Rasulullah adalah seorang guru yang handal. Beliau sangat memahami dan mengerti keadaan pada sahabatnya –yang menjadi muridnya. Sehingga ada ajaran atau materi yang disampaikan Rasulullah kepada seluruh sahabatnya sehingga mereka semua bisa mengamalkannya. Ada juga pengetahuan yang hanya diberikan kepada sahabat tertentu karena alasan tertentu pula. ‘Pemilahan’ seperti itu dilakukan Rasulullah berdasarkan keadaan, pemahaman, kecerdasan, dan inteletualitas yang dimiliki sahabat.
Rasulullah juga tidak jarang memberikan jawaban yang berbeda atas satu kasus yang sama, termasuk soal boleh atau tidaknya ciuman suami-istri ketika sedang berpuasa. Rasulullah memberikan dua jawaban yang berbeda ketika ada dua sahabatnya yang bertanya mengenai hal itu (boleh atau tidak ciuman suami-istri saat berpuasa). Sebagaimana riwayat Imam Ahmad –dalam kitab Musnad-nya- dari Abdullah bin Amru bin Ash, dikisahkan bahwa suatu ketika ada seorang pemuda mendatangi Rasulullah. Pemuda tersebut kemudian bertanya kepada Rasulullah perihal boleh atau tidaknya mencium istrinya ketika sedang berpuasa. Seketika itu juga, Rasulullah dengan tegas menjawab tidak boleh.
Beberapa saat setelah itu, ada seorang sahabat Nabi yang berusia sudah tua menanyakan hal yang sama. Yakni boleh atau tidak mencium istri saat berpuasa. Kali ini Rasulullah mengizinkan. Maksudnya, Rasulullah membolehkan jika sahabat tuanya itu mencium istrinya ketika sedang berpuasa. Para sahabat yang saat itu sedang bersama Rasulullah merasa heran dan saling menatap mata antar satu dengan yang lainnya.
“Aku tahu kenapa kalian saling tatap. Ketahuilah, sungguh orang tua itu lebih bisa menguasai diri (hawa nafsunya),” kata Rasulullah, dikutip buku Muhammad Sang Guru (Abdul Fattah Abu Ghuddah, 2015). Para sahabat lantas menjadi paham mengapa Rasulullah memberikan jawaban yang berbeda atas satu kasus yang sama.
Begitulah jawaban Rasulullah terhadap hukum ciuman suami-istri saat berpuasa. Beliau menjawab sesuai dengan keadaan orang yang bertanya. Rasulullah melarang pemuda melakukan ciuman saat berpuasa kepada istrinya karena itu dikhawatirkan akan memicu kepada tindakan yang lebih lanjut, yaitu hubungan intim. Mengingat pemuda yang kerap kali kerepotan mengendalikan hawa nafsunya.
Sementara sahabat tua diperbolehkan melakukan hal itu (ciuman suami-istri saat berpuasa) karena Rasulullah meyakini dia akan bisa mengendalikan dirinya. Sehingga tidak dikhawatirkan puasanya akan rusak karena tergoda melakukan hal-hal yang lebih jauh, yakni hubungan suami-istri. []
(Muchlishon)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar