Dalam tradisi Arab ketika itu (Quraisy), hampir semua orang tua menitipkan anaknya di perkampungan (Badui). Di sana anak-anak disusui beberapa tahun lamanya, sebagai gantinya mereka menerima bayaran dari pihak keluarga, termasuk Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Tentunya, dalam setiap tradisi yang hidup, ada penyebab yang melatar-belakanginya. Di samping alasan menghindari wabah menular yang biasa menjangkiti daerah perkotaan (Makkah), Imam al-Suhaili mengemukakan beberapa alasan lain. Ia menulis:
لِيَنْشَأَ الطّفْلُ فِي الْأَعْرَابِ، فَيَكُونَ أَفْصَحَ لِلِسَانِهِ وَأَجْلَدَ لِجِسْمِهِ
“Supaya anak-anak tumbuh di lingkungan pedesaan (Badui) yang membuatnya lebih fasih dalam bertutur kata dan menguatkan fisiknya.” (Imam al-Muhaddits Abdurrahman al-Suhaili, al-Raudl al-Unuf fi Syarh al-Sirah al-Nabawiyyah li Ibn Hisyam, Kairo: Darul Hadits: 2008, juz 1, h. 318)
Saat itu, kefasihan bertutur orang Arab Badui jauh lebih murni (asli) dibandingkan Arab Hadlar (kota, Makkah). Ini dibuktikan dengan beberapa informasi yang ditulis oleh Imam al-Suhaili. Paling tidak ia menulis dua informasi penting mengenai hal ini. Informasi pertama adalah ketika Sayyidina Abu Bakr al-Shiddiq berkata kepada Rasulullah: “mâ ra’aytu afshaha minka yâ Rasûlullah (aku tidak melihat orang yang lebih fasih darimu, ya Rasulullah).” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “mâ yamni’unî, wa ana min quraisy wa urdli’tu fî banî sa’d? (apa yang membatasiku, aku berasal dari Quraisy dan disusui (dan tumbuh) di Bani Sa’d?)” (Imam al-Muhaddits Abdurrahman al-Suhaili, al-Raudl al-Unuf fi Syarh al-Sirah al-Nabawiyyah li Ibn Hisyam, 2008, juz 1, h. 318)
Informasi kedua adalah kecintaan Abdul Malik bin Marwan kepada anaknya yang bernama Walid, sehingga ia menjadi orang yang sering salah berucap (lahhân), baik dari pelafalan maupun i’rab-nya (gramatika), sedangkan anaknya yang lain, Sulaiman, sangat fasih berucap. Imam al-Suhaili mengatakan:
لِأَنّ الْوَلِيدَ أَقَامَ مَعَ أُمّهِ وَسُلَيْمَانُ وَغَيْرُهُ مِنْ إخْوَتِهِ سَكَنُوا الْبَادِيَةَ
“(Hal itu terjadi) karena al-Walid tinggal bersama ibunya, sedangkan Sulaiman dan saudara-saudaranya yang lain tinggal di wilayah perkampungan (Arab Badui).” (Imam al-Muhaddits Abdurrahman al-Suhaili, al-Raudl al-Unuf fi Syarh al-Sirah al-Nabawiyyah li Ibn Hisyam, 2008, juz 1, h. 318-319)
Fasih di sini tidak sekadar benar dalam bunyi pelafalan yang dikeluarkan, tapi mencakup semua aspeknya, dari mulai gramatika, kekayaan kosakata, ketepatan lafal, sampai mampu menggubah syair yang menawan. Tidak heran jika orang Arab Quraisy melahirkan banyak sastrawan hebat, karena mereka berhasil menggabungkan kekayaan bahasa asli orang Arab Badui dengan realitas sosial kehidupan perkotaan (Arab Hadlar). Karena itu, banyak orang-orang berada dari suku Quraisy menitipkan anak-anaknya di perkampungan Arab Badui.
Tsuaibah al-Aslamiyyah
Menurut sebagian besar riwayat, ketika baru lahir Rasulullah disusui oleh ibunya sendiri selama tujuh hari, lalu dilanjutkan oleh Tsuaibah al-Aslamiyyah, budak wanita Abu Lahab. Dalam al-Mukhtashar al-Kabîr dijelaskan:
لَمَّا وَلَدَتْهُ صلي الله عليه وسلم أُمُّهُ أَرْضَعَتْهُ سَبْعَةَ أَيَّامٍ, ثُمَّ أَرْضَعَتْهُ ثُوَيْبَةُ الْأَسْلَمِيَّةُ مَوْلَاةُ أَبِي لَهْبٍ أَيَّامًا
“Ketika Ibunya (Sayyidah Aminah) melahirkan Rasulullah SAW, ibunya menyusuinya selama tujuh hari, kemudian Tsuwaybah al-Aslamiyyah, budak Abu Lahab menyusuinya selama beberapa hari....” (Imam ‘Izzuddin bin Badruddin bin Jama’ah al-Kinani, al-Mukhtashar al-Kabîr fi Sîrah al-Rasûl, 1993, h. 23)
Selain menyusui Rasulullah, Tsuwaybah al-Aslamiyyah juga menyusui Sayyidina Hamzah bin Abdul Muttalib (paman Nabi), Abdullah bin Jahs, dan Masruh (anaknya sendiri). Ini menjadikan mereka saudara sepersusuan dengan Rasulullah. Imam al-Suhaili menyebutkan:
وَأَرْضَعَتْهُ—صلي الله عليه وسلم—ثُوَيْبَةُ قَبْلَ حَلِيْمَةَ, أَرْضَعَتْهُ وَعَمَّهُ حَمْزَةَ وَعَبْدَ اللهِ بن جَحش
“Tsuwaybah menyusui Rasulullah SAW sebelum Halimah. Dia pun menyusui paman nabi, (Sayyidina) Hamzah dan Abdullah bin Jahsy.....” (Imam al-Muhaddits Abdurrahman al-Suhaili, al-Raudl al-Unuf fi Syarh al-Sirah al-Nabawiyyah li Ibn Hisyam, Kairo: Darul Hadits, 2008, juz 1, h. 315)
Perihal keislamannya, para ulama berbeda pendapat. Imam Abu Nu’aim mengatakan, “tidak ada seorang pun yang menyebutkan keislamannya.” Yang jelas, Rasulullah sangat memuliakan Tsuwaybah, sampai istri beliau, Sayyidah Khadijah turut memuliakannya, “kânat khadîjah tukrimuhâ (Khadijah (sangat) menghormati Tsuwaybah).” Bahkan Rasulullah sering mengirimnya pakaian, selimut dan lain sebagainya sampai Tsuwaybah wafat di tahun ke-7 Hijriah. (Khairuddin al-Zirkili, al-A’lâm: Qâmûs Tarâjim, Beirut: Darul Ilm lil Malayin, 2002, juz 2, h. 102)
Ulama juga berbeda pendapat tentang kapan Tsuwaybah dimerdekakan oleh Abu Lahab. Sebagian berpendapat setelah ia mengabarkan kelahiran Muhammad kepadanya, sebagian lagi berpendapat setelah Rasulullah hijrah ke Makkah. Pendapat pertama, bertepatan dengan kelahiran, didasarkan pada riwayat (HR. Imam al-Bukhari):
قَالَ عُرْوَةُ وثُوَيْبَةُ مَوْلَاةٌ لِأَبِي لَهَبٍ كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا فَأَرْضَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ قَالَ لَهُ مَاذَا لَقِيتَ قَالَ أَبُو لَهَبٍ لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ
“Urwah (bin Zubair) berkata: “Tsuwaybah adalah budak Abu Lahab. Abu Lahab memerdekakannya, kemudian ia menyusui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di saat Abu Lahab meninggal, sebagian dari keluarganya bermimpi melihatnya mendapat siksa yang buruk. Abu Lahab ditanya: “Apa yang kau temui?” Abu Lahab menjawab: “Aku tidak menemukan apapun sepeninggal kalian selain aku diberi minum karena memerdekakan Tsuwaybah.”
Sementara pendapat yang mengatakan Tsuwaybah dimerdekakan setelah Rasulullah hijrah ke Madinah didasarkan pada riwayat lain:
وَكَانَت خديجةُ تُكرمها، وَقيل: إِنَّهَا سَأَلت أَبَا لَهَبٍ فِي أنْ تبتاعها مِنْهُ لتِعتقِها فَلم يفعل، فلمّا هَاجر رَسُول الله إِلَى الْمَدِينَة أَعتقها
“Khadijah sangat memuliakan Tsuwaybah. Diriwayatkan bahwa Khadijah meminta Abu Lahab menjual Tsuwaybah kepadanya agar ia bisa memerdekannya, tapi Abu Lahab tidak (mau) melakukannya. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, Abu Lahab memerdekakannya.” (Imam ‘Izzuddin bin Badruddin bin Jama’ah al-Kinani, al-Mukhtashar al-Kabîr fi Sîrah al-Rasûl, 1993, h. 23)
Meski demikian, Imam al-Suhaili lebih mempercayai riwayat yang pertama, begitu pun dengan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, bahwa, “anna ‘itqahâ kâna qabl al-irdlâ’—Tsuwaybah dimerdekakan sebelum menyusui (Rasul).” (Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, juz 9, h. 48).
Dalam riwayat yang dicatat Imam al-Suhaili, Rasulullah mendengar kabar kewafatan Tsuwaybah di saat umat Islam berhasil membebaskan Makkah. Ketika itu beliau menanyakan keadaan Tsuwaybah dan anaknya, Masruh. Imam al-Suhaili menulis:
وَكَانَ رَسُولُ اللهِ يَعْرِفُ ذَلِكَ لِثُوَيْبَةَ وَيَصِلُهَا مِنْ الْمَدِينَةِ، فَلَمّا افْتَتَحَ مَكّةَ سَأَلَ عَنْهَا وَعَنْ ابْنِهَا مَسْرُوحٍ، فَأُخْبِرَ أَنّهُمَا مَاتَا، وَسَأَلَ عَنْ قَرَابَتِهَا، فَلَمْ يَجِدْ أَحَدًا مِنْهُمْ حَيّا
“Rasulullah tahu bahwa Tsuwaybah (menyusuinya di saat beliau kecil), karenanya beliau sering mengiriminya (sesuatu) dari Madinah. Ketika Makkah dibebaskan (ditaklukkan), Rasulullah bertanya tentangnya dan anaknya, Masruh, lalu dikabarkan padanya bahwa mereka berdua telah meninggal. Rasulullah bertanya tentang kerabatnya, namun tak seorang pun yang berhasil menemukan mereka yang masih hidup.” (Imam al-Muhaddits Abdurrahman al-Suhaili, al-Raudl al-Unuf fi Syarh al-Sirah al-Nabawiyyah li Ibn Hisyam, 2008, juz 1, h. 315)
Haliman al-Sa’diyyah
Setelah disusui Tsuwaybah beberapa hari, Sayyidah Aminah menitipkan Rasulullah kepada Halimah binti Abu Dzuaib dari Bani Sa’d. Awalnya Halimah menolak membawa Nabi Muhammad karena ia yatim, tapi setelah ke sana-kemari tidak mendapatkan anak yang akan dibawanya pulang, ia kembali ke rumah Sayyidah Aminah dan menerimanya dengan terpaksa. Dengan jelas ia mengatakan pada suaminya:
وَاَللهِ إنّي لَأَكْرَهُ أَنْ أَرْجِعَ مِنْ بَيْنِ صَوَاحِبِي وَلَمْ آخُذْ رَضِيعًا، وَاَللهِ لَأَذْهَبَنّ إلَى ذَلِكَ الْيَتِيمِ فَلَآخُذَنّهُ
“Demi Allah, sesungguhnya aku benci kembali bersama rombongan tanpa membawa anak untuk disusui. Demi Allah, sungguh akan kudatangi lagi anak yatim itu, dan benar-benar mengambilnya sebagai anak susuan.” (Imam Ibnu Atsîr, al-Kâmil fî al-Tarîkh, Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987, juz 1, h. 357)
Dan ternyata, anak yatim itu memberi keberkahan luar biasa kepada Halimah al-Sa’diyyah dan keluarganya. Di musim paceklik semacam ini, mereka tidak pernah merasa kenyang sebelumnya, anak-anaknya terus menangis karena lapar (tidak mendapat ASI yang cukup), tiba-tiba kenyang menyusu kepadanya dan tertidur pulas. Unta yang semula kurus seketika penuh air susunya, hingga mereka berdua menikmati hari yang indah setelah membawa anak bernama Muhammad itu. Semuanya kenyang, hingga suaminya, al-Harits bin Abdul Uzza mengatakan:
تَعْلَمِينَ وَاَللهِ يَا حَلِيمَةُ لَقَدْ أَخَذْت نَسَمَةً مُبَارَكَةً, فَقُلْت: وَاَللهِ إنّي لَأَرْجُو ذَلِكَ
“Demi Allah, kau tahu, Halimah, sungguh kau telah mengambil anak yang diberkahi.” Aku (Halimah) berkata: “Demi Allah, itulah yang kuharapkan.” (Imam Ibnu Atsîr, al-Kâmil fî al-Tarîkh, 1987, juz 1, h. 357)
Semenjak Rasulullah tinggal bersamanya, Haliman al-Sa’diyyah tidak pernah kekurangan apapun, semuanya dimudahkan. Air susunya yang biasanya terbatas menjadi melimpah. Binatang ternaknya sehat dan produktif. Ia mengatakan, “sungguh tidak ada tanah yang lebih gersang dari tanahnya Bani Sa’d, tapi kambingku selalu pulang dengan air susu penuh. Kami memerah dan meminumnya, sementara kaumku yang lain tidak mendapatkan setetes susu pun dari kambing-kambing mereka.” Fenomena itu sampai membuat orang-orang dari kaumnya meminta kambingnya digembalakan bersama dengan kambing-kambing milik Halimah al-Sa’diyyah dan al-Harits bin Abdul Uzza, tapi tetap saja, kambing-kambing mereka tidak mengeluarkan setetes pun susu. (Imam Ibnu Atsîr, al-Kâmil fî al-Tarîkh, 1987, juz 1, h. 357)
Setelah Rasulullah berusia dua tahun, Halimah al-Sa’diyyah membawanya ke Makkah untuk mengembalikannya pada ibunya. Tapi, Halimah merasa berat berpisah dengan Rasul. Ia pun membujuk Sayyidah Aminah agar diberi izin beberapa tahun lagi mengasuhnya. Akhirnya, Sayyidah Aminah memberikan izinnya, dan Rasulullah kembali tinggal bersama Halimah al-Sa’diyyiah dan keluarganya.
Menurut beberapa riwayat, Halimah al-Sa’diyyah memeluk agama Islam tapi tidak langsung dari rasulullah karena situasinya yang tidak mendukung (susah bertemu). Sebelum wafat, Halimah berhasil menjumpai Rasulullah:
عَنْ أَبِي الطُّفَيْلِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقْسِمُ لَحْمًا بِالْجِعْرَانَةِ فَجَاءَتْهُ امْرَأَةٌ بَدْوِيَّةٌ فَبَسَطَ لَهَا رِدَاءَهُ، فَقُلْتُ: مَنْ هَذِهِ؟ قَالُوا: هَذِهِ أُمُّهُ الَّتِي كَانَتْ تُرْضِعُهُ
“Dari Abu Thufail radiyallahu ‘anhu, ia berkata: “aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membagi-bagikan daging di sekitar Ji’ronah, kemudian datang seorang wanita desa. Tiba-tiba Rasulullah membentangkan jubahnya untuknya.” Lalu aku bertanya: “Siapa ini?” Mereka (teman-teman Rasulullah) menjawab: “Dia adalah ibu yang menyusuinya.” (Imam Abu Bakr Ahmad, Musnad al-Bazzar, Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 2009, juz 7, h. 208)
Halimah wafat di tahun 9/10 Hijriah, dan dikebumikan di Baqi’. Ia meninggalkan tiga orang anak dari pernikahannya dengan al-Harits bin Abdul Uzza. Anak-anaknya adalah Abdullah bin al-Harits, Anisah bin al-Harits, dan Hudafah bin al-Harits (Syaima’). Nama terakhir ini cukup berperan dalam pelestarian agama Islam di jazirah Arab. Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallah wafat, banyak kabilah di Arab yang memberontak dan menyatakan keluar dari Islam, termasuk Bani Sa’d. Hudafah bin al-Harits (Syaima’) tampil membela Islam dengan segala upaya dan keberanian, hingga perlahan-lahan fitnah itu berlalu dari kaumnya. Ketiga anak Halimah adalah saudara sepersusuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka bermain bersama sejak kecil dan ketika dewasa, mereka semua memeluk Islam. Wallahu a’lam. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar