Politik
Primordialisme
Oleh:
Azyumardi Azra
Kegaduhan
terjadi di masyarakat terkait bakal calon gubernur Basuki Tjahaja Purnama
(Ahok)—Gubernur Petahana Provinsi DKI Jakarta—yang dituding melecehkan ayat Al
Quran (Surat Al-Maidah Ayat 51). Kehebohan tidak hanya di Jakarta, tetapi juga
di tempat lain karena akhir pekan lalu saya mendapat pertanyaan tentang masalah
ini seusai seminar di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.
Kehebohan
itu bersumber ketika Ahok, lengkap dengan pakaian dinas, bertemu warga
Kepulauan Seribu, yang antara lain menyatakan, ”…dibohongin pakai Surat
Al-Maidah 51 macam-macam.” Ayat ini melarang orang- orang beriman mengambil
orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin.
Ada dua
pendapat di kalangan tokoh dan warga Muslim. Pertama, mereka yang menganggap
pernyataan itu merupakan pelecehan terhadap Al Quran dan Islam. Kedua, mereka
yang menganggap Ahok tidak melecehkan Al Quran, dia hanya memperingatkan warga
agar tidak ”dibohongi” orang tertentu dengan memakai Surat Al-Maidah Ayat 51.
Kontroversi
dari pernyataan Ahok membuktikan, membawa isu agama ke ranah politik—khususnya
pilkada—bisa sangat sensitif. Membawa isu agama dalam kontestasi politik dapat
sangat divisif, apalagi jika figur calon terkait berbeda agama dengan mayoritas
pemilih. Kepecahbelahan juga bisa meningkat di antara umat beragama berbeda.
Bisa terjadi pula perbedaan pendapat cukup sengit di antara para penganut satu
agama; antara yang menganggap ”pelecehan agama” dan yang menilai ”bukan
pelecehan”.
Kontroversi
divisif seputar masalah ini membuktikan, isu terkait suku, agama, ras,
antargolongan (SARA) bisa eksplosif. Karena itu, sangat bijak jika politisi,
pemimpin baik formal maupun informal, menghindari isu SARA ke ranah politik.
Keempat aspek SARA adalah hal primordial dan perenial dalam kehidupan pribadi
ataupun kelompok. Karena itu, orientasi berbau primordialisme, termasuk dalam
politik, sulit dihindari.
Menurut
definisi, primordialisme adalah perasaan intrinsik tentang kebanggaan,
dedikasi, serta emosi kuat pada etnisitas dan ras, agama, bahasa, sejarah, dan
negara asal sendiri. Karena intrinsik, primordialisme hampir selalu mewarnai
pandangan dunia dan perilaku seseorang dan kelompok masyarakat.
Dalam
konteks itu, primordialisme bersifat perenial (abadi) yang berurat berakar
dalam psike setiap manusia. Karena itu, primordialisme ras, suku, dan agama
sulit dihilangkan. Masalahnya kemudian sejauh mana primordialisme bisa
diterima? Dalam banyak kajian akademik tentang subyek ini, primordialisme
biasanya dibagi menjadi dua.
Pertama,
primordialisme keras (hard primordialism) yang menghasilkan chauvinisme atau
sentimen rasial dan etnis berlebihan, seperti Jerman di masa Hitler. Chauvinisme
etnis juga bisa beramalgamasi dengan sektarianisme agama bernyala-nyala yang
memecah belah, seperti kasus Yugoslavia yang terbelah menjadi Serbia
(Ortodoks), Kroasia (Katolik), dan Bosnia-Herzegovina yang juga terbelah tiga
(komunitas Muslim mayoritas, Kroasia Katolik, dan Serbia Ortodoks).
Kedua,
primordialisme lunak (soft primordialism), yaitu sentimen dan kesetiaan pada
ras dan etnisitas, serta agama yang disertai kesadaran tentang pentingnya
relasi harmonis dengan sejumlah komunitas. Kelompok primordial terlibat satu
sama lain dalam proses negosiasi dan pertukaran bermacam aspek sosial, budaya,
ekonomi, dan politik.
Proses
dalam soft primordialism memungkinkan individu dan komunitas tetap setia pada
ikatan primordialisme tanpa mengorbankan kelompok primordial lain. Keadaan ini
memberi iklim kondusif bagi terciptanya perasaan saling mengerti dan saling
menghormati yang merupakan prasyarat terciptanya kohesi dan integrasi
sosial-politik.
Karena
hard primordialism dan soft primordialism selalu mengendap dalam psike sadar
individu dan masyarakat, politisi dan para pemimpin sepatutnya tidak
menampilkan sikap (gesture) dan/atau mengeluarkan pernyataan yang dapat
memantik sentimen hard primordialism. Jika ini terjadi, soft primordialism yang
jauh lebih positif terkalahkan chauvinisme politik sempit.
Karena
itu pula, calon dalam pilkada dan politisi perlu menampilkan sikap politik yang
sering disebut political correctness (politik yang benar). Saat sama, politisi
seyogianya menghindarkan diri dari political incorrectness, perilaku dan
pernyataan yang politically incorrect—secara politik tidak benar.
Political
correctness menyangkut prinsip menghindari sikap, gesture, kebijakan politik-
pemerintahan, dan pernyataan yang dapat merendahkan atau menyinggung perasaan
orang lain, baik secara agama dan keyakinan, dan/atau ras dan etnis. Pejabat
publik dan politisi yang tidak mengindahkan prinsip ini disebut secara politik
tidak benar.
Jelas,
political correctness sangat perlu dalam kehidupan bernegara-berbangsa.
Alasannya jelas: Indonesia adalah negara amat bineka dalam banyak hal, dari
etnis dan ras, kehidupan sosial-budaya, agama dan keyakinan sampai
sosial-ekonomi. Sebagian besar mengandung primordialisme. Karena itu, tanpa
kepenganutan dan kepatuhan pada prinsip political correctness negara-bangsa ini
dapat hancur berkeping-keping.
Political
correctness jelas amat penting dalam ranah politik, khususnya pada musim
pilkada dan pemilu. Mereka yang bertarung sepatutnya menghindari sikap,
tindakan, dan pernyataan yang secara politik tidak benar dan tidak bijak, yang
dapat kian memecah belah masyarakat. Karena itu, para (bakal) calon di mana pun
patut lebih berorientasi pada kepentingan negara-bangsa lebih esensial, yaitu
kesatuan dan keutuhan Indonesia. Inilah political correctness paling utama, paling
bermartabat, dan sekaligus paling mulia. []
KOMPAS,
11 Oktober 2016
Azyumardi
Azra | Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar