Setelah beberapa waktu, laki-laki yang pernah melontarkan pertanyaan pengandaian itu sowan kepada Nabi. Ia mengaku, pertanyaan yang pernah ia lontarkan ternyata menimpa dirinya. Ia mengaku mendapat ujian dari Allah bahwa istrinya malah selingkuh” (HR Muslim: 1493) .
Subuah kisah yang diceritakan oleh Ibnu Abbas:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى أَعْرَابِيٍّ يَعُودُهُ، قَالَ: وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ عَلَى مَرِيضٍ يَعُودُهُ قَالَ: «لاَ بَأْسَ، طَهُورٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ» فَقَالَ لَهُ: «لاَ بَأْسَ طَهُورٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ» قَالَ: قُلْتُ: طَهُورٌ؟ كَلَّا، بَلْ هِيَ حُمَّى تَفُورُ، أَوْ تَثُورُ، عَلَى شَيْخٍ كَبِيرٍ، تُزِيرُهُ القُبُورَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَنَعَمْ إِذًا
Artinya: “Nabi Muhammad ﷺ mendatangi seorang Badui yang sedang sakit. Setiap mengunjungi orang sakit, Nabi bersabda: ‘Tidak apa-apa, menjadi penghapus dosa. insyaallah.’ Begitu juga perkataan Nabi tersebut, beliau sampaikan kepada orang Badui yang sedang sakit. Reaksi Badui ketika mendapatkan doa, malah berkata: ‘Penghapus dosa? Sekali-kali tidak (tidak mungkin), sakit panas saya yang bergejolak ini memang menimpa orang tua yang sudah lanjut usia yang mengantarkannya ke alam kubur.’ Maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Iya sudah kalau begitu” (HR Al-Bukhari: 3616).
Setelah orang Badui mengatakan bahwa panas yang ia derita adalah panas yang menghantarkannya kepada kematian, menurut At-Thabarani, besok paginya si Badui meninggal dunia.
Cerita lain tentang ucapan yang menjadi kenyataan adalah kisah Nabi Yusuf kecil di saat ia diajak oleh saudara-saudaranya untuk pergi ke hutan, ayah Nabi Yusuf yang bernama Nabi Ya’qub berat melepaskan Yusuf kecil. Beliau sempat mengatakan:
إِنِّي لَيَحْزُنُنِي أَنْ تَذْهَبُوا بِهِ وَأَخَافُ أَنْ يَأْكُلَهُ الذِّئْبُ وَأَنْتُمْ عَنْهُ غَافِلُونَ
Artinya: “Sesungguhnya aku atas kepergian kalian bersama Yusuf sangat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala sedang kalian lengah darinya" (QS Yusuf: 13).
Setelah saudara-saudaranya Nabi Yusuf pulang dari hutan, ternyata mereka tidak membawa pulang Nabi Yusuf. Walaupun berbohong, mereka mengaku kepada Nabi Ya’qub bahwa Yusuf dimakan serigala. Kekhawatiran yang terucapkan oleh Nabi Ya’qub, seolah-olah menjadi realitas. Walaupun nanti ada cerita panjang nan rumit yang kemudian bisa menyatukan kembali di antara mereka semua.
Berikutnya, saat Nabi Yusuf digoda oleh seorang wanita dan wanita-wanita lain, Nabi Yusuf sampai berdoa:
رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Artinya: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh" (QS Yusuf: 33).
Doa pilihan Nabi Yusuf yang lebih memilih penjara daripada terjerumus bersama para wanita, akhirnya diijabahi oleh Allah subhanahu wa ta’ala yang akhirnya memang Nabi Yusuf dipenjara namun ia juga bebas dari tipu daya wanita:
فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka Tuhan memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui” (QS Yusuf: 34)
Dalam syair Majnunu Laila –yang artinya orang yang tergila-gila dengan Laila, bukan Laila Majnun yang berarti Laila yang gila–Qais melantunkan:
فلو كنتُ أعمى أخبِط الأرضَ بالعصا ۞ أصمَّ فنادتني أجبتُ المناديا!
Artinya: “Jika saja aku ini menjadi buta, akan aku hentakkan tongkatku di atas muka bumi. Dan apabila aku tuli pun, andai saja Laila mengundangku, aku akan datangi pengundang tersebut.”
Sebagian perawi mengisahkan bahwa Qais di kemudian hari menjadi buta dan tuli setelah melantunkan syairnya tentang buta dan tuli.
Dengan cerita-cerita di atas, kita dapat mengambil pelajaran betapa pentingnya sebuah perkataan baik untuk pribadi sendiri maupun untuk keluarga misalnya dengan kalimat “saya tidak mungkin mampu” dan lain sebagainya. Apalagi untuk orang tua yang sedang kurang berkenan dengan anaknya, jangan sampai berbicara buruk kepada anak tersebut. Barangkali dengan ucapan buruk tersebut, Allah mengabulkan suatu saat nanti. Na’udzu billah. Wallahu a’lam. []
Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Qur’an an-Nasimiyyah, kota Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar