Pemerintahan Umar bin Khathab berlangsung kurang lebih 10 tahun. Pada masa itu, umat Islam di bawah kepemimpinan Umar mengalami kemajuan yang pesat. Perluasan wilayah berlangsung hingga masuk ke wilayah Irak, Syam (Suriah, Palestina, Lebanon, dan Yordania), Mesir, Armenia, Azerbijan, Kurdistan dan Persia. Pada akhirnya, perluasan wilayah itu memiliki banyak konsekuensi dan bersifat kompleks.
Luasnya wilayah secara tidak langsung membutuhkan penyerapan kas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang besar pula. Kurang lebihnya sama dengan orang yang punya rumah luas 10 x 30 meter dibandingkan dengan orang yang punya rumah seluas lahan 1 hektar. Sudah pasti biaya perawatan dan operasionalnya menjadi lebih besar. Demikian pula dengan wilayah Islam, semakin luas wilayah tersebut, maka semakin banyak pula dibutuhkan perangkat guna melakukan kewajiban ri’ayah (penjagaan) masyarakat yang dinaunginya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya: “Ingatlah! Masing-masing kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban kelak atas kepemimpinan itu.” (Hadits Riwayat Bukhari-Muslim)
Ada beberapa sektor yang musti diperhatikan oleh pemerintahan Khalifah Umar tersebut seiring hak dan kewajiban melakukan ri’ayah. Pertama adalah sektor militer. Kedua, sektor ekonomi, dan ketiga, sektor demografi dan geografis.
Di sektor militer, bagaimanapun juga, angkatan perang dibentuk sudah pasti harus melalui jalan mobilisasi massa di kalangan orang Islam pada waktu itu. Luasnya wilayah kekhalifahan, secara tidak langsung membutuhkan akomodasi yang besar pula dalam rangka mobilisasi itu. Selain itu, luasnya wilayah dengan kondisi demografis serta geografis wilayah yang beragam mendorong pada pengoptimalan peran baitul maal dengan alokasi finansial yang diperoleh dari zakat, kharraj dan fai’ serta ghanimah.
Jika pada masa Nabi Muhammad SAW dan masa khalifah Abu Bakar, zakat yang diambil dari umat Islam dan kharraj yang diambil dari kalangan non-Muslimin di wilayah Islam, dan fai’ serta ghanimah bisa digunakan untuk menggaji para tentara ini, maka pada masa Umar sumber fiskal itu menjadi tidaklah mencukupi. Jika hanya untuk tentara saja sih sebenarnya mencukupi. Namun, bagaimanapun juga, sistem kekhalifahan akan berjalan lancar manakala ketimpangan sosial di dalamnya juga berhasil diatasi. Bukankah mengatasi ketimpangan sosial ini merupakan amanat langsung dari nash? Ketimpangan ini terjadi pada masih banyaknya kaum fakir miskin yang hidup di bawah naungan kekhalifahan saat itu. Adanya kebutuhan yang mendesak dan dlarurat di tubuh sistem kenegaraan, melahirkan manajemen fiskal.
Antara mengatasi ketimpangan dan menjaga kedaulatan sistem kekhalifahan menjadi tugas utama Khalifah Umar. Untuk itu perlu penataan sistem kenegaraan dan penopangnya. Langkah pertama sudah pasti menata sistem penjagaan kedaulatan terlebih dahulu yang berarti membenahi sistem kemiliteran.
Dalam menata sistem militer, hal tersebut pertama kali dipengaruhi oleh pertimbangan bahwa masing-masing wilayah yang dikuasai oleh Islam memiliki batas kemampuan yang berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya. Keberbedaan ini secara tidak langsung juga memiliki efek pada kebutuhan subsidi bagi kebutuhan pengadaan alat perang dan gaji tentara. Jika militer sebelumnya yang berada di daerah kaya sumberdaya masih bisa tercukupi kebutuhannya dari ghanimah dan zakat, namun bagaimana dengan daerah yang miskin sumberdaya? Tentu hal ini akan mengundang ketidakadilan di kalangan pasukan muslimin itu sendiri sehingga rawan penyelewengan.
Rupa-rupanya, keadaan ini dibaca oleh Khalifah Umar. Akhirnya ia memilih melembagakan militer tersebut dalam suatu badan tersendiri. Risiko militer dilembagakan dan dijadikan sebagai aparatur negara adalah orang-orang yang terjun dan berada di dalamnya, berakibat dirinya menjadikan militer itu sebagai profesi. Keahlian bertempur dipandang sebagai bukan lagi menyerupai akad ju’alah, yang mana apabila mereka mendapatkan ghanimah atau fai’ yang banyak, maka semakin banyak pula perolehannya. Militer dijadikan sebagai badan profesi, seiring kebutuhan akan keterampilan dalam seni berperang dan memasang strategi bertempur di medan perang. Itulah sebabnya, badan ini layak untuk mendapatkan gaji tetap dari pemerintah karena keahlian tersebut. Akhirnya, terjadilah reformasi dalam sistem kemiliteran.
Jika militer digaji, berarti resiko berikutnya adalah seluruh ghanimah, kharaj, fai’ harus dikumpulkan menjadi satu dalam wadah baitul mâl dan dikelola secara bersama-sama dan didistribusikan secara merata. Dengan demikian, terciptalah keadilan dan kesetaraan dalam tubuh militer meski ia ditempatkan di lokasi yang berbeda dengan sumberdaya ghanimah yang berbeda pula. Dan karena lokasi militer berjauhan antara satu tempat dengan tempat lain, maka dibutuhkan pendirian barak-barak militer. Pendirian barak-barak militer ini dibiayai oleh negara.
Dengan dikumpulkannya pendapatan negara dari berbagai sumber fiskal tersebut dalam suatu badan tersendiri, maka dibentuklah badan khusus yang menangani perbendaharaan negara dan sekaligus mengatur laju Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Badan ini disebut dengan Diwan Hisbah. Jadi, diwan hisbah ini mirip dengan Menteri Keuangan saat ini. Sementara itu baitul mâl dibentuk menyerupai Bank Central atau setara dengan Bank Indonesia (BI). Dewan Hisbah sendiri tugasnya adalah melakukan pengawasan terhadap pasar, mengontrol timbangan/takaran, menjaga tata tertib dan susila, serta mengawasi kebersihan dan keindahan jalan. Semua pegawai yang masuk dalam diwan hisbah ini, digaji oleh negara lewat baitul mâl. Sementara itu, anggaran dan pendapatan belanja negara dirancang sedemikian rupa sehingga nampak terkesan menyerupai bangunan negara modern.
Di sektor pemerintahan, Khalifah Umar melakukan pemekaran wilayah menjadi wilayah-wilayah propinsi. Beberapa propinsi yang dibentuk adalah Mekkah, Madinah, Palestina, Siria, Basrah, Kufah, dan Mesir. Masing-masing propinsi dikepalai Gubernur. Di masing-masing propinsi diangkat hakim-hakim wilayah untuk menangani kasus permasalahan sengketa yang terjadi di wilayah tersebut.
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa pengelolaan ghanimah, fai’ dan sejenisnya antara masa Umar dengan masa sebelumnya sudah terjadi peningkatan dan perkembangan sistem yang signifikan. Jika sebelumnya, 4/5 ghanimah dibagi habis ke seluruh tentara, namun hal itu tidak dilakukan pada masa Umar. Ghanimah itu telah diatur dalam suatu bangunan sistem ketatanegaraan. Jadi, ia sudah termasuk di dalam sistem tersebut disebabkan kondisi yang menghendaki demikian. Jadi, al-kharaj sebagai bagian dari fai’ dan al-‘usyur sebagai resiko berdirinya diwan al-hisbah adalah bagian dari resiko administrasi keuangan. Keduanya, yang semula legal berdasar nash, namun belum diatur dalam wadah lembaga di periode kekhalifahan sebelumnya, menjadi legal dan terlembagakan berkat adanya diwan hisbah tersebut. Pelembagaan berbanding lurus dengan resiko luasnya wilayah dan berbeda-bedanya kondisi demografis serta pemenuhan kebutuhan lainnya bagi masyarakat. Wallâhu a’lam bish shawab. *****
Sumber rujukan: Abu al-Faraj Abd al-Rahmân Ibn al-Jawzi, "Manâqib Amîr Al-Mu'minîn 'Umar Ibn Al-Khathâb", Kairo: Maktabah al Khanaji, 1997, hlm. 4-20
[]
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar