Durrun Syarif, Kitab Unik Mempelajari Syair
Klasik
Dalam bentangan khazanah Islam dan pesantren,
tak dipungkiri memang jika ulama-ulama masa lalu negeri ini telah banyak
menorehkan karya (sajak/syair) yang luar biasa monumentalnya, bahkan bertaraf
dunia. Sebut saja Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syekh Nawawi Al-Bantani,
Syekh Mahfudz At-Termasi, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Bisri Mustofa
yang telah menulis begitu indah Syarh Qashidah Munfarijah, buah pena Taqiudin
As Subki yang kesemuannya berbahasa Arab.
Kepiawaian para kiai bermain diksi, juga rima
dalam sajak (syair), tentu lantaran selain kemahirannya dalam ilmu bahasa Arab
(seperti ilmu arudl dan balaghah) juga ditunjang oleh malakah insting
ekspresinya yang begitu lembut, karena ia sering terlibat dan turut merasakan
kegetiran yang terjadi di sekelilingnya. Salah seorang kiai yang punya
kelebihan seperti itu ialah Kiai Abdul Hamid Pasuruan, yang dikenal sebagai
seorang wali. Menurut Kiai Mustofa Bisri, dalam menerangkan berbagai hal ilmu
agama kepada santrinya, ia kerap menjadikan kitab fiqih yang awalnya sulit
dimengerti menjadi bentuk nadzaman (sajak) yang begitu indah. Beliau,
secara khusus juga telah mengadaptasi kitab sufistik Sullam At
Taufiq yang begitu tebal menjadi sajak yang hanya 553 bait dengan warna
lokal Jawa. Selain beliau, Kiai Ahmad Qusyairi Siddiq Jember, yang juga mertua
Kiai Hamid Pasuruan juga telah menulis 312 bait sajak di bawah
judul Tanwir Al Hija. (Irawan, 2013:136).
Persoalannya kini, mengapa tradisi kreatif
dan arif di masa lalu itu tak bisa bertahan sampai kini? Padahal jumlah kiai
dan para gus selalu bertambah. Apalagi jumlah santri yang belajar ke Timur
Tengah kian hari kian membludak juga? Sedikitnya ada dua alasan yang
mempengaruhinya. Pertama, sebab kiai (santri dan alumni pesantren) kurang
menghargai warisan masa lalunya. Kedua, masih sulitnya pedoman membuat syi’ir
(sajak) yang praktis dan mudah pada dewasa ini.
Durrun Syarif Menjawab Kebutuhan
Semenjak menulis kitab Amtsilati, Kiai
Taufiqul Hakim semakin produktif membuat karya-karya update tentang kitab-kitab
linguistik arab dan kepesantrenan. Ada Aqidati, Tafsir Al-Mubarok,
Mukhtasor Tuhfat Al-Thullab (Pasca Amtsilati) dan ratusan kitab lainnya.
Lima tahun terakhir ini, Kiai muda sarwa produktif ini juga sering menerbitkan
kitab-kitab nadloman yang memuat beragam tema yang diambilkan dari
kitab-kitab khas pesantren. Kitab nadloman ini menjadi ringkasan dari tema
pembahasan sebuah kitab, ambil saja satu contoh kitab paling laris yakni
Kitab Hidayatul Mutaallimin adalah kitab nadlom yang kontennya
diambil murni (intisari) dari kitab Ta’lim Al-Mutaallim. Banyak sudah
kitan nadlom yang diterbitkan dan setelah ditelusuri, sampai saat ini beliau
sudah menulis sekitar 170-an kitab!
Dari seluruh karya yang ditulis, ada satu
kitab yang paling unik dan menarik untuk dikaji dan didalami yaitu
kitab Durrun Syarif (Mutiara Mulia). Kitab ini disebut oleh
penulisnya sebagai kitab yang berisi metode praktis tuntunan menjadi Muallif.
Sekali lagi, menjadi Muallif! Ternyata dengan modal keilmuan dasar nahwu-sharaf
yang cukup, kata Kiai Taufiq, seseorang bisa mempelajari kitab Durrun Syarif
sekaligus langsung praktek. Ini adalah sebuah tawaran terobosan revolusi
pembelajaran pesantren yang luar biasa.
Lebih konkritnya, Durrun Syarif ini
adalah sebuah kitab yang menerangkan metodologi membuat syiir atau di kalangan
pesantren biasa disebut Ilmu ‘Arudh. Ilmu Arudh adalah
sebuah ilmu yang digunakan untuk mengetahui benar atau tidaknya
sebuah wazan syi’ir, dan juga perubahan wazan syi’ir dari
beberapa zihaf atau illat. Ilmu arudh bisa dibilang
satu cabang keilmuan linguistik Bahasa arab yang lumayan rumit. Metode
pengajarannya juga bisa dibilang masih tradisional dan minim pembaharuan.
Disinilah tawaran Durrun Syarif agar Arudl mudah dipelajari
dan mudah diajarkan. Ilmu Arudl ini memiliki 16 pola Bahar (wazan
tertentu yang dijadikan pola dalam menggubah syi’ir arab). Namun fokus dalam
kitab ini hanya membahas bahar Rajaz, karena bahar ini yang paling banyak
ditulis oleh ulama klasik dan paling mudah dihafal.
Selain kitab Durrun
Syarif, perangkat pembelajaran lainnya adalah kamus Durrun
Syarif terdiri dari kamus Bahasa Arab, Indonesia, dan Bahasa Lokal seperti
Jawa, Sunda,dan Madura. Kamus ini sangat berbeda dengan kamus pada umumnya.
Jika kamus umum digunakan untuk mencari awal huruf, namun kamus DS ini khusus
mencari akhir huruf kalimat. Karena menggubah syiir, kesamaan dalam akhir
kalimat adalah sebuah keniscayaan. Baik versi Bahasa Arab maupun versi
Indonesia, kamus ini mencari akhir huruf yang sama. Maka seorang penulis tidak
perlu repot memikirkan huruf-huruf akhir yang sama dari sebuah kalimat untuk
menulis syiir baik bahasa Arab maupun Indonesia. Tinggal buka kamus, lalu
tentukan huruf akhir yang sesuai selera dan sesuai kebutuhan.
Dalam pengantar kitab DS, Kiai Taufiq
menceritakan pengalamannya bahwa ia begitu sulit mempelajari
ilmu arudl yang banyak istilah-istilah yang sulit ia pahami. Namun
dengan berbekal ATM (Amati, Tiru, Modifikasi) pada bait Alfiyah, Zubad,
dll Kiai Taufiq memberanikan diri untuk membuat syiir-syiir, walaupun awalnya
banyak kesalahan. Maka dari pengalaman ATM itulah, kiai Taufiq ingin menularkan
kepada santri-santri dan pembaca, metode menulis syiir. Oleh sebab itu, kiai
Taufiq membuat sendiri istilah-istilah baru dalam Durrun
Syarif dengan maksud untuk mempermudah dalam mempelajari.
Konten Kitab
Kitab yang berisi 64 halaman ini memiliki 8
bab pembahasan. Diantaranya bab (1) tentang mengenal Syiir/Bait, bab (2) &
(3) tentang kunci Rajaz yang membahas detail tentang bagian bait yang terdiri
dari Hasywun, Arudl dan Darbun. Kemudian bab (4) membahas
mengenai darurat-daruratnya syiir. Bab (5) mengkaji tentang langkah-langkah
dalam praktik menggubah syiir, lalu bab (6) menceritakan tentang sejarah syiir
dan bab terakhir hanya menampilkan 16 bahar secara keseluruhan.
Seperti halnya Amtsilati, Durrun
Syarif menekankan kepada contoh yang praktis. Kunci mempelajari kitab ini
adalah bagaimana pembaca bisa memiliki pemahaman dasar tentang
kunci rajaz, seperti kemampuan menghafal dan memahami not bahar
rajaz yang terdiri dari 6 x mustaf’ilun. Seperti yang tertulis
dalam kitab DS :
حشو
حشو ضرب/عروض
مستفعلن
مستفعلن مستفعلن
Hasywun pasti terdiri dari 4 suku kata.
Suku kata yang ke 3 hanya satu huruf hidup dan suku kata yang ke 4 terdiri dari
dua huruf, yang pertama berharokat dan yang kedua dibaca sukun. Perhatikan, ini
kunci utama selain kondisi darurat. Itu kunci membuat
bagian Hasywun, mengenai kunci Arudl/ Darbun itu pasti
terdiri dari 4 suku kata atau 3 suku kata. Jika empat suku kata maka suku kata
ketiga berupa satu huruf berharokat dan bila tiga suku kata maka suku kata
kedua berupada dua huruf, huruf pertama berharokat dan huruf kedua sukun. Ini
semua kunci selain kondisi darurat.
Ketika Anda sudah memahami keilmuan dasar
ini, maka pembahasan terpenting lainnya adalah Anda harus mendalami 4 langkah
dalam praktik menggubah syiir yang terdapat dalam bab (5).
Dalam bab ini, pembaca difasilitasi sebuah
metodologi bagaimana proses menjadikan sebuah paragraf bahasa Arab diringkas
menjadi sebuah syiir. Langkah ini ditempuh dengan 4 tahapan yaitu (1) Anda
harus menentukan materi yang akan disyiirkan. Tahapan ini bisa Anda ambil
sebuah paragraf dari satu kitab, kemudian Anda pahami dan simpulkan materi yang
dipilih kemudian tentukan kata kunci dari kesimpulan yang Anda pahami tanpa
meninggalkan bahasa Arabnya.
Setelah memiliki kata kunci dari sebuah
kesimpulan maka langkah yang lumayan menguras pikiran adalah merangkai dan
menyesuaikan kesimpulan Anda dengan nada baharnya. Di sinilah proses
kreatifitas penulis diuji. Pada tahap ini, nahwu-sharaf sangat diperlukan
sekali, terutama sharaf karena perubahan kata akan diperlukan untuk
menyesuaikan not bahar Rajaz. Proses dalam merangkai syiir ini dijelaskan
detail oleh Kiai Taufiq dengan disertakan 10 contoh bagaimana proses membuat
syiir dari sebuah keterangan sebuah kitab.
Tidak hanya sekedar janji, para santri Pasca
Amtsilati di ponpes Darul Falah, ponpes yang diasuh oleh Kiai Taufiq sudah
memberikan bukti. Kelas Durrun Syarif di bawah salah satu ustadz di
sana sudah menelurkan karya-karya nadham yang ditulis dan dikarang
sendiri oleh para santri Pasca. Hal ini tentu sebuah progres dan capaian yang
sangat membanggakan dari kalangan pesantren. Kita bisa melihat, bahwasanya
santri yang telah memiliki dasar nahwu dan sharaf kemudian dibimbing melalui
kitab Durrun Syarif telah dapat mensyairkan berbagai macam materi
dari berbagai macam kitab ulama-ulama terdahulu. Yang lebih menggembirakan
ialah proses menuju hal ini tidak sampai memakan waktu yang lama. (Zulfa,
2016:01)
Dengan adanya sebuah kitab yang sangat
mempermudah para kalangan pesantren (kiai dan santri) untuk menjadi pengarang
dan menjadi penyair tentu kita sangat berharap, akan terlahirnya masa kejayaan
dunia Islam Nusantara kita kembali. Telah sangat lama, kita menunggu penerus
para ulama kita yang mendunia. Pernah kita mendengar nama-nama besar yang asli
Indonesia seperti Syekh Yasin Al Fadani, Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi,
Syekh Imam Nawawi Al Bantani, Syekh Mahfudz At Termasi dan lain sebagaianya.
Beliau-beliau semua menjadi ulama Indonesia yang karyanya membelah sekat dan
batas negara bahkan benua. Itu semua berkat karya-karya beliau yang memiliki
kualitas mumpuni dan memakai bahasa yang universal bagi dunia Islam yaitu
bahasa Arab. []
Kang Ipung, Penulis ialah alumni PBA Unhasy
Jombang yang juga santri Darul Falah Amtsilati Jepara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar