Mewaspadai
Lonjakan Perceraian
Oleh:
Nasaruddin Umar
SEJUMLAH
surat kabar nasional dan lokal akhir-akhir ini meng-headline lonjakan angka
perceraian. Harian Republika awal Oktober lalu mengangkat topik Lonjakan
Perceraian Ancaman Kualitas Anak. Sebelumnya, Harian Tribun Timur Makassar
memuat judul Sehari, 8 Istri Jadi Janda, cukup mengagetkan para pembacanya.
Betapa tidak, Kota Makassar yang berpenduduk 1.338.663 dengan perincian
beragama Islam 1.167.188, Protestan 109.423, Katolik 37.824, Hindu 1.926,
Buddha 16.961, Konghucu 261, dan lainnya 315, dalam 2015, data di Kantor
Pengadilan Agama Kelas 1A Makassar memutus perceraian 1.840 pasangan suami
istri beragama Islam di antara total 2.222 permohonan yang masuk. Yang tak
kalah menarik ialah 1.390 (75,5%) kasus merupakan cerai gugat, artinya istri
menceraikan suaminya, hanya 459 (24,9%) kasus cerai talak, suami menceraikan
isterinya. Angka-angka itu belum terhitung perceraian yang terjadi pada
penganut agama lain selain Islam.
Dalam
catatan penulis, angka-angka yang diangkat media, ada sejumlah daerah mengalami
lonjakan tetapi ada juga yang stabil, bahkan ada yang cenderung menurun. Akan
tetapi, secara umum angka perceraian selama dua dasawarsa terakhir secara
nasional memang sudah sangat mengkhawatirkan. Dalam catatan penulis, angka
perceraian di Kota Makassar dalam 10 tahun lalu (2005) berjumlah 4.174 kasus
dengan perincian cerai gugat 3.081 (65,2%) dan cerai talak 1.093 (23,1%). Yang
perlu dicermati juga ialah sekitar tiga perempat perceraian didominasi pasangan
usia rumah tangga kurang dari lima tahun. Bisa dibayangkan, anak masih
kecil-kecil dan tentu juga didominasi janda muda dengan segala risikonya.
Lonjakan
perceraian yang sedemikian tinggi sepertinya belum mendapatkan perhatian khusus
di dalam masyarakat, khususnya pemerintah. Padahal, Rasulullah SAW pernah
mengingatkan, "Sesuatu yang halal tetapi paling dibenci Allah SWT ialah
perceraian." Bayangkan, dalam 10 tahun terakhir di antara 2 juta
perkawinan setiap tahunnya terjadi 200 ribu perceraian. Ini artinya, setiap 10
perkawinan terjadi satu perceraian. Tiga tahun terakhir secara nasional lebih
meningkat lagi.
Hal yang
perlu mendapatkan perhatian ialah dampak perceraian itu. Setiap kali terjadi
perceraian akan terjadi orang miskin baru yang namanya perempuan (janda) dan
anak-anak. Perempuan yang menjadi janda pada umumnya akan menjadi miskin karena
selain status janda itu sendiri terkesan perempuan kelas dua, dan juga harta
kekayaan keluarga seperti harta tidak bergerak, misalnya tanah dan rumah masih
atas nama suami. STNK kendaraan, deposito, dan saham berharga yang ada semua
atas nama suami.
Sangat
berbeda dengan laki-laki kalau menjadi duda. Duda dan jejaka hampir sama. Duda
seolah-olah tidak pernah salah dan disalahkan di dalam masyarakat. Meskipun
nyata-nyata yang menjadi biang perceraian ialah sang laki-laki (suami). Suami
sepertinya tidak punya bekas kalau dirinya sebagai duda. Ia tidak pernah
mengandung dan melahirkan. Ia juga tidak punya perubahan apa-apa pada dirinya.
Dia bisa mengaku jejaka di mana-mana. Bahkan, dengan tenang ia bisa mengaku
tidak pernah punya istri dan anak karena anak dengan susah payah dibesarkan dan
dipelihara sang ibu.
Dominannya
perceraian pada pasangan rumah tangga usia muda tentu risiko sosialnya lebih
rumit. Perempuan yang sudah menjanda apalagi punya anak, sulit sekali
mengharapkan calon pasangan baru dari kaum jejaka. Akibatnya, banyak di antara
mereka memilih menjadi istri kedua atau perempuan simpanan. Pasangan seperti
ini lebih banyak melakukan nikah siri atau perkawinan tidak tercatat dengan
segala konsekuensinya. Anak-anak yang lahir dari pasangan baru ini juga tidak
bisa mendapatkan hak perwalian (jika terlahir sebagai anak perempuan). Lebih
jauh sang anak, menurut UU No 23/2006, tidak bisa atau sulit mendapatkan akta
kelahiran, masuk daftar kartu rumah tangga, mendapatkan KTP, paspor, dan kartu
identitas lainnya. Jelas, anak-anak yang lahir dari pasangan ini akan menjadi
korban, paling tidak memiliki kepercayaan diri yang kurang jika dibandingkan
dengan teman-temannya yang lahir dalam keluarga normal.
Tentu
saja, korban ialah anak-anak. Sang anak harus menanggung malu dan rasa sedih
dari teman-temannya yang diantar jemput oleh pasangan utuh bapak-ibunya. Akibat
lebih jauh, tawuran dan berbagai kenakalan remaja lainnya seperti narkoba,
aborsi dalam usia dini di luar perkawinan, dan patologi sosial lainnya.
Semua
agama memandang negatif perceraian. Dalam Islam, hadis Nabi tersebut
mengingatkan kita bahwa perceraian lebih banyak menyebabkan kesengsaraan.
Alquran juga banyak menguraikan dampak perceraian ini. Alquran dan hadis
merekomendasikan kepada pasangan bermasalah untuk selalu mencari jalan keluar
lain di dalam menyelesaikan persoalan rumah tangga tanpa harus melalui pintu
darurat perceraian. Alquran lebih teknis menasihatkan kepada pasangan
bermasalah untuk mendatangkan penasihat (hakam) dari pihak ketiga agar
mempertahankan keutuhan rumah tangga. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat,
"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal". (QS Al-Nisa'/4:35).
Perkawinan
dalam Islam betul-betul agung, mulia, dan sakral. Akad nikah menurut Imam
Syafi', mazhabnya yang paling banyak dianut di Asia Tenggara, ialah bukan hanya
kontrak sosial ('aqd al-tamlik), melainkan juga kontrak Ilahi ('aqd al-'ibadah)
yang dalam Alquran diistilahkan dengan perjanjian suci (mitsaqan galidhan).
Karena itu, perkawinan tidak boleh dianggap sebagai akad yang main-main.
Terlebih lagi, lafaz talak menurut Rasulullah ialah suatu kata yang tidak boleh
diucapkan dengan main-main karena bisa benar-benar jatuh talak dengan segala
konsekuensinya.
Faktor-faktor
yang berkontribusi pada meningkatnya perceraian, terutama cerai gugat, ialah
semakin berkembangnya regulasi yang menjurus pada perlindungan hak-hak
perempuan, juga yang amat penting ialah pengaruh berbagai tayangan infotainment,
dan media sosial. Banyak pemirsa terpana menyaksikan tayangan berisi perilaku
artis dan publik figur yang dibahas tuntas presenter dengan sangat menarik.
Kaum laki-laki atau perempuan yang begitu gampang tergoda oleh kebutuhan
biologis sesaat. Saling membongkar masalah suami/istri ialah sesuatu yang
lumrah. Tidak ada rasa malu dan rasa berdosa mempertontonkan perilaku tidak
terpuji itu di dalam masyarakat. Para artis itu sepertinya tidak menyadari
bahwa mereka menjadi penentu kecenderungan perilaku masyarakat, khususnya
generasi muda.
Pengetahuan
dan kesadaran agama betul-betul dipertanyakan di dalam masyarakat kita saat
ini. Mengapa rumah tangga begitu rapuh? Hanya masalah sepele, cerai. Hanya
karena perbedaan pilihan politik menyebabkan perceraian, seperti yang terjadi
pada 2005, menurut data di Kantor Pengadilan Agama, lebih 500 pasangan bercerai
karena faktor politik. Masyarakat dan pemerintah betul-betul harus mengambil
peran aktif untuk mencegah semakin maraknya perceraian. Mungkinkah kita mengharapkan
masyarakat dan negara ideal di atas rumah tangga berantakan? Wallahualam. []
MEDIA
INDONESIA, 18 October 2016
Nasaruddin
Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar