Privatisasi
Deradikalisasi
Oleh:
Said Aqil Siroj
Deradikalisasi
terus digencarkan di tengah semakin merebaknya radikalisme. Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme menjadi institusi garda depan dari pihak pemerintah
yang mengemban amanah itu. Tentu ini langkah yang tepat. Namun, tampaknya upaya
deradikalisasi masih perlu mendapatkan "pola" yang lebih tepat
seiring efektivitas dan tuntutan fakta di lapangan.
Dalam
menanggulangi bahaya terorisme, selama ini pemerintah melalui Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya seperti
Kementerian Agama telah melakukan upaya-upaya yang pada dasarnya bertujuan
untuk membangun masyarakat yang tangguh (resilient) terhadap bahaya terorisme.
Di antara upaya-upaya BNPT tersebut terwujud dalam program-program kontra
radikalisisasi dan deradikalisasi.
Pendelegasian
Selama
ini pemerintah mengakui bahwa pemerintah tidak dapat bekerja sendirian dalam
menanggulangi terorisme di Indonesia. Pemerintah memerlukan peran serta
masyarakat untuk membantu pemerintah menjalankan program-program kontra
radikalisisasi dan deradikalisasi dengan sukses.
Apa yang
dinyatakan pemerintah tersebut sejalan dengan prinsip utama keberhasilan
membangun ketangguhan masyarakat (community resilience) terhadap bahaya
terorisme. Masyarakat memang harus diberi kesempatan yang luas untuk bermitra
dengan pemerintah karena anggota masyarakatlah yang selama ini menjadi pelaku
sekaligus korban aksi-aksi terorisme (O'Malley, 2010; Sageman, 2005; dan Wood,
2009).
Bagaimana
kemitraan ini dapat terwujud? Di sini tampaknya perlu membalikkan langkah
kembali, yaitu pemerintah perlu segera melakukan privatisasi bidang kontra
radikalisme dan deradikalisasi. Ini berarti bahwa pemerintah tidak lagi perlu
menangani hal-hal teknis terkait pelaksanaan kontra radikalisme dan
deradikalisasi tersebut.
Pemerintah
perlu mendelegasikannya kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM). Ini berarti
bahwa pemerintah cukup menentukan strategi utama kontra radikalisme dan
deradikalisasi, menyediakan pendanaan untuk melaksanakan strategi pemerintah
tersebut, dan melakukan pengawasan atas penggunaan dana pemerintah yang
diberikan kepada LSM.
Untuk
pelaksanaan kontra radikalisme dan deradikalisasi di lapangan, pemerintah
sebaiknya menyerahkannya kepada LSM-LSM yang benar-benar mengerti persoalan
radikalisme dan berpengalaman menjalankan kontra radikalisme dan deradikalisasi
dengan sukses.
Mengapa
pemerintah perlu melakukan privatisasi kontra radikalisme dan deradikalisasi?
Kita harus mengakui bahwa di luar ranah penindakan hukum, LSM terbukti lebih
profesional dalam menjalankan program-program kontra radikalisme dan
deradikalisasi. Berbeda dengan program-program pemerintah yang bersifat
seremonial dan berorientasi pada penyerapan anggaran belanja negara,
program-program LSM justru dikenal bersifat senyap dan berorientasi pada
pencapaian hasil akhir yang baik.
Oleh
sebab itu, sering kali kegiatan-kegiatan kontra radikalisme dan deradikalisasi
LSM dijalankan secara senyap, tetapi kesuksesannya dapat dilihat secara nyata
dan sifatnya berkelanjutan. Untuk kita ketahui, publikasi kegiatan kontra
radikalisme dan deradikalisasi di media secara besar-besaran justru akan
mengancam efektivitas program tersebut.
Akibat
publikasi ini, beberapa peserta deradikalisasi justru kemudian dianggap sebagai
pengkhianat oleh kelompok radikal. Sebagai akibatnya, peserta tersebut tidak
lagi diterima dengan baik di kalangan kelompok radikal. Penolakan ini
pada akhirnya membuat peserta tersebut kurang berhasil dalam mengajak
teman-teman radikalnya meninggalkan radikalisme.
Ketepatan
mitra
Pada
tahun 2012, pemerintah yang terwakili oleh BNPT mempunyai pengalaman buruk
terkait kerja sama antara pemerintah dan LSM dalam kontra radikalisme dan
deradikalisasi. Pada saat itu, BNPT mengeluhkan kurang mampunya LSM menjalankan
program-program BNPT dan memenuhi standar pelaporan penggunaan dana yang telah
mereka terima dari BNPT. Menurut hemat saya, masalah tersebut muncul oleh
karena BNPT salah dalam memilih LSM yang menjadi mitra kerjanya.
Untuk
menghindari terulangnya pengalaman buruk ini, sebaiknya lembaga pemerintah
seperti BNPT menggunakan prasyarat prestasi ketika memilih mitra LSM-nya, bukan
karena semata-mata kedekatan hubungan antara pejabat BNPT dan kesediaan LSM
untuk diajak kerja sama memainkan anggaran kegiatan. Artinya, BNPT harus
memilih ormas-ormas atau LSM-LSM yang benar-benar memahami persoalan
radikalisme/terorisme dan memiliki pengalaman panjang dalam menanggulangi
masalah radikalisme/terorisme tersebut.
Ada tiga
bidang terkait kontra radikalisme dan deradikalisasi yang dapat diprivatisasi
oleh pemerintah, yaitu bidang pencegahan, rehabilitasi korban terorisme, dan
deradikalisasi pelaku pidana terorisme.
Dalam
tahap pencegahan, pemerintah dapat melibatkan LSM untuk meneliti dinamika
kelompok-kelompok teroris. Setidaknya ada dua LSM yang selama ini aktif
meneliti dinamika kelompok radikal di Indonesia, yaitu Institute for Policy
Analysis of Conflict (IPAC) dan Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi
(PAKAR). Kedua LSM ini meneliti kelompok-kelompok radikal secara mendalam.
Terdorong oleh passion yang tinggi, para peneliti dari kedua LSM ini setiap
hari mengamati kelompok-kelompok radikal secara online dan offline.
Pemerintah,
yang dalam hal ini adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dapat
menggunakan hasil penelitian kedua LSM tersebut sebagai bahan masukan untuk
melakukan penindakan hukum terhadap anggota kelompok radikal yang telah
terbukti melakukan tindak pidana terorisme.
Masih
dalam bidang pencegahan, pemerintah perlu mendelegasikan program-program kontra
narasi/ideologi radikal kepada ormas, LSM, ataupun pusat-pusat kajian
radikalisme di perguruan tinggi. Lembaga-lembaga nonpemerintah, seperti the
Indonesian Muslim Crisis Centre dan Center for the Study of Islam and Social
Transformation (CISForm UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) merupakan contoh lapisan
masyarakat yang dapat diajak kerja sama oleh pemerintah karena keduanya selama
ini gencar melakukan upaya-upaya kontra narasi/ideologi lewat media sosial.
Dalam
bidang rehabilitasi korban serangan terorisme, amatlah mendesak bagi pemerintah
untuk menggandeng LSM. Aliansi Indonesia Damai (Aida) merupakan contoh LSM yang
selama ini terbukti berpengalaman dalam membantu korban aksi terorisme.
Untuk
bidang deradikalisasi, selama ini pemerintah melalui Densus 88 sudah membuktikan
keberhasilannya. Namun, oleh karena keterbatasan sumber daya manusia yang
dimiliki Densus 88 dan demi mempertahankan keberhasilan tersebut, sebaiknya
pemerintah menggandeng LSM semacam Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP), yang
selama ini terbukti berhasil mengubah seorang pelaku aksi terorisme menjadi
seorang aktivis deradikalisasi.
Nah,
privatisasi deradikalisasi memang sudah mendesak untuk segera dilakukan oleh
pemerintah. Sejauh pemilihan LSM mitra dilakukan berdasarkan prinsip
meritokrasi, bukan saja tugas pemerintah akan lebih ringan dalam dua pekerjaan
tersebut. Demikian pula masalah-masalah terkait kurangnya profesionalisme dan
terbatasnya sumber daya manusia, pemerintah pun akan teratasi oleh privatisasi
ini. []
KOMPAS,
15 Oktober 2016
Said Aqil
Siroj | Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar