Sikap Saling Memahami antara Islam dan Barat (2)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Sikap saya jelas tidak membenarkan penaklukkan Konstantinopel itu, mentang-mentang dilakukan oleh penguasa Muslim. Saya mengungkapkannya sebagai fakta sejarah yang tidak bisa diubah oleh siapa pun.
Saya sepenuhnya meyakini kebenaran alinea pertama pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Alinea ini adalah saripati pengalaman pahit, getir, dan perasaan hina para pendiri bangsa Indonesia dalam menyikapi sistem penjajahan oleh pihak mana pun.
Pada sampul belakang buku Roger Crowley di atas (lih. Resonansi, 9 Maret), terasa sekali dendam Barat atas kejatuhan Konstantinopel itu, sekalipun dalam bahasa yang relatif sopan. Kita kutip: “Selama lebih 1000 tahun, Konstantinopel telah menjadi pusat dunia Barat dan [kemudian] sebagai pertahanan Kristen terhadap Islam. Tetapi tahun 1453, Mehmet II, sultan Imperium Turki Usmani, mengerahkan pasukan Islam, bertekat untuk mengambil kota itu melalui pengepungan.”
“Dilengkapi dengan persenjataan baru, 80,000 Muslim bulan April 1453 mengawali pukulan mereka melawan hanya sejumlah 8,000 pasukan Kristen dikomandani oleh Constantine XI, kaisar ke-57 Bizantium. Setelah berminggu-minggu gempuran tanpa jeda, kota itu jatuh dan dunia berubah, menandai usainya dunia abad tengah.”
Kita terjemahkan judul karya Roger Crowley itu: 1453: Perang Suci untuk Konstantinopel dan Benturan Islam dan Barat. Bahwa kejatuhan kota Konstantinopel itu telah mengubah dunia secara dramatis, memang dapat diterima. Dan itu dilakukan oleh seorang komandan berusia belia.
Amati istilah yang dipakai di sini “Benturan Islam dan Barat” (The Clash of Islam and the West). Roger tidak salah, karena memang yang terjadi adalah gempuran pasukan Muhammad II untuk menaklukkan kota Konstantinopel, ibu kekaisaran Bizantium, demi keperkasaan Imperium Turki Usmani.
Karya Roger setebal 266 halaman ini secara kebetulan saya beli di bandara Istanbul (Konstantinopel lama) pada 6 Mei 2016 dalam perjalanan pulang dari simposium tentang Fazlur Rahman di kampus Universitas Inonou, Malatya, Turki bagian Timur.
Bagaimana kebijakan Sultan Muhammad yang mengetahui banyak bahasa itu setelah peristiwa besar itu? Dari sumber ensiklopedia Barat karya Cyril Glasse, kita baca kesaksian berikut ini: “Sebagai seorang Sultan, Mehmet II bersikap liberal secara wajar terhadap penduduk yang ditaklukkannya, memberikan perlindungan terhadap gereja-gereja Kristen dan biara-biara yang jatuh ke bawah kekuasaannya. Memang, pada akhirnya, Turki Usmani benar-benar telah jadi pelindung gereja Ortodoks.”
“Mehmet II faham bahasa Persi, bahasa Arab, dan bahasa Turki, sedikit bahasa Latin dan bahasa Yunani. Dia menulis puisi dalam bahasa Persi dan sekaligus sebagai pelindung kesenian.” (Lih. Cyril Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam. New York: HarperCollins, 1991, hlm. 266). Dalam sejarah Turki, Sultan Muhammad II sebagai penakluk besar ditulis dengan tinta emas.
Tetapi di ujung hidupnya yang tragis, pada 3 Mei 1481, Sultan Muhammad kabarnya diracun oleh dokternya seorang Persi yang bersekongkol dengan putera mahkota Bayezit yang memang tidak punya hubungan dekat dengan sang ayah. Kematian Sultan Muhammad ini disambut dengan sorak-sorai di Italia terutama. (Roger, hlm. 254). Dunia Barat benar-benar merasa lega dengan menghilangnya musuh besar yang sangat ditakuti itu.
Istana Topkapi yang megah di Istanbul, tempat kediaman sultan Turki Usmani antara abad ke-15 sampai akhir abad-ke-19, sarat dengan cerita mistik dan skandal harem (pergundikan). (Lih. Akbar S. Ahmed, Islam Today. London-New York: I.B. Tauris Publishers, 2002, hlm. 73).
Perbuatan racun meracun ini dalam politik kekuasaan bukanlah sesuatu yang ganjil, termasuk berlaku dalam imperium, kerajaan, kesultanan, atau pun republik yang dipimpin oleh penguasa Muslim. []
REPUBLIKA, 16 Maret 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar