Reformasi
Hukum, Reformasi Apa?
Oleh: Moh
Mahfud MD
MENJELANG salat Jumat kemarin, 21 Oktober 2016, saya terlibat diskusi hangat di Law School of Melbourne University (LSMU), Australia. Acara dibuka guru besar dari LSMU Prof Tim Lindsey dan dipandu guru besar tamu LSMU Prof Denny Indrayana. Namanya juga diskusi tentang isu-isu aktual (current issues), tidak ada topik khusus yang dibahas. Tetapi karena tempatnya di law school, maka diskusinya banyak menyinggung soal-soal hukum.
Saya yang diminta menjadi pemantik dalam diskusi itu menjelaskan beberapa hal terkait dengan pembangunan hukum di Indonesia. Saya pun menyinggung banyak hal tetapi tetap bertumpu pada isu aktual yang sedang terjadi di Indonesia, yakni reformasi hukum. Kebetulan, memasuki tahun ketiga pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK), pemerintah mengumumkan rencana peluncuran paket kebijakan di bidang hukum.
Menurut saya, memasuki tahun ketiga pemerintahan Jokowi-JK ini pilihan paket kebijakan pada bidang hukum adalah tepat setelah pada tahun pertama dan kedua pemerintah berusaha menangani masalah politik dan ekonomi. Konsolidasi politik pada tahun pertama dapat dinilai berhasil karena Jokowi bisa mengendalikan berbagai kekuatan politik dan partai politik di bawah kontrol kekuasaannya sehingga leluasa dalam menetapkan berbagai program yang bisa digambarkan dalam APBN.
Pada tahun kedua terlihat nyata bahwa pemerintahan Jokowi-JK mencoba meluncurkan berbagai paket kebijakan ekonomi. Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam paket kebijakan ekonominya, meski cukup berhasil, pemerintahan Jokowi-JK masih terhambat oleh problem hukum. Banyak kebijakan ekonomi yang sulit terlaksana karena terhambat oleh problem hukum, baik karena tumpang tindihnya aturan hukum maupun karena korupsi dan kolusi dalam pelaksanaan aturan hukum.
Itulah sebabnya pilihan peluncuran kebijakan reformasi hukum menjadi sangat penting dan tepat untuk menjadi titik tumpu perjalanan pemerintahan Jokowi-JK dalam memasuki tahun ketiga ini. Bagi kita tegaknya supremasi hukum menjadi kunci dari kelancaran pembangunan bidang-bidang lainnya. Penegakan supremasi hukum sudah bisa menyelesaikan separuh dari berbagai persoalan bangsa, sedangkan separuh sisanya bisa terbagi ke bidang-bidang lain yang dapat diselesaikan secara ad hoc.
Jadi sumber utama penyelesaian berbagai masalah kita adalah tegaknya hukum dulu. Logikanya sederhana. Selama ini rusaknya pembangunan dalam berbagai bidang disebabkan oleh tidak tegaknya hukum.
Rencana pembangunan ekonomi rusak karena banyak kolusi, pemberantasan korupsi tersendat-sendat karena hukum korupsi dilaksanakan secara koruptif juga. Penyelenggaraan pendidikan, pelayanan kesehatan, infrastruktur, perdagangan, semuanya rusak dikorupsi karena hukum tidak ditegakkan dengan benar.
Apa yang harus dilakukan dalam penataan dan reformasi hukum kita? Menurut saya yang sangat perlu kita lakukan bukanlah membuat aturan-aturan hukum melainkan menegakkan aturan-aturan hukum yang sudah ada. Jika upaya pembangunan hukum, seperti dikemukakan oleh Friedman, harus diarahkan pada tiga subsistem hukum yakni isi aturan hukum (legal substance), aparat penegak hukum (legal strucuture), dan budaya hukum (legal culture) maka untuk Indonesia yang diperlukan pembenahannya adalah penegakan hukum.
Isi-isi hukum (legal substance) yang kita perlukan rasanya sudah kita miliki semua. Yang tidak ada atau belum bisa sungguh-sunguh kita lakukan adalah penegakan hukum. Seumpama pun ada masalah materi hukum yang menghambat, maka penyelesaiannya dapat dilakukan secara linear melalui proses legislasi (legislative review) atau melalui peradilan (judicial review) baik melalui Mahkamah Konstitusi (MK) maupun melalui Mahkamah Agung (MA).
Reformasi dalam penegakan hukum tak dapat diartikan hanya membereskan karut marut dunia peradilan. Jika penegakan hukum diartikan sebagai pelaksanaan ketentuan hukum sebagaimana mestinya maka areanya bukan hanya ada di lembaga peradilan melainkan yang justru lebih banyak adalah tidak tegaknya hukum di birokrasi (pemerintahan). Tepatnya, tidak tegaknya hukum yang merusak pemerintahan kita ada di dua area yakni di dunia peradilan dan di birokrasi pemerintahan sehari-hari.
Birokrasi kita adalah birokrasi yang sudah rusak parah karena korupnya. Birokrasi banyak melakukan korupsi-korupsi dalam tugas rutin melalui permainan prosedur yang dapat berlindung di bawah aturan-aturan hukum yang dimanipulasi.
Temuan Presiden Jokowi tentang pungli yang terjadi di Kementerian Perhubungan pekan lalu sebenarnya hanyalah sebiji pasir dari sekeranjang pasir buruknya birokrasi kita. Pungli-pungli seperti itu masih biasa terjadi di mana-mana, dari pusat sampai ke daerah-daerah terpencil.
Begitu juga dunia penegakan hukum kita di lembaga peradilan sudah begitu buruknya. Kolusi penyelesaian kasus terjadi di semua lini dan melibatkan "oknum" (harus selalu disebut oknum) semua lembaga penegak hukum mulai dari hakim, jaksa, polisi, dan pengacara. Lembaga kehakiman, kejaksaan, kepolisian, dan profesi advokat sebagai penegak hukum sudah banyak mengirimkan wakil-wakilnya yang meringkuk di penjara karena melanggar hukum saat bertugas harus menegakkan hukum.
Jadi, kalau ditanyakan reformasi hukum itu adalah reformasi apa maka jawabannya adalah reformasi penegakan hukum (legal structure). Sasarannya ada di dua area yakni area birokrasi dan area lembaga peradilan.
Untuk menghadapi itu diperlukan strong leadership yakni kepemimpinan yang kuat, kuat karena bersih dan tidak tersandera oleh mafia dan kuat karena berani melakukan tindakan-tindakan yang tegas. Itulah pemimpin merah putih, pemimpin yang berani dan bersih, juga pemimpin yang berani karena bersih.
Terima kasih kepada Prof Tim Lindsay dan Prof Denny Indrayana yang telah mengatur diskusi hangat saya tentang hukum di Melbourne University. Saya optimistis kita mempunyai banyak kader bangsa untuk membangun masa depan supremasi hukum di Indonesia sebab banyak anak-anak kita yang belajar hukum mempunyai semangat seperti itu. Misalnya yang, antara lain, saya temui di berbagai universitas saat saya berkunjung ke Australia dalam sepuluh hari terakhir ini. []
Koran
SINDO, 22 Oktober 2016
Moh
Mahfud MD | Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
Negara (APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar