Dzat makhluk yang berukuran besar seluruhnya selalu tersusun dari bagian-bagian yang lebih kecil sehingga bisa dipilah-pilah. Ada bagian atas, bawah, samping, depan dan belakangnya. Ada pula bagian-bagian yang bernama lain, semisal dalam kasus manusia ada bagian berupa kepala, tubuh, tangan dan kaki. Inilah yang disebut sebagai konsep tarkib atau penyusunan.
Lalu apakah Dzat Allah subhanahu wata’ala juga tersusun dari bagian-bagian atau dengan kata lain mempunyai tarkib? Seluruh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah) sepakat bahwa tarkib adalah mustahil bagi Allah. Tidak mungkin Allah yang Mahasuci dari kekurangan tersusun dari bagian-bagian sehingga bisa dipilah atau klasifikasi bagian atas, bawah, samping, depan atau belakangnya. Tidak mungkin juga Allah yang Mahasuci dari kekurangan tersusun dari bagian-bagian yang berupa wajah, tangan, kaki, dan seterusnya. Tarkib dianggap sebagai ciri khas makhluk yang mustahil dimiliki Allah. Ini adalah kesepakatan semua ulama Ahlussunnah tanpa kecuali. Terlalu banyak pernyataan mereka untuk dinukil.
Namun sayangnya, Syekh Ibnu Taimiyah menyempal dalam hal ini. Ia menetapkan satu jenis tarkib yang baginya pasti dimiliki seluruh yang wujud, termasuk Allah. Sebagian dari anda mungkin kaget atau menganggap ini fitnah, tapi sayangnya ini betul-betul aqidah beliau yang ditulisnya sendiri sehingga wajar bila ulama Ahlussunnah dari segenap penjuru mengkritik beberapa poin aqidah beliau. Menurut Ibnu Taimiyah, tarkib ada empat jenis. Tiga jenis pertama ia sebutkan di Majmu’ al-Fatawa sebagai berikut:
وَلَفْظُ التَّرْكِيبِ قَدْ يُرَادُ بِهِ أَنَّهُ رَكَّبَهُ مُرَكَّبٌ أَوْ أَنَّهُ كَانَتْ أَجْزَاؤُهُ مُتَفَرِّقَةً فَاجْتَمَعَ أَوْ أَنَّهُ يَقْبَلُ التَّفْرِيقَ وَاللهُ مُنَزَّهٌ عَنْ ذَلِكَ كُلِّهِ.
“Kata tarkib (penyusunan) kadang dimaksudkan dalam arti bahwa: (1) Allah disusun oleh sosok penyusun, atau (2) bagian-bagian-Nya sebelumnya terpisah-pisah kemudian menyatu, atau (3) Ia bisa dipisah-pisah bagiannya. Allah Mahasuci dari itu semuanya” (Syekh Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 5: 419).
Ketiga makna tarkib di atas ia anggap mustahil bagi Allah, dalam hal ini ia benar. Akan tetapi tak ada satu pun orang Islam yang berpikiran demikian, apalagi meyakininya. Ketiganya adalah hal yang bertentangan dengan prinsip ketuhanan. Dengan demikian perincian beliau ini adalah tindakan tak berguna sebab bukan itu yang dibahas oleh para ulama yang menafikan tarkib bahkan tak ada Muslim yang memikirkan itu.
Tinggal satu lagi makna tarkib yang menurut beliau pasti ada, yakni:
وإن قال أريد بالمنقسم أن ما في هذه الجهة منه غير ما في هذه الجهة كما نقول إن الشمس منقسمة يعني أن حاجبها الأيمن غير حاجبها الأيسر والفلك منقسم بمعنى أن ناحية القطب الشمالي غير ناحية القطب الجنوبي وهذا هو الذي أراده فهذا مما يتنازع الناس فيه
“Apabila yang dimaksud dengan terbagi-bagi adalah apa yang ada di sisi ini dari-Nya bukanlah apa yang di sisi lainnya, sebagaimana kita berkata bahwa Matahari terbagi dalam arti permukaan yang sebelah kanan bukanlah permukaan sebelah kiri, dan bahwa gugusan bintang terbagi dalam arti bahwa sisi poros utara bukanlah poros selatan, dan ini yang ar-Razi maksudkan, maka ini termasuk makna yang diperselisihkan orang-orang” (Syekh Ibnu Taimiyah, Bayân Talbîsil Jahmiyah fî Ta’sîs Bida‘ihim al-Kalamiyah, 3: 440).
Ibnu Taimiyah kali ini barulah membahas konsep tarkib yang dimaksudkan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah yang direpresentasikan oleh Imam ar-Razi. Sebagaimana di atas, menurutnya konsep ini diperselisihkan, namun ia kemudian menyebutkan pendapatnya sendiri sebagai berikut:
فيقال له قولك إن كان منقسمًا كان مركبًا وقد تقدم إبطاله وتقدم الجواب عن هذا الذي سميته مركبًا وتبين أنه لا حجة أصلاً على امتناع ذلك بل تبين أن إحالة ذلك تقتضي إبطال كل موجود ولولا أنه أحال على ما تقدم لما أحلنا عليه وتقدم بيان ما في لفظ التركيب والحيز والغير والافتقار من الإجمال وان المعنى الذي يقصدونه بذلك يجب أن يتصف به كل موجود سواء كان واجبًا أو ممكنًا
“Maka dijawab pada ar-Razi: Ucapanmu bahwa bila Allah terbagi-bagi berarti tersusun, dan hal ini sudah dibahas kesalahannya dan telah lalu jawaban dari apa yang engkau sebut sebagai tersusun itu. Dan, telah jelas bahwasanya tidak ada alasan sama sekali untuk menolak ketersusunan itu. Bahkan jelas bahwa memustahilkan hal itu berkonsekuensi meniadakan semua wujud. Andai ia tak menyebutnya sebelumnya, tentu kami tidak menyinggungnya. Telah diterangkan sebelumnya tentang kata tarkib (penyusunan), haiz (batasan diri), ghair (perbedaan), dan iftiqar (butuh) yang masih global dan bahwasanya makna yang mereka maksud darinya pasti disifati oleh seluruh yang ada, baik itu Dzat yang pasti ada (Allah) atau Dzat yang bisa ada dan bisa tidak ada (makhluk).”
Dari pernyataan tersebut jelas sekali dan gamblang bahwa Ibnu Taimiyah menyatakan Allah tersusun dari bagian-bagian sehingga bisa diklasifikasi bagian tertentu dari Dzat Allah sebagai berbeda dari bagian lainnya. Menurutnya, ini adalah keniscayaan bagi seluruh yang wujud. Pemikiran ini disebut tajsim atau menganggap Allah serupa materi, yang bertentangan dengan paham Asy’ariyah-Maturidiyah. Bahkan Ibnu Taimiyah juga menegaskan bahwa makna haiz (batasan diri), ghair (perbedaan), dan iftiqar (butuh) yang oleh Ahlussunnah dianggap mustahil dan terlarang untuk disematkan pada Allah, menurutnya juga pasti dimiliki Allah. Ini makin menguatkan bukti bahwa ia meyakini Allah sebagai sosok jism (fisikal) yang mempunyai dimensi panjang, lebar, dan tinggi. Menolak istilah “tajsim” bagi pemikiran semacam ini adalah sama dengan menolak istilah “pencurian” bagi kegiatan mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi. []
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, peneliti bidang aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur dan Wakil Sekretaris PCNU Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar