Oleh: Haedar Nashir
Münster. Inilah kota tua di kawasan utara negara bagian Noredhein-Westfalen, Jerman. Saat itu musim dingin. Perjalanan darat dari Den Haag Belanda sekitar sembilan jam agak melelahkan.
Begitu sampai di kota “biara” (monasterium) dengan ragam budaya warisan Kekaisaran Romawi ini, penat hilang seketika. Ada aura damai di kota ini.
Ternyata, Münster yang berwajah klasik nan damai ini menyimpan jejak sejarah kelam. Kota ini menjadi arena terjadinya pemberontakan Anabaptis selama Reformasi Protestan.
Di kota ini 24 Oktober 1648 ditandatangani Perjanjian Westfalen antara Kaisar Romawi Suci Ferdinand III, para pangeran Jerman, serta perwakilan negeri Belanda, Prancis, dan Swedia. Mengakhiri perang 30 tahun antara Katolik dan Protestan yang dahsyat, serta penjajahan 80 tahun Spanyol atas Belanda.
Di tengah Balai Kota, berdiri kokoh sebuah bangunan tua, Friedenssaal. Dikenal sebagai the Peace Hall, Aula Perdamaian. Friedenssaal yang bergaya gotik Münster ini awalnya berfungsi sebagai ruang dewan dengan panel kayu era Renaisans yang khas.
Terdapat pula galeri foto, dengan gambar para duta besarnya. Bangunan klasik ini menjadi saksi tragedi konflik agama yang berkonspirasi dengan politik negara.
Dari tonggak Friedenssaal inilah sejak 2015 Münster mendapat pengakuan dari Komisi Eropa sebagai “Sites of the Peace of Westphalia”. Friedenssaal adalah saksi sejarah bahwa segala bentuk penjajahan, perang, konflik, dan kekerasan atas nama apapun merupakan tragedi terburuk dalam peradaban umat manusia yang tak boleh berulang!
Konflik agama
Perang dan segala konflik kekerasan selalu mengerikan dan meninggalkan jejak hitam dalam sejarah kemanusiaan. Perang di era klasik hingga modern sama hasil akhirnya, tragedi kemamusiaan yang nista. Perang bukankah jalan menuju damai sebagaimana teori dan jalan politik pragmatis yang menyesatkan. Manusia tidak boleh dibenarkan mempraktikkan mazhab Hobbesian, homo homini lupus. Satu sama lain menjadi srigala buas.
Perang Dunia I dan II menjadi penanda kelam dan kejam yang menodai proyek modernitas. Jutaan manusia mati sia-sia. Setiap negara hancur. Hirosima-Nagasaki saksi bisu bom atom yang menghancurkan Jepang. Di Eropa tragedi Holocoust dan Auschwitz adalah catatan getir dari genosida sekitar enam juta Yahudi oleh rezim Nazi, yang memilukan sejarah kemanusiaan di era modern.
Perang 30 Tahun (1618-1648) terjadi di Jerman. Perang tersebut bermula dari pemaksaan agama Katolik Roma yang didukung Kaisar Ferdinan II untuk menjadi agama monolitik dalam seluruh wilayah kekuasaan Jerman, yang ditentang golongan Protestan. Perang ini juga bertemali dengan kontestasi politik penguasa Habsburg di Kekaisaran Romawi Suci yang berusaha memperluas kendali mereka di kawasan Benua Biru. Golongan Kristen dan Katolik Prancis justru bersatu menentang perluasan hegemoni tersebut.
Sejarah Islam juga mencatat Perang Jamal, Shiffin, dan konflik mazhab yang berbuah kekerasan sebagai sisi kelam dari peradaban Islam. Karbala menjadi salah satu saksi sejarah dari konflik keras antar golongan muslim ini.
Peristiwa mirip Perang 30 Tahun di Eropa juga terjadi ketika Dinasti Abbasiyah era Kekhalifahan Al-Makmun sampai Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq melakukan “mihnah” terhadap mazhab Hanbaliah. Negara menjadi alat kekuasan politik hegemoni keagamaan yang monilitik serta memaksakan mazhabnya untuk berkuasa dan menindas golongan lain yang berbeda mazhab.
Perang agama sama tragisnya dalam sejarah umat manusia. Perang atas nama agama, Karen Amstrong menyebutnya “holy war”, terjadi bukan hanya antar pemeluk agama yang berbeda, tetapi juga sesama umat satu agama. Tuhan, Nabi, dan Kiitab Suci diatasnamakan untuk perebutan hegemoni duniawi.
Agama tertentu dipaksakan untuk menjadi kekuatan tunggal dalam rezim kekuasaan. Dari konflik agama yang bersenyawa dengan politik atau sebaliknya, lahirlah tragedi perang dan kekerasan yang menghancurkan tatanan kehidupan bersama seluruh umat manusia.
Konflik atau perang agama belum tentu sepenuhnya murni agama, karena pada banyak bagian bercampuraduk dengan urusan keduniaan seperti perebutan kepentingan ekonomi dan politik. Boleh jadi hal yang sering disebut prinsip agama pun, yang menjadi menjadi pemicu suatu konflik, belum tentu sepenuhnya sebagai sesuatu yang fundamental.
Prinsip agama yang dikonstruksikan oleh sang aktor, sering bermuatan politik atau urusan duniawi. Sebagian konflik keagamaan tidak jarang bersifat personal dari para aktor yang terlibat. Dalam sosiologi Weberian dikenal tesis “Religion is really economic, politics is really religion, economics is really politics” (Collins, 1986). Agama menjadi alat kepentingan ekonomi-politik yang disakralkan!
Agama damai
Agama secara khusus berfungsi sebagai “the sacred canopy” (teras pelindung suci) atau “nomos” (menciptakan keteraturan hidup) yang membuat manusia terbebas dari “chaos” dan “anomie” yakni segala sesuatu yang kacau dan ketidakteraturan hidup (Berger, 1967).
Agama menurut perspektif Islam berfungsi “lishalah al-‘ibad”, sebagai pembawa kebahagiaan sejati hidup umat manusia, yang menebar rahmat bagi semesta alam (QS al-Anbiya: 107). Islam dalam arti dasar bahkan bermakna “salam”, yakni keselamatan dan perdamaian.
Persoalannya, dalam praktik hidup apakah agama benar-benar difungsikan untuk menciptakan kanopi suci yang menebar keselamatan dan perdamaian, serta membebaskan manusia dari anarki?
Jawaban normatifnya tentu 100 persen positif. Tetapi kenyataan juga tak terbantah, sesama umat seagama dan antaragama terjadi perang dan konflik. Sejarah Islam, selain tragedi Katolik dan Kristen dalam Perang 30 Tahun di Eropa, mencatat sejumlah tragedi perang dan konflik keras sesama kaum Muslim yang menggoreskan catatan kelam dalam lintasan peradaban Islam.
Karenanya semua umat beragama baik internal maupun antar golongan agama saat ini di manapun berada semakin dituntut komitmen luhurnya untuk memgedepankan nilai keselamatan, kebahagiaan, dan perdamaian yang melintas-batas dari kehadiran agama.
Sebaliknya semua umat beragama berkomitmen mencegah pertikaian, kebencian, permusuhan, perpecahan, kekerasan, dan teror atas nama agama maupun politik dan apapun yang bermuara pada tragedi yang menghancurkan kehidupan bersama. Siapa dan apa yang diuntungkan dari konflik agama?
Di Bologna Italia tahun 2018 para tokoh agama sedunia bertemu mendialogkan agama sebagai jembatan perdamaian, “Bridges of Peaces, Religions and Cultures in Dialogue”. Di Madrid setahun kemudian (2019), pesan yang sama digelorakan kembali, “Peace With No Borders: Religions and Cultures in Dialogue”.
Pada upacara pembukaan Forum Dialog di Madrid, pendiri dan tokoh Community of San’t Egidio Andrea Riccardi selaku penyelenggara menyampaikan pesan menarik.
Bahwa setiap manusia beragama mesti mengangkat pandangannya ke langit, yang tak bisa dibatasi oleh apapun. Setiap orang diajak untuk memahami perdamaian sebagai "global significance", yaitu sesuatu penting dan terkait satu sama lain secara membuana, meskipun makna dan arti dari ide luhur seperti ini mulai hilang. Saat ini hanya ada sedikit kesadaran terkait situasi konflik yang berlangsung, ancaman perang, dan ketegangan di berbagai batas wilayah.
Para ulama dan tokoh Islam sedunia tahun 2018 menyuarakan “Pesan Bogor” tentang Islam Wasathiyah. Para tokoh Islam bersepakat, “Mengakui realitas peradaban modern yang menunjukkan kekacauan global, ketidakpastian dan akumulasi kerusakan global, diperparah oleh kemiskinan, buta huruf, ketidakadilan, diskriminasi, dan berbagai bentuk kekerasan, baik di tingkat nasional maupun global."
Sekaligus “Percaya pada Islam sebagai agama damai dan rahmat (din al-salam wa al-rahmah), agama keadilan (din al-adalah), dan agama peradaban (din al-hadarah) yang prinsip dan ajaran dasarnya mengajarkan cinta, rahmat, harmoni, persatuan, kesetaraan, perdamaian, dan kesopanan”.
Kini bagaimana semua umat beragama membumikan nilai-nilai agama yang luhur dan mulia itu dalam praktik kehidupan nyata di lingkungan umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta. Sisihkan kepentingan-kepentingan sempit yang mempertajam perbedaan dan memicu konflik internal dan antar umat beragama, yang muaranya merusak hubungan dan keutuhan hidup seluruh umat beragama.
Terlalu mahal harganya manakala agama dijadikan sarana perebutan hegemoni kepentingan yang berlawanan dengan nilai-nilai dasar dan luhur setiap agama. Kedepankan dialog yang tulus dan autentik.
Ketika terjadi konflik dan intoleransi atas nama agama tidak perlu digeneralisasi dan dipolitisasi. Kedepankan solusi. Pihak manapun penting percaya pada nilai luhur agama dan kesalehan orang beragama dalam menyuarakan serta menghadirkan agama damai yang menebar rahmat bagi semesta.
Jauhkan sikap apriori dan phobia terhadap agama serta umat beragama dengan memandang negatif agama sebagai sumber kekerasan, teror, intoleran, radikal, dan perilaku ekstrem. Padahal pada saat yang sama ikut memproduksi ekstremisme, terorisme, intoleransi, dan radikalisme dalam paham dan wujud lain!
Kaum beragama pun niscaya hadir dengan mutiara uswah hasanah. Buktikan agama sebagai ajaran damai antipermusuhan. Di ruang publik hentikan ujaran menebar benih benci, intoleransi, dan perselisihan atas nama agama.
Ketika menyuarakan keadilan lakukanlah dengan cara ihsan, hatta terhadap pihak yang tidak disukai (QS al-Maidah: 2). Menggelorakan nahyu munkar dengan cara makruf berjiwa hikmah, mauidhah hasanah, dan mujadalah terbaik yang diajarkan Tuhan (QS an-Nahl: 125).
Agama tidak disuarakan dengan semuci, apriori, arogansi, dan politisasi. Para tokoh dan umat beragama sangatlah elok hadir menjadi figur-figur teladan yang “mengajarkan cinta, rahmat, harmoni, persatuan, kesetaraan, perdamaian, dan kesopanan”! []
REPUBLIKA, 27 Maret 2021
Prof. Haedar Nashir | Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar