Ummu Harun ad-Dimasyqiyyah berasal dari Dimasyq. Ia hidup sezaman dengan Imam Abu Sulaiman ad-Darani (w. 215 H), Imam Ahmad bin Abi al-Hawari (w. 230 H), dan Rabi’ah binti Isma’il (isteri Ahmad bin Abi al-Hawari). Ummu Harun merupakan ulama perempuan yang diakui kebesarannya (min kibâri nisâ’isy syâm). Imam Abu Sulaiman ad-Darani memujinya dengan mengatakan:
ما كنت أري أنه يكون بالشام مثل أم هارون
“Aku tidak menemukan di (seluruh) Syam seorang yang seperti Ummu Harun.” (Imam Abu al-Farj Abdurrahman Ibnu al-Jauzi, Shifah al-Shafwah, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, juz 2, h. 433)
Ummu Harun memiliki hubungan spesial dengan Rabi’ah binti Ismail dan suaminya, Imam Ahmad bin Abi al-Hawari. Banyak riwayat yang menggambarkan kedekatan mereka. Perbincangan yang terjadi di antara mereka tidak sekedar perbincangan biasa, melainkan perbincangan yang menampakkan kecerdasan dan kewarasan spiritual. Salah satu contohnya adalah perbincangannya dengan Imam Ahmad bin Abi al-Hawari. Dalam sebuah riwayat diceritakan:
أحمد بن أبي الحواري قال: قلت لأم هارون: أتحبين الموت؟ قالت: لا، قلت: ولم؟ قالت: لو عصيت آدميا ما أحببت لقاءه، فكيف أحب لقاء الله وقد عصيته
“Ahmad bin Abi al-Hawari berkata: Aku bertanya kepada Ummu Harun: “Apakah kau menyukai kematian?” Ia menjawab: “Tidak.” Aku bertanya (lagi): “Kenapa?” Ia berkata: “Jika aku bermaksiat kepada manusia (anak cucu Adam), maka aku tidak akan suka bertemu dengannya (karena malu). Lalu, bagaimana mungkin aku suka bertemu Allah sedangkan aku telah benar-benar bermaksiat kepada-Nya.” (Imam Abu al-Farj Abdurrahman Ibnu al-Jauzi, Shifah al-Shafwah, 2009, juz 2, h. 434).
Jawaban Ummu Harun di atas mengandung makna yang sangat dalam. Ia mengekspresikan perasaan malu dan takutnya kepada Allah dengan perumpamaan yang mudah dimengerti semua orang. Sebagai manusia, ia memahami sebaik apa pun ibadah yang dilakukannya, ia pasti pernah bermaksiat kepada Allah, baik disadari ataupun tidak; baik disengaja ataupun tidak.
Ia malu bertemu Tuhannya. Ia merasa tidak pantas dan takut. Bukan takut karena tidak dimasukkan ke dalam surga, atau takut karena dimasukkan ke dalam neraka, tapi takut karena rasa malunya pernah bermaksiat dan berdosa kepada-Nya.
Ia menggambarkan, siapa pun orangnya akan takut dan malu bertemu dengan orang yang pernah disakitinya. Maka, sudah sepantasnya kita merasakan hal yang sama ketika hendak berjumpa dengan Allah. Bahkan, perasaan malu itu harus jauh lebih besar daripada perasaan malu kepada sesama makhluk. Dengan perasaan malu dan takut itu, kita terus berupaya membersihkan diri, berjuang sekuat tenaga untuk memaksimalkan ibadah kita, dan meminimalkan maksiat kita. Tentu dengan selalu mengharap pertolongan dan ridha-Nya. Karena semuanya berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.
Rabi’ah binti Isma’il, isteri Imam Ahmad bin Abi al-Hawari, pernah menceritakan kesederhanaan Ummu Harun kepada suaminya.
ما دهنت أم هارون رأسها منذ عشرين سنة، فإذا كشفنا رءوسنا كان شعرها أحسن من شعورنا
“Ummu Harun tidak pernah meminyaki kepalanya selama dua puluh tahun (lamanya). Ketika kami memperlihatkan kepala kami (masing-masing), rambut Ummu Hanun lebih bagus dibandingkan rambut-rambut kami” (Imam Abu al-Farj bin al-Jauzi, Shifah al-Shafwah, 2009, juz 2, h. 433).
Tidak hanya itu, Ummu Harun ad-Dimasyqiyyah setiap harinya hanya makan satu roti (kânat ta’kulul khabza wahdah), karena sudah dipandang cukup untuk mendukung aktivitasnya sehari-hari. Ia setiap bulan mengunjungi Baitul Maqdis di Yerussalem dari Dimasyq (Damaskus) dengan jalan kaki. Tidak jarang ia berpapasan dengan harimau, tapi karena ketulusan dan keteguhan hatinya, harimau tidak pernah mengganggunya. (Imam Abu al-Farj bin al-Jauzi, Shifah al-Shafwah, 2009, juz 2, h. 434).
Ini menunjukkan keberaniannya, meskipun ia seorang wanita, ia berani melintasi jarak berkilo-kilo meter dengan berjalan kaki. Dalam Encyclopaedia of Muslim Biography: S-Z, Ummu Harun digambarkan sebagai wanita yang sangat berani, dan sudah mencapai derajat makrifat. Dalam ensiklopedi tersebut ditulis:
“Umma Harun, Hazrat Hazrat Umma Harun was a fearless lady. She was a Arifa-i-kamil and a fearless lady. Many a time she faced tigers but gave no notice to the forceful animal. She was a devotee of God and was busy in His worship mostly.”
Terjemah bebas: “Ummu Harun, Hazrat Ummu Harun adalah wanita tanpa takut. Ia wali yang (telah mencapai) kesempurnaan makrifat dan wanita tak kenal takut. Ia sering berhadapan dengan harimau, tapi tidak menghiraukan binatang kuat (buas) tersebut. Ia seorang pemuja (pecinta) Tuhan dan selalu menyibukkan (diri) untuk beribadah kepada-Nya.” (Nagendra Kr Singh (ed.,), Encyclopaedia of Muslim Biography: S-Z, New Delhi: A.P.H Publishing Corporation, 2008, vol. 5, h. 394)
Kapan dan di mana Ummu Harun wafat tidak dijelaskan secara terperinci, baik oleh Imam Abu al-Farj ibnu al-Jauzi di kitab Shifah al-Shafwah, maupun oleh Imam Abdurrahman al-Sulami di kitab Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât. Yang pasti, Ummu Harun hidup di sekitar abad ke-3 Hijriah. Karena ia bertemu langsung dengan Imam Abu Sulaiman ad-Darani dan Imam Ahmad bin Abi al-Hawari. Keduanya wafat di awal abad ke-3. Abu Sulaiman ad-Darani wafat tahun 215 H, dan Ahmad al-Hawari wafat tahun 230 H. Artinya, Ummu Harun hidup di sekitar tahun-tahun itu.
Wallahu a’lam bish-shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar