Politik
Melihat ke Dalam
Oleh:
Azyumardi Azra
Dua tahun
pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla meninggalkan
semacam kesan campur aduk. Ada sejumlah pencapaian yang membangkitkan harapan
warga, tetapi juga ada beberapa agenda yang cenderung terabaikan—membuat gundah
masyarakat.
Salah
satu pencapaian terpenting Presiden Jokowi adalah konsolidasi basis kekuasaan
pemerintahan Jokowi-Kalla. Pada tahun pertama sempat berkembang kekhawatiran,
Presiden Jokowi yang didukung Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menghadapi kekuatan
”oposisi” Koalisi Merah Putih (KMP) lebih besar, yang bisa membuat pemerintahan
tidak efektif menjalankan programnya.
Menjelang
tahun kedua, Jokowi berhasil merangkul sebagian besar pendukung KMP. Namun
”harga” yang dia bayar cukup signifikan, yaitu membagi kursi kabinet bagi
Partai Golkar dan PAN. Sebelumnya sudah ada wakil-wakil parpol yang menjadi
menteri (PDI-P, PKB, Nasdem, Hanura). Kini, tinggal Gerindra dan PKS yang tidak
punya menteri di kabinet; menjadi ”oposisi minimalis”.
Konsolidasi
politik pemerintahan Jokowi-Kalla bisa dibilang tuntas. Kelompok ”oposisi” atau
”kekuatan pengimbang” tinggal ”pemanis”. Tuntasnya konsolidasi politik ini
perlu diapresiasi karena menciptakan stabilitas politik yang sangat urgen.
Meminjam paradigma Orde Baru, ”tanpa stabilitas politik, tidak ada pembangunan
ekonomi”.
Pencapaian
terpenting lain dalam masa dua tahun pemerintahan Jokowi-Kalla adalah
percepatan pembangunan infrastruktur; percepatan ketersambungan jalan tol
Trans-Jawa dan jalan tol serta jalan baru lain di tempat tertentu di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, dan Papua; pembangunan dan perluasan bandara dan
pelabuhan serta proyek infrastruktur lain.
Dalam
konteks ini, Presiden Jokowi jelas memiliki obsesi besar mengatasi ketertinggalan
Indonesia dalam hal infrastruktur. Obsesi ini membuat Jokowi sering
menghabiskan waktu meninjau berbagai proyek di tempat tertentu di daerah sambil
terus blusukan ke pusat kerumunan warga.
Gaya
kepemimpinan Presiden Jokowi ini menyisakan pertanyaan dan skeptisisme di
kalangan politisi dan pengamat. Apakah memang perlu Presiden sendiri yang terus
turun ke lapangan meninjau proyek yang sudah berjalan baik? Tidak cukupkah
menteri terkait atau pejabat tinggi lain yang mengecek kemajuan proyek? Apakah
tidak lebih baik jika Presiden Jokowi menangani program lain yang juga tidak
kurang strategisnya?
Pertanyaan
semacam ini juga menyeruak ketika Presiden Jokowi yang disertai Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Tito Karnavian turun langsung dalam operasi
pemberantasan pungutan liar di Kementerian Perhubungan, Selasa (11/10). Seolah
menjawab pertanyaan publik, Presiden Jokowi menegaskan, meski jumlah uang yang
disita relatif sedikit (total Rp 60 juta dan Rp 1,2 miliar dalam rekening), dia
perlu turun untuk memastikan pemberantasan pungli berjalan baik.
Penjelasan
ini tampaknya tetap belum bisa memuaskan kalangan publik yang berpendapat
Presiden Jokowi tak perlu turun langsung dalam kasus semacam itu. Meski
pemberantasan pungli (dan berbagai bentuk KKN lain) amat urgen, sebaiknya
Presiden Jokowi mendelegasikan kepada Kapolri, misalnya, sehingga dia dapat
melakukan hal besar lain.
Dengan
obsesi percepatan pembangunan infrastruktur beserta peninjauan langsung ke
lapangan, Presiden Jokowi mengonfirmasi prediksi banyak ahli dan pengamat sejak
awal pemerintahan. Mereka melihat kecenderungan kuat Presiden lebih melihat ke
dalam (inward looking).
Politik
inward looking dengan memberi lebih banyak perhatian pada percepatan
pembangunan infrastruktur tentu saja tidak salah, bahkan amat perlu. Namun,
dalam konteks dalam negeri saja, Presiden Jokowi patut pula memberikan
perhatian besar pada berbagai urusan besar lain.
Dalam
konteks terakhir ini, bisa dipahami kenapa aktivis HAM, misalnya, menilai
pemerintah Jokowi-Kalla belum berhasil banyak meningkatkan penegakan HAM di
negeri ini. Misalnya menyelesaikan tuntas berbagai kasus pelanggaran HAM masa
lalu.
Hal sama
juga terlihat dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Meskipun Presiden Jokowi
memberlakukan Kartu Indonesia Pintar (KIP) secara universal di Tanah Air,
berbagai masalah akut dan serius menyangkut pendidikan sejak tingkat dasar,
menengah, sampai tinggi belum terselesaikan.
Begitu
pula di bidang kebudayaan. Presiden Jokowi pernah mengundang sejumlah budayawan
makan siang bersama di Istana. Namun, Presiden tidak datang membuka Forum
Kebudayaan Dunia (WCF) di Bali (10-14 Oktober). Padahal, Indonesia menjadi
aktor utama forum internasional ini.
Ketidakhadiran
Presiden membuka WCF hanyalah satu dari indikasi kian surutnya Indonesia dari
kancah internasional. Presiden Jokowi, misalnya, juga tidak hadir dalam Sidang
Umum PBB (2015), padahal Indonesia dinyatakan PPB sebagai salah satu dari lima
negara kunci utama (key central players) dalam perumusan agenda Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030. Presiden Jokowi juga absen dalam Sidang
Umum PBB 2016. Dalam kedua kesempatan itu, Indonesia diwakili Wapres Jusuf
Kalla.
Ketidakhadiran
Presiden Jokowi dalam sejumlah forum internasional kontras dengan pernyataan
Presiden Jokowi yang menyatakan Indonesia sebagai negara besar. Namun, Presiden
Jokowi tampaknya berhenti sampai pada pernyataan itu. Indonesia, yang memang
dalam berbagai segi merupakan negara besar, bertanggung jawab memainkan peran
lebih besar dalam kancah internasional. Sebagai negara besar, Indonesia
memiliki bobot dan daya tekan (leverage) dalam percaturan internasional. Dalam
bahasa studi hubungan internasional hal itu disebut punch its weight—”menonjok”
sesuai bobotnya yang besar.
Untuk
itu, Presiden Jokowi sepantasnya mengambil inisiatif agar Indonesia lebih aktif
dalam diplomasi internasional guna menciptakan dunia lebih damai dan adil.
Dengan begitu, kebesaran Indonesia tidak sekadar retorika belaka. []
KOMPAS,
25 Oktober 2016
Azyumardi
Azra | Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar