Sering kita menemui berita di berbagai sumber yang menyampaikan bahwa ada pihak terpidana yang dinyatakan bersalah oleh hakim, kemudian karena alasan tertentu, dia diberikan keringanan hukuman disebabkan adanya jaminan dari pengacaranya. Misalnya, karena alasan berobat, dan dikuatkan oleh rekam jejak medis. Dalam kondisi seperti ini, pihak medis memberitahukan bahwa terpidana memang sedang dalam kondisi perlu penanganan dokter. Selanjutnya, dengan berbagai pertimbangan yang mampu digali oleh hakim, lalu pihak hakim memutuskan mengabulkan permohonan itu.
Dalam keputusannya, hakim lalu mengubah status tahanan terpidana, dari semula harus menjalani tahanan rutan menjadi berstatus tahanan kota dengan syarat adanya penjaminan. Kemudian datanglah pengacara dari terpidana bertindak selaku penjamin. Selanjutnya terpidana menjadi berstatus tahanan kota. Batasan yang diberikan kepadanya, ia tidak boleh bepergian keluar kota atas jaminan pegacara. Apakah Islam mengenal akad penjaminan semacam ini?
Selintas Pandang tentang Penjaminan dalam Fiqih
Ada dua akad penjaminan dalam Islam. Pertama, akad itu diatur dalam bab dlaman (ganti rugi). Kedua, akad itu diatur dalam bab kafalah (penjaminan).
Kedua akad ini saling bersinergi antara satu sama lain. Dan kafalah merupakan bagian dari rumpun akad dlaman, sebagaimana rahn (gadai) juga merupakan bagian dari rumpun akad dlaman.
Rahn (gadai) merupakan bentuk penjaminan terhadap utang. Sementara itu kafalah, merupakan bentuk penjaminan terhadap pekerjaan (fi’lin).
Di dalam mazhab Syafi’i, akad dlaman (ganti rugi) memiliki objek penjaminan (madlmun ‘alaih) yang terdiri dari barang (ain), utang (dain), dan pekerjaan (fi’lin/nafsin).
Untuk objek penjaminan yang terdiri dari barang dan utang, maka akad penjaminan ini tidak diperselisihkan kebolehannya. Yang diperselisihkan adalah bila objek penjaminannya berupa pekerjaan (nafsin). Setidaknya, ada 2 alasan bagi timbulnya perbedaan pendapat itu, yaitu:
Pertama, penjaminan yang terdiri dari nafsin (pekerjaan), menyimpan adanya unsur gharar (spekulatif) dan jahalah (ketidaktahuan) dan bahkan maisir (judi).
Kedua, suatu pekerjaan yang dijamin, meniscayakan pekerjaan itu bisa dikerjakan pada waktu jatuh temponya pekerjaan. Semisal, suatu proyek pembangunan, maka kapan dilaksanakannya proyek itu adalah sesuatu yang harus bisa dijamin berdasarkan jadwal pengerjaan yang disodorkan oleh perusahaan, adanya rincian bagaimana proyek itu akan berlangsung, bagaimana pola kerjanya, kapan jadwal penyelesaiannya, dan lain-lain.
Jadi, tidak masalah bila uang proyek sudah diserahkan terlebih dulu oleh “pihak yang menyelenggarakan” kepada “pemegang tender”, saat deal akad itu terjadi meski pekerjaan itu belum dilaksanakan.
Akad ini secara tidak langsung juga menduduki akad “pesan proyek pendirian”. Para fuqaha mazhab Hanafi menyebutnya sebagai akad istishna’. Kita sering membahasakannya sebagai akad inden, pesan rakit barang, atau akad tender. Mazhab Syafi’i menyebutnya sebagai akad bai’ salam (jual beli salam).
Kaitan Penjaminan dalam Fiqih dengan Penjaminan Terpidana
Di dalam melakukan penjaminan terhadap terdakwa, hal yang paling urgen dipermasalahkan dalam konteks fiqih adalah termasuk jenis akad penjaminan yang mana hal itu akan dimasukkan dalam rumpun akad dlaman. Apakah termasuk penjaminan barang, penjaminan utang, ataukah jaminan pekerjaan?
Sudah barang tentu bahwa status terpidana tidak menempati derajat barang, utang, atau bahkan pekerjaan. Mana ada kamusnya di dunia ini yang menyatakan bahwa menjadi terpidana adalah yang sah dinyatakan sebagai “pekerjaan”?
Bahkan dalam beberapa kasus, tidak boleh ada transaksi jual beli status terpidana. Sebab, status terpidana adalah bukan objek yang sah untuk dijualbelikan/ditransaksikan. Alhasil, tidak sah pula menyewa orang untuk menggantikan hukuman penjara yang harus dijalani oleh seseorang dengan alasan keluarganya akan dijamin kehidupannya, dan lain sebagainya.
Hal ini sebagaimana juga ditegaskan dalam mazhab Syafi’i bahwa menggantikan had (pidana mati) dan ‘uqubah (sanksi penjara) yang harus dilakukan oleh seseorang, hukumnya tidak sah. Mengapa? Sebab, ada hak Allah subhanahu wata’ala yang harus ditebus oleh pelaku (pendosa) dan tidak bisa digantikan oleh pihak lain. Untuk hak yang berkaitan dengan anak adam, bisa jadi sebagai yang bisa diganti dengan materi. Jadi, hak Allah itulah penyebab utamanya ketidakbolehan transaksi “status terpidana”.
Karena status terpidana itu tidak bisa ditransaksikan, maka tidak sah pula dilakukan penjaminan. Hal ini sudah barang tentu, jika kita menilainya dari kaidah fiqih mazhab Syafi’i.
Jika status terpidana sebagai tidak bisa ditransaksikan, lantas mengapa ada jaminan bagi terpidana?
Kita tidak memungkiri bahwa memang dalam kondisi tertentu, ada pihak terpidana atau terdakwa, atau yang sedang bersangkutan dengan hukum pidana, mereka membutuhkan adanya kelonggaran disebabkan kebutuhan yang mendesak. Sebagaimana disampaikan dalam awal tulisan ini, seumpama berobat, dan sebagainya.
Persoalannya adalah alangkah berisikonya membiarkan terpidana, atau pihak yang bersangkutan dengan hukum dibiarkan lepas begitu saja di luaran tanpa adanya suatu jaminan yang bisa mengikatnya untuk tidak keluar dari batas-batas yang diperbolehkan oleh pengadilan. Tapi, apa bentuk jaminan yang diperbolehkan itu?
Dalam kondisi semacam ini, qiyas yang dilakukan oleh para ulama adalah terhadap permasalahan yang pernah dialami oleh Sayyidina Umar radliyallahu ‘anhu. Dalam suatu keterangan, beliau pernah menjamin jiwa seseorang yang dituduh telah melakukan pembunuhan. Alhasil, orang tersebut tersangkut dengan hukum qishash.
Namun, orang itu sedang memiliki kewajiban lain yang harus ditunaikan sebelum hari H dilakukannya qishash. Kewajiban itu bersangkutan dengan amanah barang yang harus disampaikan kepada pemiliknya dan kaumnya. Lalu, dia meminta izin agar bisa menunaikan dulu, sebelum menjalani qishash. Alhasil, tidak ada hal yang bisa dijaminkannya. Lalu, tampillah Sayyidina Umar untuk menjaminnya.
Alhasil, jaminan yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ini dalam pendapatnya mazhab Hanafi dan Maliki, kemudian diistilahkan sebagai kafalah bi al-nafsi. Dalam konteks ini, tentu teramat bahaya bagi Sayyidina Umar tersebut, jika saja pihak yang dijamin itu tidak kembali, sebab beliau bisa menggantikan sebagai pihak yang harus menerima qishash.
Dalam kenyataannya, menggantikan sanksi pidana adalah tidak diperbolehkan dalam syara’. Oleh karenanya, tidak tepat bila kemudian jaminan sebagaimana yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ini sebagai kafalah bi al-nafsi. Dari sini, kemudian fuqaha’ dari kalangan Hanafiyah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Nailu al-Authar, menyebut adanya jenis jaminan yang keempat, yaitu kafalah bi ma laisa ainan wa la dainan wa la fi’lan (jaminan yang bukan terdiri dari barang, utang dan pekerjaan). Kafalah jenis ini secara tidak langsung menempatkan “reputasi” (jah) dari Sayyidina Umar sebagai sesuatu yang bisa dijadikan jaminan.
Namun, fuqaha’ dari kalangan Syafi’iyah tidak membaca apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar tersebut sebagai kafalah bi al-nafsi (jaminan jiwa) atau sebagaimana kafalah keempat di atas. Alasannya, karena reputasi (jah) tidak bisa dikategorikan sebagai harta. Padahal konsepsi jaminan mensyaratkan wajibnya harus senilai harta.
Pada akhirnya, para ahli fiqih kalangan Syafi’iyah ini membaca praktik apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar tersebut sebagai kafalah bi al-fi’li (jaminan pekerjaan). Maksudnya, bilamana pihak yang dijamin (ashil) itu tidak melakukan apa yang disampaikannya, maka pihak kafil sanggup menanggung beban utang yang harus ditunaikan oleh pihak ashil (pihak bermasalah). Permasalahannya adalah utang apa dan berapa besaran utang tersebut?
Sudah barang tentu, utang itu disesuaikan dengan besaran diyat yang harus dikeluarkan sesuai jenis pembunuhan sebagaimana kasus itu berangkat. Alhasil, jaminan itu merupakan tanggung jawab pemenuhan pembayaran diyat, yatu antara diyat pembunuhan sengaja (qatlu ‘amdin), pembunuhan semi sengaja (syibhu ‘amdin), atau pembunuhan tersalah (qatl al-khatha’).
Alhasil, menjamin pihak terpidana oleh pengacara adalah termasuk kategori jenis akad penjaminan yang memiliki dasar dalam Islam.
Dalam konteks mazhab Hanafi, akad penjaminan ini termasuk jenis kafalah bi al-jah (jaminan berbasis reputasi pengacara) (ma laisa ainan, wa la dainan, wa la fi’lan). Dalam konteks mazhab Maliki bisa dikelompokkan sebagai kafalah bi al-nafsi (jaminan jiwa). Dalam konteks mazhab Syafi’i, bisa disebut sebagai kafalah bi al-fi’li/kafalah bi al-nafsi. Jadi, bila pihak yang dijamin kemudian melarikan diri, maka pihak penjamin menjadi harus menanggung ganti rugi berupa denda yang wajib dibayar oleh pihak terjamin (ashil). Wallahu a’lam bish shawab. []
Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar