Ramadhan Narasi Antitesis Terorisme Paling Nyata
Oleh: Yenny Wahid
Kasus terorisme belum lama ini masih menyisakan duka mendalam bagi setiap warga Indonesia. Peristiwa serangan ke gereja di Makassar dan Mabes Polri terjadi menjelang ibadah puasa yang akan dilaksanakan umat Islam beberapa hari lagi.
Padahal, puasa identik dengan bulan kasih sayang yang mengajarkan umat Islam agar tidak mudah emosi. Wartawan Republika Andrian Saputra mewawancarai aktivis Islam yang juga Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid untuk mengulas masalah ini. Berikut kutipannya.
Bagaimana pandangan Anda tentang Ramadhan dalam kaitan untuk memperkokoh ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah?
Kalau kita membaca ayat 183 dalam surah al-Baqarah yang menyatakan bahwa, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Dalam ayat ini kita mendapatkan informasi bahwa puasa sudah diwajibkan bagi umat manusia sebelum umat Islam. Dengan kata lain, puasa merupakan ibadah yang diwajibkan kepada umat Yahudi, Nasrani, dan umat agama-agama lain yang lebih tua daripada agama Islam. Puasa ini adalah kalimatun sawa (titik temu) agama-agama yang dapat memperkokoh ukhuwah wathaniyah (persaudaraan antara warga negara) dan bahkan memperkokoh ukhuwah basyariyah (persaudaraan antara umat manusia).
Puasa juga diakui secara universal dalam dunia medis dan kedokteran sebagai salah satu terapi kesehatan, diet. Bagi seorang yang akan menjalani operasi besar pun dianjurkan untuk berpuasa sebelumnya.
Ramadhan mengandung banyak tradisi dan ritual sosial yang dapat memperkokoh ukhuwah Islamiyah. Di antaranya yaitu disunahkan shalat Tarawih dan Witir berjamaah walaupun pada saat Covid-19 ini jamaah harus mematuhi protokol kesehatan 3M (menjaga jarak, mencuci tangan, memakai masker). Dengan berjamaah, umat Islam bertemu dengan sahabat dan tetangga yang seagama.
Spirit puasa Ramadhan juga melarang seseorang untuk mengumbar hawa nafsu dan berbagai aktivitas yang berpotensi munculnya konflik, perpecahan, dan permusuhan. Oleh karena itu, puasa Ramadhan mengondisikan mentalitas dan ruhaniyah seseorang untuk senantiasa menebarkan rahmat, kasih sayang, damai, dan persatuan.
Tujuan puasa sendiri agar orang meraih level ketakwaan. Ciri takwa adalah seseorang yang memiliki kesalehan personal, kesalehan spiritual, dan kesalehan sosial. Orang yang saleh adalah orang yang tidak suka berpecah belah, konflik, dan permusuhan. Digambarkan dalam beberapa ayat: “Dan berpegang teguhlah kalian pada tali (agama) Allah seraya berjamaah, dan janganlah bercerai-berai.” (QS Ali Imran: 103); “Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih.” (QS Ali Imran: 105).
Apa pesan Anda bagi umat Islam, masyarakat Indonesia, dan dunia menyusul terjadi lagi aksi terorisme menjelang Ramadhan?
Sudah pasti saya ingin mengajak umat Islam, masyarakat Indonesia, dan dunia untuk mengutuk dan menghentikan aksi-aksi kekerasan dan terorisme atas nama agama atau atas nama apa pun. Terorisme adalah musuh bersama kemanusiaan.
Bagi masyarakat, jika melihat di lingkungan sekitarnya terdapat fenomena yang janggal, seperti terdapat sekelompok orang yang berkumpul yang isinya doktrinasi paham ekstrem atau nyaris melakukan kekerasan, maka segera melaporkan kepada pihak berwajib atau kepada aparat. Masyarakat bekerja sama dengan aparat. Aparat pun harus bisa deteksi dini.
Terkhusus kepada para tokoh agama, ulama, kiai, dan ustaz, senantiasa mengajarkan materi-materi keagamaan yang luas dan mendalam, tidak di permukaan dan harfiah. Sebab, materi keagamaan yang luas dan mendalam meniscayakan menyampaikan paham-paham keagamaan yang moderat dan toleran. Pengetahuan keagamaan yang dangkal meniscayakan seseorang berpaham ekstrem, kaku, dan intoleran.
Belakangan ada diskusi dan polemik, apakah terorisme terkait dengan agama atau tidak? Sebagian berpendapat bahwa terorisme sama sekali tidak terkait dengan agama. Sebagian yang lain berpendapat bahwa terorisme ada kaitannya dengan agama.
Nah, menurut saya, terorisme terkait dengan agama tapi tidak secara langsung. Sebab, sumber terorisme adalah pemahaman keagamaan yang harfiah dan tidak kontekstual, yang mengkristal menjadi sebuah ideologi Islamisme. Kalangan teroris merujuk pada paham keagamaan para ideolog ekstremisme atau korban cuci otak mentornya yang menggunakan materi-materi paham keagamaan yang ditulis para ideolog ekstremisme di buku-bukunya.
Karena itu, membangun narasi paham keagamaan yang moderat dan toleran sangat dibutuhkan sembari melakukan konter terhadap narasi ekstremisme. Sebab, persoalan sesungguhnya ada pada produk pemahaman keagamaan.
Tentu saja kita menjadi mafhum bahwa Islam sebagai al-din (agama) berbeda dengan Islam sebagai al-fahmu (pemahaman) atau muntaj al-afkar (produk pemikiran) sebagai hasil tafsir manusia.
Di sini menarik saya kutipkan pernyataan Syekh Abdullah bin Bayah, seorang mufti dan dosen Universitas Raja Abdul Aziz, Arab Saudi, bahwa tugas utama orang yang berilmu adalah menyayangi manusia, bukan menyakiti mereka; menunjukkan jalan ke surga, bukan menyegerakan mereka ke neraka.
Bagaimana menjadikan Ramadhan ini sebagai momentum untuk memerangi paham terorisme?
Semangat dan spirit Ramadhan adalah al-imask (mengekang) hawa nafsu angkara murka, nafsu amarah, nafsu birahi, dan nafsu serakah. Setiap orang yang berpuasa, ruhaninya terbina, mentalitasnya terkontrol, dan fisiknya pun lebih sehat. Ada proses pembakaran dan penghancuran hawa nafsu yang mengajak seseorang untuk berbuat kerusakan dan destruktif.
Sedangkan, terorisme merupakan aksi kekerasan yang didorong oleh nafsu angkara murka berbungkus agama, yang mengajak pada kerusakan, kematian, dan destruksi. Aksi terorisme jelas-jelas bertentangan dengan Islam, khususnya puasa Ramadhan sebagai salah satu dari al-arkan (fondasi-fondasi) Islam yang ada lima. Islam melalui salah satu rukun puasa Ramadhan, mengajak umat manusia untuk tidak mudah emosi dan amarah.
Semangat puasa Ramadhan adalah semangat antikekerasan, baik kekerasan verbal, seperti mengucapkan kata-kata kotor, umpatan, caci-maki, atau bullying, maupun kekerasan fisik seperti memukul, melukai orang lain, merusak lingkungan, apalagi sampai membunuh orang lain atau bunuh diri sebagaimana yang dilakukan kalangan teroris. Atas nama apa pun, emosi dan amarah adalah sesuatu yang tercela dan tidak terpuji sama sekali.
Orang-orang yang mengumbar nafsu angkara murkanya, seperti kalangan ekstremisme yang melakukan aksi kekerasan dan terorisme, ketika sedang sedang berpuasa maka dipastikan seperti yang digambarkan dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan haus dan dahaga saja.” Orang yang mengumbar hawa nafsu maka puasanya sama sekali tidak ada nilainya alias nol besar.
Karena itu, Ramadhan sejatinya merupakan antitesis dan koreksi serta kontranarasi ekstremisme yang paling nyata. Ibarat sebuah serangan, Ramadhan merupakan serangan yang paling mematikan dan tepat ke jantung pertahanan sebuah paham terorisme. []
REPUBLIKA, 11 April 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar