Para ulama berbeda pendapat dalam melihat masalah aborsi atau menggugurkan kandungan. Ada yang melarang secara mutlak, ada yang membolehkan dengan batasan dan alasan, ada pula yang sekadar memakruhkan. Namun, tidak ada yang membolehkan secara mutlak. Perbedaan itu dilatarbelakangi oleh perbedaan mereka dalam melihat status kandungan dalam setiap fase pertumbuhan janin, mulai dari pasca pembuahan, fase ‘alaqah (janin yang masih berupa darah kental), mudhghah (janin yang masih berupa daging kental), dan janin yang sudah bernyawa.
Dalam melihat masalah ‘alaqah, misalnya, jumhur fuqaha dari mazhab Hanafi, Syafi‘i, dan Hanbali, memandangnya bukan sebagai kandungan. Sehingga wanita yang keguguran dari ‘alaqah tidak dianggap nifas. Tidak bisa pula seorang wanita dijatuhi talak dengan ta‘liq melahirkan ‘alaqah. Dan iddah hamil pun tidak dianggap berakhir dengan keluarnya ‘alaqah.
Sementara ulama Maliki memandang sebaliknya. Sehingga darah yang keluar pasca keluarnya ‘alaqah dianggap darah nifas. Talaq ta‘liq yang digantungkan pada kelahiran juga dianggap sah dengan keluarnya ‘alaqah. Dan iddah hamil pun dianggap berakhir dengan keluarnya ‘alaqah. (Lihat: Tim Kementerian Wakaf, al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 1420 H, jilid 5, hal. 285).
Berangkat dari perbedaan di atas, Syekh Zakariya al-Anshari dari mazhab Syafi‘i termasuk yang membolehkan dengan batasan, sebagaimana yang dikemukakan dalam salah satu kitabnya:
إسْقَاطُ الْحَمْلِ إنْ كَانَ قَبْلَ نَفْخِ الرُّوحِ جَازَ، أَوْ بَعْدَهَا حَرُمَ، وَيَنْبَغِي أَنْ يُعْمَلَ فِي النَّفْخِ وَعَدَمِهِ بِالظَّنِّ
Artinya: Menggugurkan kandungan, jika janin belum ditiupi ruh (bernyawa), hukumnya boleh. Sedangkan setelah janin ditiupi ruh, hukumnya haram. Sedangkan patokan ditiupi ruh atau belum dikembalikan kepada dugaan. (Lihat: al-Gharar al-Bahiyyah fi Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah, jilid 5, hal. 331).
Batasannya adalah janin tersebut sudah ditiupi ruh atau belum. Kemudian, ulama kontemprer yang membolehkan pengguguran kandungan dengan batasan adalah Sayyid Sabiq (w. 1420H), penulis Fiqhus Sunnah. Menurutnya, setelah menetapnya sperma dalam rahim atau terjadinya pembuahan, maka hasil pembuahan tersebut tidak boleh digugurkan jika usia janin sudah 120 hari. Alasannya, karena tindakan menggugurkan pada usia itu termasuk penganiayaan terhadap satu makhluk, sehingga meniscayakan adanya hukuman baik di dunia maupun di akhirat. Sementara menggugurkan janin atau merusak hasil pembuahan sebelum usia janin 120 hari, hukumnya diperbolehkan dengan catatan ada alasan yang mendorongnya. Namun, bila tidak ada sebab yang dibenarkan, hukumnya makruh. (Lihat: Fiqhus Sunnah, [Beirut: Darul Kitab al-Arabi], 1977, jilid 2, hal. 195).
Ada pula pendapat yang membolehkan dengan batasan sekaligus alasan, seperti yang diungkap dalam Mausu‘ah al-Fiqh al-Islami. Di dalamnya disebutkan, tidak boleh hukumnya menggugurkan kandungan dalam fase apa pun kecuali ada alasan yang dibenarkan syara’. Batasan dan alasan tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1 Jika terdapat kemaslahatan menurut syara’ dalam menggugurkannya, atau bertujuan untuk menolak bahaya yang mungkin terjadi, sementara usia kehamilannya kurang dari 40 hari pertama, maka hukumnya boleh.
2 Tidak boleh menggugurkan ‘alaqah (darah kental) atau mudhghah (daging kental), kecuali tim medis yang kredibel menyatakan bahwa keberadaan ‘alaqah atau mudhghah tersebut akan mengancam keselamatan jiwa ibunya.
3 Setelah janin memasuki fase ketiga, tepatnya genap berusia empat bulan atau 120 hari, maka tidak boleh digugurkan kecuali tim medis terpercaya memutuskan bahwa membiarkan si janin tumbuh akan mengakibatkan kematian ibunya. Ini semata dilakukan demi menolak bahaya yang lebih besar.
4 Jika hasil pemeriksaan medis memutuskan bahwa keberadaan janin cacat parah dan tidak mungkin diatasi, sehingga jika dibiarkan lahir pun hidupnya akan cacat dan menderita sehingga akan menyulitkan keluarganya, dan usia kehamilannya di bawah empat bulan, dan tim dokter juga merekomendasikan untuk menggugurkannya, maka pengguguran tersebut boleh dilakukan dengan alasan darurat. (Syekh Muhammad ibn Ibrahim, Mausu‘ah al-Fiqh al-Islami, [Beirut: Baitul Afkar ad-Dauliyyah], 2009, jilid 5, hal. 50).
Sementara pendapat yang melarang secara mutlak antara lain adalah pendapat Imam al-Ghazali, meskipun beliau merupakan pengikut mazhab Syafi‘i.
أن الاجهاض جناية على موجود حاصل، قال: ولها مراتب، أن تقع النطفة في الرحم وتختلط بماء المرأة، وتستعد لقبول الحياة، وإفساد ذلك جناية، فإن صارت مضغة وعلقة كانت الجناية أفحش وإن نفخ فيه الروح واستوت الخلقة، ازدادت الجناية تفاحشا.
Artinya: Menggugurkan kandungan adalah sebuah bentuk kejahatan terhadap maujud (makhluk) yang ada. Hanya saja tingkatannya berbeda-beda. Artinya, walau sperma baru masuk ke dalam rahim dan bercampur dengan sel telur (pembuahan), yang selanjutnya siap menerima kehidupan, maka merusaknya dianggap sebuah kejahatan. Apalagi jika sudah berbentuk ‘alaqah atau mudhghah, maka kejahatannya dinilai lebih berat. Sedangkan menggugurkan kandungan dimana janin sudah bernyawa dan penciptaannya sudah sempurna, maka kejahatannya dinggap lebih berat lagi. (Lihat: Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah, [Beirut: Darul Kitab al-‘Arabi], 1977, Jilid 2, hal. 195).
Rupanya pandangan al-Ghazali di atas dilatari oleh ayat yang melarang membunuh anak secara umum, baik anak yang sudah lahir maupun yang belum lahir, walaupun alasan yang terdapat dalam ayat tersebut hanya takut miskin atau tidak mampu menafkahi. Terlebih dalam ayat yang lain disebutkan bahwa tindakan membunuh anak termasuk perbuatan dosa besar.
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar, (QS. Al-An‘am [6]: 151).
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar, (QS. Al-Isra’ [17]: 31).
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada pendapat yang membolehkan secara mutlak pengguguran kandungan. Kendati ada pendapat yang memakruhkan atau yang membolehkan, juga diikuti dengan batasan, alasan, dan pertimbangan ahli yang kredibel. Bahkan, jika merujuk dua ayat di atas, alasan takut miskin atau tidak mampu membiayai juga bukan pembenar tindakan tersebut. Terlebih jika dilakukan sekadar menutupi aib. Wallahu ‘alam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar