Akuan
Besar Vs Realitas yang Getir (II)
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Firman
dalam dua ayat selanjutnya dengan redaksi yang sama semestinya dapat memukul
dan menyentak rasa ingin tahu kita: mengapa Islam di tangan kita tidak lebih
unggul sebagaimana dijanjikan Allah? Adalah keliru jika kita cepat lari
bersembunyi di ranah teologis dengan doktrin keesaan Allah yang tidak ada
tandingannya, sementara kehidupan kita di muka bumi terlantar dan dihina pihak
lain. Bagaimana dengan bunyi do’a dalam s. al-Baqarah 20: “Rabbanâ âtinâ fî
al-dunyâ hasanah wa fî al-âkhirati hasanah wa qinâ ‘adzâba al-nâr” (Tuhan kami,
berilah kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat, dan bebaskan kami
dari siksa neraka).
Pemahaman
saya terhadap ayat s. al-Baqarah ini adalah agar umat Islam tidak boleh kalah
dan hidup dalam kegetiran di muka bumi, seperti yang kita derita sekarang. Umat
yang kalah dan sarat dengan derita bukanlah umat yang unggul dalam perspektif
agama. Pasti banyak yang salah dan keliru dalam cara kita memahami dan
menjalankan ajaran Islam, tetapi mengapa sebagian kita mau mengakuinya? Tanpa
pengakuan yang jujur, jangan bermimpi Tuhan akan melakukan intervensi dalam
kehidupan duniawi kita agar tampil sebagai umat yang unggul.
Para
pemikir dan pembaru Muslim telah datang dan pergi. Mereka telah
bertungkus-lumus untuk membangunkan kesadaran umat ini agar bangkit secara
berani dan bermartabat. Tetapi suara mereka malah tenggelam di tengah
kebisingan dan kesibukan duniawi para elite Muslim di berbagai bangsa. Oleh
sebab itu, tingkat kecerdasan umat ini mesti selalu dicerahkan agar tidak mudah
jadi korban elite mereka. Di depan Tuhan, elite dan rakyat jelata tidak
dibedakan, kecuali dengan raihan taqwâ yang terbuka untuk semua. Alquran
bersikap sangat adil terhadap manusia, kualitas pribadilah yang menentukan,
bukan keturunan, bukan pula asal-usul. Sayang sekali ajaran persamaan ini
sering benar diputar-balikkan, demi status elite yang tak boleh dipersoalkan.
Tentu
tidak semua kaum elite yang ditembak oleh Resonansi ini. Mereka yang adil,
jujur, dan sungguh-sungguh dalam membela kepentingan rakyat banyak tentu
tidak termasuk dalam kategori yang busuk ini. Mereka adalah pemimpin yang perlu
diikuti tanpa membuang sikap kritikal. Elite yang busuk pasti menjadi musuh
rakyat yang cerdas dan kritikal. Di antara ciri-ciri kebusukan itu terlihat
pada sikap mereka yang padai tetapi licik dalam memanfaatkan kebodohan dan
kemiskinan rakyat untuk kepentingan kekuasaan dan benda. Agama kaum elite busuk
ini tidak pernah sampai ke hati.
Kritik
Alquran terdapat elite Quraisy terasa relevan di sini. Dalam s. al-Rûm 7:
“Mereka mengetahui sisi luar dari kehidupan dunia, padahal terhadap akhirat
[sebagai tujuan sejati], mereka tak hirau.” Putusnya keterkaitan antara apa
yang bersifat duniawi dan kepercayaan tentang akhirat menjadi satu sebab utama
mengapa banyak orang melakukan kejahatan, korupsi, culas, dan perbuatan buruk
lainnya. Di mata Alquran, kehidupan duniawi baru punya makna jika diarahkan
kepada tujuan ukhrawi, tempat segala amal-perbuatan dipertanggungjawabkan di
depan Allah. Tetapi kalah dalam kehidupan dunia sama sekali bukan berasal dari
ajaran Islam yang benar.
Di atas
sudah dibicarakan mengapa pemikiran segar para pembaru seperti lenyap begitu
saja. Pada hemat saya, sebab utamanya adalah karena hanya segelintir anggota
umat yang mau memahaminya, sehingga tidak pernah membentuk kesadaran kolektif
yang mampu menggerakkan arus perubahan besar ke arah keunggulan. Kebiasaan
membaca sangatlah lemah di kalangan kita. Sebagai misal, berapa jumlah Muslim
Indonesia yang pernah membaca tafsir al-Azhar, susunan Hamka. Betapa banyak
pemikiran segar dan revolusioner tentang Islam dapat ditemui di dalamnya.
Jangankan rakyat jelata dengan tingkat pendidikan ala kadarnya, kelas
intelektual Muslim pun belum tentu berminat membacanya.
Akibatnya,
kesadaran kolektif umat untuk bangkit secara autentik dan menyeluruh di
berbagai bagian dunia belum pernah menjadi kenyataan. Sebagian besar umat malah
jadi korban para penjual ayat. Maka menjadi tugas yang menantang bagi para
pemikir dan muballigh yang tercerahkan untuk mencairkan kesadaran itu dalam
rentangan radius yang luas, seluas cita-cita kemanusiaan Islam. Corak kehidupan
yang kita tuju adalah: akuan besar, realitas mendukungnya! []
REPUBLIKA,
18 Oktober 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar