Akhir-akhir ini, terutama di era informasi, era digital, dan era media sosial (medsos), banyak acara atau program yang memuat konten keagamaan, dibuat dan dikemas secara personal ataupun kelembagaan dalam berbagai media dan platform yang diatasnamakan dan dimaksudkan sebagai dakwah atau amar ma’ruf nahi munkar, bahkan jihad.
Memang, dakwah dan amar ma’ruf-nahi munkar, termasuk jihad, adalah ajaran dan perintah Islam. Sungguhpun begitu, dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk di dalamnya jihad, tidak mesti dan tidak layak dilakukan oleh setiap Muslim, karena sangat berkaitan dengan persyaratan dan kriteria yang ketat dan konteks yang tepat pula.
Tidak sedikit orang yang berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar, tetapi justru berseberangan dengan ajaran Islam itu sendiri, bahkan mencederai citra Islam sebagai agama yang mulia. Bagaimana sejatinya berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dalam perspektif Islam? Mari kita perhatikan dengan seksama firman Allah SWT, sebagaimana termaktub dalam Kitab Suci Al-Qur’an Al-Karim:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Artinya: ”Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Âli ‘Imrân [3]: 104)
Imam Jalâl ad-Dîn as-Suyûthî (849-911 H/1445-1505 M), dalam kitab yang sangat populer, Tafsîr al-Jalâlain, dalam menafsirkan ayat tersebut mengatakan:
ومن للتبعيض لأن ما ذكر فرض كفاية لا يلزم كل أمة ولا يليق بكل أحد كالجاهل
Artinya: ”Huruf ‘min’ untuk arti sebagian, karena apa yang telah disebutkan (dalam ayat 104 itu, yakni dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar) merupakan fardhu kifâyah, tidak layak dilakukan oleh setiap orang, seperti orang yang bodoh (tidak berpengetahuan)” (al-‘Allâmah Ahmad as-Shâwî al-Mâlikî, Hâsyiyat al-‘Allâmah as-Shâwî ‘alâ Tafsîr al-Jalâlain, Beirut: Dâr al-Fikr, 1993, Juz I, h. 229).
Syekh Muhammad Thâhir Ibn ‘Âsyûr (1296-1393 H/1879-1973 M), tokoh Islam dan pakar fikih berkebangsaan Tunisia, dalam kitab tafsirnya, at-Tahrîr wa-at-Tanwîr, menjelaskan tingkatan dakwah: “Sungguh dakwah kepada kebaikan itu bertingkat-tingkat: di antaranya ada tingkatan yang bisa dilakukan oleh setiap Muslim; dan ada tingkatan dakwah yang memerlukan pengetahuan yang (hanya) dilakukan oleh ahlinya, dan inilah yang dinamakan fardhu kifâyah, yakni bila sudah dilakukan oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban atas yang lainnya. (Dalam hal ini) Menjadi jelas sekelompok orang yang menjalankan dakwah ini (harus) dengan memenuhi persyaratan-persyaratannya, seperti punya energi kekuatan dalam mengangkat pedang (senjata) --dalam situasi perang [pen.], bisa berenang dalam menyelamatkan orang yang tenggelam, dan mempunyai ilmu tentang ajaran-ajaran agama mengenai beramar ma’ruf nahi munkar, juga (syarat mengenai) jumlah orang yang diperlukan melakukan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar tersebut....” (Syekh Muhammad Thâhir ibn ‘Âsyûr, at-Tahrîr wa-at-Tanwîr, ad-Dâr at-Tûnîsiyyah li-an-Nasyr, Tunisia, 1984, Jilid IV: 39).
Selanjutnya, berkaitan dengan amar ma’ruf nahi munkar, terdapat persyaratan atau kriteria khusus. Ada lima persyaratan atau kriteria amar ma’ruf nahi munkar itu, sebagaimana dikemukakan oleh Sulthân al-Auliyâ’ Syekh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî al-Hasanî (470-561 H), dalam kitabnya al-Gunyah li-Thâlibi Tharîq al-Haqq. Syekh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî membuat suatu fasal berikut:
Orang yang beramar ma’ruf nahi munkar harus memenuhi lima persyaratan: Pertama, ia mengetahui sesuatu yang diperintahkan dan sesuatu yang dilarang. Kedua, tujuan atau motivasi dari amar ma’rufnya adalah mencari ridha Allah dan meluhurkan agama-Nya, serta meninggikan Kalimat-Nya, bukan karena riyâ’, sum‘ah, dan kebanggaan bagi diri sendiri. Ia akan membantu dan membimbing orang yang berbuat kemungkaran ke arah kebaikan, jika memang ia (orang yang beramar ma’ruf nahi munkar) berlaku benar dan ikhlas.
Ketiga, perintah dan larangannya dilakukan dengan lemah lembut, ramah dan kasih sayang. Nasihat disampaikan dengan cara yang baik, bukan dengan keras dan marah-marah, agar ia tidak mempersamakan musuhnya itu dengan setan yang terkutuk. Nabi ﷺ dalam hadits Usâmah bersabda: ”Tidaklah patut bagi seseorang yang menyeru kepada kebaikan dan melarang kepada kemungkaran, sehingga di dalam dirinya terpenuhi tiga macam: memahami apa yang dia perintahkan; memahami apa yang dia larang; dan lemah lembut terhadap sesuatu yang dia perintah dan lemah lembut terhadap sesuatu yang dia larang.”
Keempat, ia menjadi seorang yang penyabar, murah hati, toleran, rendah hati, mampu mengontrol hawa nafsu, kuat hatinya, penurut (tidak beringas atau sangar), laksana dokter yang mengobati pasiennya, bijak bestari yang mengobati orang gila, dan pemimpin yang memberikan petunjuk.
Kelima, ia melaksanakan sesuatu yang dia perintahkan, menjauhi sesuatu yang dia larang, dan tidak berlumuran dengan sesuatu yang dilarang tersebut, agar ia tidak dikuasi oleh mereka, yang justru menjadikannya hina dan tercela di hadapan Allah Taala.” (Syekh ‘Abd al-Qadîr al-Jîlânî, al-Gunyah li-Thâlibi Tharîq al-Haqq fî al-Akhlâq wa-al-Tashawwuf wa-al-Âdâb al-Islâmiyyah, Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, t.t., juz I, h. 51-53).
Lebih lanjut, dalam beramar ma’ruf nahi munkar juga penting memperhatikan etikanya, sebagaimana dijelaskan Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî:
(فَصْلٌ) وَالْأَوْلَى لَهُ إِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَأْمُرَهُ وَيَنْهَاهُ فِيْ خَلْوَةٍ لِيَكُوْنَ ذَلِكَ أَبْلَغَ وَأَمْكَنَ فِي الْمَوْعِظَةِ وَالزَّجْرِ وَالنَّصِيْحَةِ لَهُ وَأَقْرَبَ إِلَى الْقَبُوْلِ وَالْإِقْلَاع
(Fasal) Yang utama baginya (orang yang beramar ma’ruf nahi munkar) adalah jika ia mampu memerintah seseorang atau melarang seseorang di tempat atau keadaan yang sepi, agar itu lebih mengena dan lebih efektif dalam memberikan mau‘izhah, larangan, dan nasihat kepadanya, serta lebih diterima dan produktif (berhasil).
Menjadi clear (jelas dan nyata) bahwa dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar tidaklah mudah dan tidaklah serta-merta dapat dilakukan oleh setiap orang atau media publik, tetapi harus memenuhi persyaratan dan kriteria yang ketat. Bagi siapa pun yang tidak mempunyai kompetensi atau ilmu keagamaan yang cukup memadai tentang suatu bidang atau tema keagamaan, maka dilarang berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang tersebut, terlebih ditujukan kepada publik (masyarakat umum), dan dengan berbagai media dan platform apa pun: televisi dan radio, media cetak, digital (online) ataupun medsos, karena hal itu justru bisa mengakibatkan mafsadat atau kerusakan terhadap umat, dan citra Islam sebagai agama mulia, agama rahmatan lil ‘alamin. Padahal sungguh jelas mafsadat wajib dihindarkan (lâ dharar wa-lâ dhirâr, dar’ al-mafâsid muqaddamun ‘alâ jalb al-mashâlih)! []
Ahmad Ali MD, Wakil Sekretaris Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LPBKI-MUI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar