Salah satu ruh ajaran Islam adalah nilai rahmat atau kasih sayang bagi para pemeluknya. Dalam setiap detail syariat yang diajarkan oleh Islam, pasti tidak lepas dari nilai luhur tersebut. Saat berpuasa, kita juga merasakan nilai rahmat itu. Ada banyak sekali, di antaranya adalah dalam anjuran makan sahur.
Kalau berbicara hebat-hebatan, pasti kita akan menilai bahwa orang yang tidak sahur dan kuat berpuasa sampai maghrib-lah yang seharusnya lebih mendapat apresiasi, karena telah berhasil melewati seharian penuh menahan lapar dan dahaga tanpa bekal makan sahur.
Namun, Islam tidak demikian. Justru mereka yang sahur lah yang lebih layak diacungi jempol. Artinya lebih hebat orang yang berpuasa dengan sahur daripada yang tidak. Dalam satu hadits, Rasulullah saw bersabda,
عن أنس رضي الله عنه قال صلى الله عليه و سلم: "تسحروا فإن في السحور بركة" (رواه الشيخان)
Artinya, diriwayatkan dari Anas ra, Rasulullah saw bersabda, “Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur itu mengandung keberkahan.” (HR Syaikhani)
Dalam hadits lain, sahur lebih dianjurkan untuk dilakukan di penghujung malam menjelang imsak.
Mencermati hadits di atas. Orang yang sahur akan mendapatkan keberkahan yang tidak diperoleh bagi orang yang tidak sahur. Pertanyaannya, keberkahan seperti apa yang dimaksud hadits di atas?
Dalam kitab Is’afu Ahl al-Iman bi Wadza’if Syahri Ramadhan (hal. 59-60), Syekh Hasan al-Masyath menjelaskan secara logis dan sistematis hikmah di balik kesunnahan sahur tersebut. Inilah yang dimaksud dengan ‘memperoleh keberkahan’ sebagaimana hadits di atas.
Menurutnya, Rasulullah saw telah menganjurkan sahur, dan sebagai sunahnya, umat Islam pun mengikutinya. Andai saja Rasulullah saw tidak sahur, umatnya pun akan demikian karena menganggap ‘tidak sahur’ sebagai sunahnya. Tapi, Nabi mengerti bahwa sahur merupakan bentuk kasih sayang terhadap umatnya, sehingga beliau melakukannya dan dijadikan anjuran bagi orang yang hendak berpuasa.
Dengan sahur, maka seorang hamba akan lebih memiliki tenaga untuk melakukan aktivitas pada siang hari. Jangan sampai bulan Ramadhan yang banyak dianjurkan ibadah, justru disia-siakan begitu saja karena seharian tubuh lemas sebab tidak sahur di malam harinya.
Lalu, mengapa sahur kemudian lebih dianjurkan untuk diakhirkan? Tidak di tengah malam saja. Tengah malam adalah saat kebanyakan orang dalam keadaan tidur pulas. Jika waktu utama sahur diberlakukan saat itu, khawatir sedikit orang yang bisa memperolehnya karena rasa kantuk yang begitu berat.
Alasan lain mengapa sahur lebih utama diakhirkan adalah karena dengan begitu, orang yang selesai sahur akan menunggu waktu subuh tiba. Saat-saat menunggu subuh itulah bisa digunakan untuk beribadah, seperti shalat sunnah, membaca Al-Qur’an atau pun zikir lainnya.
Dengan kata lain, pengakhiran sahur adalah upaya agar kita bisa beribadah di waktu sepertiga malam. Waktu paling istimewa untuk bermunajat kepada Allah swt. Terlebih untuk meraih malam lailatul qadar.
Bahkan, secara khusus, Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya menuliskan satu bab yang membahas tentang orang yang sahur dan tidak tidur sampai tiba waktu shalat subuh. Salah satunya adalah hadis yang mengisahkan Sahl bin Sa’d berikut,
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ عَنْ أَخِيهِ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ أَنَّهُ سَمِعَ سَهْلَ بْنَ سَعْدٍ يَقُولُ كُنْتُ أَتَسَحَّرُ فِي أَهْلِي ثُمَّ يَكُونُ سُرْعَةٌ بِي أَنْ أُدْرِكَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya, Telah menceritakan kepada kami, Isma'il bin Abu Uwais, dari Saudaranya, dari Sulaiman, dari Abu Hazm, bahwa dia mendengar Sahl bin Sa'd berkata, "Suatu kali aku pernah makan sahur bersama keluargaku, kemudian aku bersegera agar dapat melaksanakan shalat Subuh bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam."
Alasan lain mengapa orang yang sahur akan memperoleh keberkahan adalah, makanan sahur tidak akan dihisab oleh Allah swt. Padahal dalam aturannya, setiap apa yang kita makan akan dihisab oleh-Nya, tetapi orang yang sahur tidak. Dalam hadits Nabi disebutkan,
ثلاثة لا يحاسب عليها العبد أكلة السحر وما أفطر عليه والأكل مع الإخوان
Artinya, “Ada tiga hal (makanan) di mana seorang hamba tidak akan dihisab oleh Allah swt, yaitu makanan sahur, makanan saat berbuka puasa, dan makanan yang dinikmati bersama saudara-saudara yang lain.”
Sahur juga menjadi pembeda antara umat Muslim dengan Yahudi dan Nasrani. Nabi Muhammad saw bersabda,
فصل ما بين صيامنا وصيام أهل الكتاب أكلة السحر
Artinya, “Yang membedakan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab adalah makan sahur”.
Terkait hadits di atas, Imam Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan:
معناه الفارق والمميز بين صيامنا وصيامهم السحور فإنهم لا يتسحرون ونحن يستحب لنا السحور
Artinya, “Maknanya, yang menjadi pembeda dan keistimewaan antara puasa kita dan puasa mereka (Yahudi dan Nasrani) adalah sahur. Karena sesungguhnya mereka tidak sahur, sedangkan kita disunahkan untuk sahur.” (Syarah Muslim Imam Nawawi, juz 7, hal. 207)
Melalui anjuran sahur saat berpuasa, kita jadi tahu, betapa setiap detail ajaran Islam memiliki nilai luhur yang menunjukkan agama ini selalu menanamkan rahmat dan kasih sayang terhadap para pemeluknya.
Lebih dari itu, sekecil apapun ajaran Islam, pasti memiliki tujuan agung di baliknya. Sekilas, sahur adalah urusan perut semata. Namun, di baliknya ada banyak hikmah dan tujuan-tujuan agung yang bisa kita rasakan. []
Muhammad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar