Syirik atau kemusyrikan tidak hanya terjadi pada umat Nabi Muhammad SAW. Hal ini sudah terjadi dan pernah dilakukan oleh umat-umat para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW.
Al-Quran telah menyebutkan banyak kisah terkait syirik yang pernah dilakukan oleh umat sebelum Nabi Muhammad SAW. Salah satu kemusyirkan yang terjadi sebelum masa Rasul SAW adalah praktik pada masa Nabi Ibrahim AS.
Kemusyrikan di masa Nabi Ibrahim AS berbeda dengan syirik pada masa Kaum Nabi Nuh AS yang membuat dan menyembah berhala karena rindu dengan keluarga mereka yang telah meninggal. Pada masa kaum Nabi Ibrahim AS syirik terjadi berawal dari keahlian umat Nabi Ibrahim AS yang tinggal di daerah Babilonia, dalam hal ilmu falak dan perbintangan.
Menurut Al-Jashshash dalam tafsirnya, umat Nabi Ibrahim AS yang pandai ilmu Nīranj (sejenis sihir) dan ilmu perbintangan membuat berhala-berhala yang dibuat sebanyak jumlah tujuh bintang dan menyembahnya. Mereka akan menyembah berhala-berhala tersebut sesuai keinginan mereka, (Lihat Abū Bakr Al-Jashshash, Aḥkamul Qurʽān, [Kairo, Daru Ihya’: 1992), juz I, halaman 44).
Lebih lanjut, Al-Jashshash mengatakan bahwa kaum Nabi Ibrahim AS tersebut akan mendekati berhala-berhala itu jika mereka memiliki keinginan, baik atau buruk. Ketika memiliki keinginan yang baik, seperti minta kebahagiaan, kecukupan dan lain sebagainya, mereka akan mendatangi berhala yang bernama Al-Musytarī (Yupiter) dengan membawa jimat, kemenyan dan lain sebagainya.
Ketika menginginkan keburukan dan celaka, mereka mendatangi berhala yang bernama Zuḥal (Saturnus). Ketika menginginkan penyakit, badai, dan kebakaran, mereka mendatangi Mirrīḥ (Mars). Berhala-berhala tersebut didatangi dan disembah sesuai keperluan dan kebutuhan mereka dan berdasarkan keyakinan mereka.
Rasyid Ridha menambahkan bahwa kaum Nabi Ibrahim AS menjadikan bintang-bintang sebagai manifestasi dari Tuhan dan unsur-unsur yang ada di alam semesta. Misalnya, mereka menganggap bahwa matahari adalah tuhan api dan cahaya bumi, langit sebagai pengatur para malaikat dan tempat para roh terdahulu, dan lain sebagainya, (Lihat Rasyid Ridha, Tafsirul Manār, [Kairo, Darul Mannar: 1947], juz VII, halaman 570).
Atas kesyirikan mereka, Allah SWT pun mengutus Nabi Ibrahim AS untuk menyampaikan dakwah kepada mereka. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, Nabi Ibrahim AS pertama-tama melakukan diskusi dengan mereka. Hal ini disebutkan dalam Surat As-Syuʽārā’ ayat 69-74.
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ إِبْرَاهِيمَ (69) إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا تَعْبُدُونَ (70) قَالُوا نَعْبُدُ أَصْنَامًا فَنَظَلُّ لَهَا عَاكِفِينَ (71) قَالَ هَلْ يَسْمَعُونَكُمْ إِذْ تَدْعُونَ (72) أَوْ يَنْفَعُونَكُمْ أَوْ يَضُرُّونَ (73) قَالُوا بَلْ وَجَدْنَا آبَاءَنَا كَذَلِكَ يَفْعَلُونَ (74) قَالَ أَفَرَأَيْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ
Artinya, “Bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya dan kaumnya, ‘Apakah yang kamu sembah?’ Mereka menjawab, ‘Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya.’ Dia (Ibrahim) berkata, ‘Apakah mereka (berhala-berhala itu) mendengarmu ketika kamu berdoa (kepadanya)?, Atau (dapatkah) mereka memberi manfaat atau mencelakakan kamu?’ Mereka menjawab, ‘Tidak, tetapi kami dapati nenek moyang kami berbuat begitu.’”
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim AS berupaya melakukan diskusi dan dialog terlebih dahulu kepada kaumnya yang menyembah berhala.
Sekilas mereka mengiyakan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh Nabi Ibrahim AS. Namun mereka tetap berpegang teguh pada keyakinan mereka hingga suatu hari Nabi Ibrahim menghancurkan berhala-berhala tersebut dan hanya membiarkan berhala yang paling besar tetap utuh. Hal ini disebutkan dalam Surat Al-Anbiyā’ ayat 62-68.
قَالُوا أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآلِهَتِنَا يَا إِبْرَاهِيمُ (٦٢) قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ (٦٣) فَرَجَعُوا إِلَى أَنْفُسِهِمْ فَقَالُوا إِنَّكُمْ أَنْتُمُ الظَّالِمُونَ (٦٤) ثُمَّ نُكِسُوا عَلَى رُءُوسِهِمْ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا هَؤُلاءِ يَنْطِقُونَ (٦٥) قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُكُمْ شَيْئًا وَلا يَضُرُّكُمْ (٦٦) أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَفَلا تَعْقِلُونَ (٦٧) قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ (٦٨)
Artinya, “Mereka bertanya, ‘Apakah engkau yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim?’ Dia (Ibrahim) menjawab, ‘Sebenarnya patung besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka, jika mereka dapat berbicara.’ Maka mereka kembali kepada kesadaran dan berkata, ‘Sesungguhnya kamulah yang menzalimi (diri sendiri).’ Kemudian mereka menundukkan kepala (lalu berkata), ‘Engkau (Ibrahim) pasti tahu bahwa (berhala-berhala) itu tidak dapat berbicara.’ Dia (Ibrahim) berkata, ‘Mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun, dan tidak (pula) mendatangkan mudharat kepada kamu? Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Tidakkah kamu mengerti?’Mereka berkata, ‘Bakarlah dia dan tolonglah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak berbuat.’”
Peristiwa ini yang membuat Nabi Ibrahim AS dibakar oleh kaumnya. Tidak hanya sampai di sini. Perilaku syirik ini berlanjut sampai tiba masa Arab jahiliyah. Wallahu a’lam. []
Ustadz Alvin Nur Choironi, pegiat kajian tafsir dan hadits, alumnus Pesantren Luhur Darus Sunnah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar