Sultan Hadiwijaya dan
Lahirnya LSM Menurut Gus Dur
Membaca sejarah masa
lalu bagi KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak sekadar mengetahui dan memahami
peristiwa dan kejadian yang telah lewat. Menariknya, di samping dapat memetik
pelajaran atau hikmah dari sejarah masa lalu, tidak kalah pentingnya lagi adalah
bahwa di tangan Gus Dur sejarah masa lalu juga mampu dihubungkan ke dalam
konteks masalah kehidupan kekinian.
Misalnya dalam
tulisan Gus Dur yang termuat dalam bukunya yang berjudul Membaca Sejarah
Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur (terbitan LKiS: 2010). Dalam salah satu
kolom dalam buku tersebut Gus Dur dengan cerdik mampu menghubungkan atau
mengaitkan sejarah Sultan Hadiwijaya atau yang terkenal dengan nama Jaka
Tingkir dengan fenomena munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Perkembangan LSM di
Indonesia yang jumlahnya bahkan sudah meruyak sejak era Orde Baru tersebut
menurut KH. Abdurrahman Wahid, bukanlah sebagai fenomena baru. Karena sejarah
masa lampau bangsa ini kalau disimak dengan teliti sebenarnya telah
memperlihatkan adanya asal-usul LSM itu.
Dalam masyarakat
Jawa, tradisi LSM tercermin dalam episode kelanjutan pertentangan antara Sultan
Hadiwijaya melawan menantunya, Sutawijaya. Sutawijaya yang memenangkan
pertarungan fisik akhirnya menggunakan gelar Panembahan Senopati ing Alogo
Sayyidin Ponotogomo Khalifatullah ing Tanah Jawi, dan menjadikan dirinya
sebagai pembangun dinasti Mataram awal.
Sebaliknya Sultan
Hadiwijaya yang dikalahkan sang menantu itu lari ke ibunya yang berada di pulau
Madura. Sultan yang bergelar Pangeran Karebet dan juga Jaka Tingkir ini
memperoleh empat puluh buah kesaktian atau kanuragan dari ibunya yang kini
dimakamkan di Astana Tinggi, di sebuah pulau yang kini masuk dalam daerah
Kabupaten Sumenep.
Dalam perjalanan
kembali dari pulau Madura ke Pajang, Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir
singgah di Pulau Pringgoboyo (sekarang masuk Kabupaten Lamongan) dan malam
harinya mendapat impian/vision dari gurunya yang melarang dirinya kembali ke
Pajang untuk memperebutkan takhta kerajaan. Mimpi tersebut juga mengirim pesan
kalau hal itu dilakukan Ia hanya akan menjadi korban nafsu kekuasaan belaka.
Setelah mempercayai
pesan dalam mimpinya itu, dengan sendirinya Hadiwijaya kemudian menahan diri
dan mengembangkan sesuatu yang baru, yang harus dilakukannya tidak dari pusat
kekuasaan di Pajang, melainkan dari tempat ia berada, yaitu di Pringgobayan.
Dengan demikian
lahirlah sebuah tradisi baru yaitu adanya LSM di luar pusat kekuasaan pajang.
Posisi seperti itu meminjam istilahnya Taufik Abdullah disbut sebagai hubungan
multi-kratonik. Dalam hubungan sperti ini, selama kraton kecil menyatakan
kedudukan nominal kpada kraton besar sudah dianggap cukup. Bahwa pihak
periperal mengembangkan diri dalam pola yang tidak dikehendaki oleh pusat
kekuasaan adalah ssuatu yang baru dalam sejarah bangsa indonesia.
Hubungan
periperial-pusat yang tidak simetris ini justru dipergunakan untuk pengembangan
Islam tanpa merugikan agama hindu dan budha yang sedang berkuasa saat itu.
Sedikit demi sedikit agama baru yang datang kemudian mengambil alih kehidupan
agama-agama terdahulu, tanpa menimbulkan perbenturan yang berarti. Dengan cara
ini, sesuatu yang baru telah menggantikan hal lama tanpa ada perbenturan
politik yang dahsyat.
Dengan menelusuri
sejarah dan latar belakang munculnya LSM seperti di atas, Gus Dur akhirnya
mengimbau terhadap keberadaan berbagai LSM saat ini yang pada umumnya bergerak
di akar rumput supaya lebih mengembangkan jati dirinya sendiri, yaitu dengan
langkah tidak harus selalu mengikuti pola LSM-LSM internasional. Dengan kata
lain Gus Dur menekankan agar mereka menggunakan cara dan gaya hidup
masing-masing yang benar-benar berasal dari rakyat. []
(M. Haromain)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar