Jepang:
Sharia Tourism
Oleh:
Azyumardi Azra
Memasuki
kamar sebuah hotel ternama di Tokyo menjelang akhir pekan lalu (18-19/10/2016),
penulis Resonansi ini terkejut ketika menemukan petunjuk arah kiblat seukuran
kertas A4 terletak secara mencolok di atas meja. Padahal ketika check-in,
resepsionis tidak bertanya soal agama.
Dengan
adanya penunjuk arah kiblat itu, resepsionis yang mengetahui penulis Resonansi
adalah warga negara Indonesia —dan karena itu mengasumsikan (secara tepat)
tanpa perlu bertanya lagi—beragama Islam. Ini terbukti dengan segeranya house
keeping hotel menyiapkan petunjuk arah kiblat.
Berulang
kali ke Tokyo, Kyoto dan berbagai kota Jepang lain sejak 1979, baru kali ini
penulis Resonansi menemui pengalaman mengesankan itu. Padahal, secara
konvensional, warga Jepang tidak terlalu peduli pada agama. Ketika orang
bertanya agama apa yang mereka anut, biasanya warga Jepang bilang agama bagi
mereka tidak terlalu penting. Mereka jarang pergi ke kuil Shinto atau Budha.
Lalu
kenapa tiba-tiba kini ada petunjuk arah kiblat di hotel? Memang bisa dipastikan
belum terlalu banyak hotel di Jepang yang memberikan petunjuk arah kiblat.
Tidak aneh, karena bahkan di Indonesia sekalipun yang pelanggan hotel sebagian
besar Muslim—karena penduduknya mayoritas mutlak Muslim—masih sangat
banyak hotel yang tidak memberi petunjuk arah kiblat.
Banyak
hotel di Indonesia sama sekali tidak memfasilitasi pelanggan Muslim dengan arah
kiblat. Kalau ada, sering disurukkan di dalam meja, atau di dalam lemari tempat
menggantung pakaian. Karena itu, pelanggan Muslim yang tidak menemukan arah
kiblat di manapun di kamar dan tak membawa petunjuk arah (kompas) atau tidak
memiliki aplikasinya dalam telepon genggam terpaksa melongok ke luar jendela,
melihat ke arah mana bayangan sinar matahari.
Jadi
meski Kementerian Parawisata Indonesia sangat gencar dengan promosi ‘Halal
Tourism’, masih sangat banyak hotel di tanahair yang belum ‘Islamic friendly’
atau ‘Muslim friendly’ dengan menyediakan hal-hal dasar bagi para pelanggan
Muslim untuk beribadah.
Penulis
Resonansi ini pernah dua tahun lalu menyatakan ironi ini dalam ceramah umum di
sebuah hotel besar di Medan. Pemilik hotel yang juga kebetulan hadir seusai
acara menyatakan telah langsung memanggil manajer hotelnya untuk membuat
hotelnya ‘Muslim friendly’.
Kontras
dengan Jepang. Negara ‘matahari terbit’ dalam beberapa tahun terakhir ini
mengkampanyekan ‘sharia tourism’. Tujuannya agar Jepang dapat meningkatkan
jumlah pelancong dari Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, yang
memiliki ‘kelas menengah Muslim’ cukup besar; mereka punya punya dana untuk
jalan-jalan ke tempat jauh seperti Jepang.
Dalam
percakapan dengan pejabat tinggi kota Fukuoka dua tahun lalu, penulis bertanya
apa maksud Jepang dengan ‘sharia tourism’. Ia menjelaskan, sharia tourism
mencakup adanya beberapa fasilitas Muslim friendly di hotel: 1.Restoran halal
atau makanan halal yang disiapkan dengan alat masak halal; 2.Petunjuk arah
kiblat yang jelas; 3.Keran air untuk berwuduk sehingga kaki tidak harus naik
wastafel; 4.Sajadah dan mukenah; 5.Kopy al-Qur’an di dalam laci meja.
Pada saat
yang sama, Jepang juga memberikan kemudahan visa bagi warga Indonesia. Sejak
awal 2015, warga Indonesia tidak lagi memerlukan visa Jepang; cukup memiliki
paspor bio-metric yang menyimpan data personal bersangkutan.
Hasilnya
adalah terus meningkatnya jumlah turis Indonesia yang berkunjung ke Jepang.
Pada 2015 lalu, jumlah pelancong Indonesia yang ‘jalan-jalan’ ke ‘Negeri
Sakura’ mencapai 205.088, yang naik 29.2 persen dibanding tahun sebelumnya.
Jumlah para pelancong asal Indonesia menurut data Kementerian Parawisata Jepang
mayoritas beragama Islam; jumlahnya bakal terus meningkat pada tahun-tahun
berikutnya.
Peningkatan
jumlah pelancong Indonesia dapat terlihat secara kasat mata. Keluarga pelancong
dengan perempuan berjilbab bisa terlihat di berbagai bandara, sejak dari Tokyo
(Narita atau Haneda) sampai Osaka. Mereka juga bisa ditemukan di hotel-hotel
atau pusat perbelanjaan semacam Shinjuku, Tokyo.
Meningkatnya
jumlah pelancong Indonesia ke Jepang, kontras dengan memburuknya persepsi dan
citra warga negara ini tentang Islam. Kejadian menyangkut ISIS, perang di
Syria-Iraq, perang di Yaman, bom bunuh diri di Dhaka yang menewaskan tujuh
warga Jepang (1/7/2016) beserta 13warga asing lain, membuat kian terperosoknya
citra Islam.
Dalam
seminar di Kyoto dan Tokyo dengan publik Jepang, penulis Resonansi ini mendapat
pertanyaan tentang kenapa ada orang Muslim yang menjadikan orang asing,
khususnya warga Jepang yang tidak paham urusan politik di kalangan Muslim
sebagai target pemboman. Pertanyaan yang bernada gugatan ini sangat sulit
dijelaskan tanpa terkesan defensif dan apologetik.
Tetapi
juga jelas, citra seperti itu tidak menimbulkan penolakan kedatangan Muslim ke
Jepang; apakah sebagai pelancong, pelajar-mahasiswa atau pekerja. Muslim yang
diterima orang Jepang dengan baik, patut menampilkan diri sebagai ‘Duta Islam’
dengan menampilkan citra, sikap dan perilaku rahmatan lil ‘alamin. []
REPUBLIKA,
27 October 2016
Azyumardi
Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan
Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar