Bagaimana
Membangkitkan Peradaban Islam?
Penulis
: Ali A. Alawi
Judul Buku
: Krisis Peradaban Islam: Antara
Kebangkitan dan Kebutuhan Total
Penerbit
: Mizan, November
2015
ISBN
: 978-979-433-899-5
Peresensi
: Munawir Aziz, Pergiat di GusDurian dan Gerakan Islam Cinta
Islam tidak sekedar
agama hukum (din as-syari'ah), namun juga agama peradaban dan pengetahuan.
Sebagai agama peradaban, tradisi Islam dalam sejarah panjangnya, selama sekitar
14 abad, menjadi bagian penting dalam peradaban dunia. Jejak peradaban ini masih
monumental, dari kawasan Timur Tengah, Andalusia, Ottoman, Asia, hingga
Nusantara. Sebagai agama pengetahuan, Islam juga menghasilkan produk
intelektual pada tiap zamannya. Tradisi intelektual ulama Andalusia, menjadi
penanda penting berkembangnya sains dalam khazanah Islam.
Lalu, bagaimana
peradaban dan pengetahuan Islam masa kini? Ali A. Allawi gelisah melihat
perkembangan Islam dewasa ini, pada era teknologi dan masyarakat modern, yang
hanya menampilkan sengketa, perang dan pertaruhan politik. Kajian-kajian
tentang Islam, lebih banyak disesaki oleh wacana Islam politik, sesuatu yang
kemudian meminggirkan khazanah pengetahuan dalam agama ini.
Dalam buku ini,
Allawi terfokus untuk berusaha menemukan akar-akar yang lebih mendalam dari
krisis Dunia Islam. Allawi juga menggali jawaban tentang ketidaksesuaian Islam
dengan dunia modern, apakah intrinsik pada agama atau karena faktor-faktor yang
lain, termasuk di dalamnya merosotnya kekuatan-kekuatan hakiki dan jati
dirinya.
Allawi berusaha
menjawab tiga persoalan mendasar; pertama. Masih bisakah kita berbicara tentang
satu peradaban Islam, ataukah Islam terpecah dalam satu kesatuan etnis, budaya,
dan nasional dengan ikatan longgar satu sama lain? Kedua, apakah peradaban
Islam bisa berulang kembali, ataukah telah hilang ditelan zaman? Ketiga, apakah
syarat-syarat yang memungkinkan peradaban Islam lahir kembali di dunia? Dalam
rangkaian utuhnya, Allawi berusaha memberikan argumentasi, apakah sebuah
masyarakat modern dengan segenap kompleksitasnya dengan ketegangan dan
sengketa, dapat dibangun berdasar visi ketuhanan? (hal. 18-19).
Secara jernih,
setelah melacak akar peradaban dan pengetahuan Islam, Allawi memuji lahirnya
tokoh-tokoh Muslim yang menjembatani pengetahuan agama dan sains. Ali A. Allawi
mengungkapkan tentang pentingnya pencerahan pengetahuan, seperti pada sosok
Sayyed Hosein Nasr. Kisah hidup Sayyed Hosein Nasr menjadi contoh penting yang
disajikan Allawi sebagai gambaran pencerahan pengetahuan, dalam tradisi
intelektual Islam modern. Nasr terlahir di Iran pada 1933, dalam tradisi
intelektual dan keluarga dokter terkemuka. Nasr mempelajari fisika di MIT,
hingga kemudian menyelesaikan Ph.D dari Harvard pada 1958, dengan karya riset
bidang sejarah Islam.
Nasr kembali ke Iran,
menjadi seorang cendekiawan terkemuka dan tokoh pendidikan yang penting di
negeri itu. Pascarevolusi Iran, 1978-1979, Nasr meninggalkan Iran dan tergabung
dengan George Washington University. Ia terinspirasi oleh kelompok
'tradisionalis', sekelompok cendekiawan Eropa yang umumnya telah masuk Islam.
Kelompok ini menggali inspirasi dari pemikir Perancis, Rene Guenon. Selain itu,
ahli metafisika Fritjhof Schuon, Titus Burckhardt (sejarawan seni), Martin
Lings (cendekiawan dan kurator museum) juga termasuk dalam kelompok ini.
Dalam pandangan kaum
tradisionalis, kelanjutan berbagai tradisi keagamaan yang autentik merupakan
satu-satunya cara bagi manusia untuk menghubungkan diri dengan agama
primordian. Kelompok ini, mendukung gagasan filsafat perenial, yang berusaha
menemukan kesatuan keilahian dari seluruh agama pada dimensi terdalam yang
esoterik (hal. 371).
Perlawanan Sufistik
Dalam khazanah Islam,
kelompok tarekat dan jaringan ulama sufi, memiliki peran signifikan untuk
menggerakkan pendukungnya, yang pada akhirnya mempengaruhi wajah zaman.
Kelompok sufistik ini, seringkali dipandang sebelah mata dalam kajian
intelektual peneliti dari berbagai universitas. Hali ini, lebih karena
kurangnya pemahaman dan sempitnya wawasan dalam memahami fenomena jaringan
tarekat. Padahal, gerakan sufistik berpengaruh pada ruang geografis dan
historis.
Gerakan-gerakan
revivalis (kebangkitan) Islam mendahului kedatangan orang-orang Eropa. Pada
abad 18, terjadi peningkatan signifikan jumlah gerakan reformasi dan
kebangkitan yang memperjuangkan pemurnian kehidupan dan masyarakat Islam.
Fenomena ini, sejalan dengan surutnya jaringan kekuasaan tiga kerajaan besar
Islam pada masa itu.
"Para pemimpin
berbagai gerakan ini umumnya berasal dari barisan ulama dan para sufi. Para
ulama tercengang oleh longgarnya standar agama dan toleransi terhadap
praktik-praktik yang perlu dipertanyakan, bahkan menyerupai kemusyrikan, yang
semakin menjangkiti Islam populer," tulis Alawi (hal. 76).
Di kerajaan
multietnis di Mughal, yang mayoritas populasinya pemeluk Hindu. Pada masa Raja
Aurangzeb, raja terakhir di Mughal, ia berusaha menuntaskan kebijakan akomodasi
religius dan mengusahakan pemberlakuan identitas Islam. Sebelumnya, kebijakan
kerajaan sangat akomodatif terhadap sinkretisme, bahkan pada beberapa kisah sangat
dianjurkan oleh kerajaan. Usaha Aurangzeb menemukan titik akhir, dengan
berakhir pula masa kekuasaannya di Mughal. Para ulama bangkit untuk mengokohkan
misi Aurangzeb, menguatkan identitas Islam di negeri yang longgar terhadap
identitas keagamannya. Syah Waliyullah Dahlawi (1703-1762), yang terlahir di
Uttar Pradesh, India belajar tekun di Makkah dan Madinah selama 12 tahun.
Para ulama di
berbagai kawasan melakukan gerakan revivalis, untuk membangkitkan kembali
gairah keislaman. Pada abad 18 dan 19, juga muncul gerakan Sufi Naqsyabandiyah,
yang mengusahakan pemurnian sufi dari praktik-praktik serta
penambahan-penambahan yang tidak diterima oleh para ulama ortodoks.
Perlawanan
anti-Belanda di Aceh pada abad 19, juga melibatkan jaringan tarekat Naqsyabandiyah,
yang juga terjadi di kawasan Kaukasus. Pemberontakan melawan Rusia oleh Imam
Mansur pada 1785-1791, dan kemudian diteruskan Imam Syamil, menggunakan
jaringan tarekat Naqsyabandiyah. Kemudian, tarekat Sanusiyah yang didirikan
oleh Muhammad Ali al-Sanusi (1787-1895), menjadi referensi penting bagaimana
gerakan tarekat menjadi motor penggerak perlawanan terhadap rezim kolonial.
Al-Sanusi membangun beberapa pondok sufi (zawiyah) di kawasan Gurun Libia,
sebagai benteng pertahanan sekaligus pusat perlawanan terhadap serbuan Prancis
dan Italia ke Sahara (hal. 78).
Dalam buku ini,
Allawi mengkaji tentang bagaimana Islam bangkit di tengah krisis peradaban.
Allawi melihat, bahwa agama memiliki karakteristik masing-masing. Menurut
Allawi, agama dalam beragam cara, menilai individu dan kolektifitas. Agama
Buddha merupakan jalan soliter menuju pencerahan dan kesempurnaan. Agama Yahudi
memperlihatkan kolektivitas, baik ruhaniah maupun duniawiyah. Refomasi
Protestan mengenai kemungkinan individu, melalui kesalehan dan ibadah
individual, untuk mencapai keselamatan (hal. 25).
Dalam buku ini,
Allawi menggarisbawahi pentingnya kebangkitan Islam sebagai agama pengetahuan
dan peradaban, bukan sekedar sebagai agama politik dan hukum. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar