Disorientasi Religio-Intelektual
Oleh:
Azyumardi Azra
Kasus
Kanjeng Dimas Taat Pribadi yang terungkap hampir berbarengan dengan kasus Aa
Gatot Brajamusti menimbulkan kehebohan dan kontroversi di kalangan masyarakat.
Kedua kasus ini jelas menyangkut tindak kriminal serius, seperti penipuan,
penyalahgunaan narkoba, pelecehan seksual , dan pencetakan uang palsu.
Keduanya juga terkait dengan hal tidak kurang substantifnya mengenai spiritualitas
dan agama.
Kasus-kasus semacam ini memperlihatkan betapa mudahnya
masyarakat-bukan hanya orang awam, melainkan juga kalangan terpelajar-terseret
ke dalam aliran dan gerakan aneh dan delusif seperti Dimas Kanjeng dan Aa
Gatot. Kenapa banyak warga-khususnya inteligensia atau lebih lagi
intelektual-begitu mudah terpesona dan terseret ke dalam klaim dan janji yang
tidak masuk akal (too good to be true), semacam "kemampuan"
menggandakan uang misalnya.
Disorientasi dan dislokasi
Dari sudut pandang sosiologi agama, kasus Kanjeng Dimas dan Aa
Gatot memberikan indikasi tentang kerapuhan banyak orang dalam pemahaman dan
praksis religio-intelektualnya. Dari waktu ke waktu masyarakat arus utama,
pemerintah, dan aparat kepolisian dikagetkan dengan terungkapnya
kelompok-kelompok yang menganut paham dan praktik tidak lazim.
Juga selalu terlihat ada figur sentral yang diyakini para penganut
sebagai memiliki kekuatan gaib; bahkan dianggap memiliki karamah, kemampuan
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan sunatullah atau kelaziman (khariqul
adah) atau iron law. Padahal, dalam akidah islamiyah, yang dianugerahi karamah
itu hanya wali Allah, orang yang dekat dengan Tuhan.
Di sini terlihat pula kerapuhan warga yang terkait banyak dengan perkembangan
dan gejala lain; bukan hanya dengan aspek spiritualitas dan agama, melainkan
juga dengan lingkungan sosial, ekonomi, hukum, dan politik lebih luas.
Karena itu, kasus-kasus seperti ini tidak bisa dijelaskan hanya
dari sudut pandang kajian agama (religious studies). Penjelasannya memerlukan
pendekatan berbagai sudut pandang yang dapat menjelaskan kenapa orang dapat
terjerumus ke dalam pemahaman dan praktik yang secara agama, sosial, dan budaya
bisa disebut sebagai "heterodoks"-menyimpang dari ortodoksi, ajaran
tata nilai, dan praktik baku yang sah dan otoritatif.
Pada satu segi, keterjerumusan orang ke dalam pemahaman dan
praktik heterodoks terkait pula dengan krisis sosial dan budaya lebih luas.
Krisis itu dapat menimbulkan disorientasi dan dislokasi akut pada
individu-individu delusif yang rentan karena masalah tertentu yang mereka
hadapi. Namun, perlu segera ditegaskan, kebanyakan orang meski berhadapan
dengan krisis berganda seperti itu tidak terjerumus; mereka tetap tegar, tidak
tergoda pada tawaran instan untuk menghadapi krisis lebih luas tersebut.
Karena itu, mereka yang terseret kepada heterodoksi keagamaan,
budaya, dan sosial lazimnya adalah orang-orang yang menghadapi masalah tertentu
yang tidak bisa mereka selesaikan secara alamiah. Secara psikologis, mereka
cenderung dikuasai delusi yang membuat mereka mudah terjerumus ke dalam
berbagai bentuk khurafat. Sebab itu pula, mereka mudah tergoda tawaran dan
janji penyelesaian masalah secara instan atas berbagai masalah yang mereka hadapi.
Sedikitnya ada tiga faktor yang menjadi faktor pendorong (driving
factor) yang membuat kalangan masyarakat-apakah orang awam atau
terpelajar-terseret ke dalam heterodoksi religio-intelektual. Ketiga faktor itu
bersifat internal dan eksternal yang berkelindan menjerumuskan yang
bersangkutan.
Pertama, krisis kepribadian karena masalah diri atau keluarga yang
tidak terselesaikan. Kian lama krisis diri tidak terselesaikan semakin rentan
pula yang bersangkutan mencari jalan pintas dan instan untuk menyelesaikannya.
Kedua, obsesi politik, kekuasaan, dan jabatan. Obsesi yang bisa
jadi sulit kesampaian karena berbagai alasan, baik dari diri yang bersangkutan
maupun dari lingkungan politik, seperti partai dan konstituen. Keadaan ini
mendorong orang mencari cara instan untuk memperoleh atau mempertahankan
kekuasaan dengan cara tidak lazim.
Ketiga, kerakusan harta dan uang atau sebaliknya kesulitan
finansial karena usaha yang tidak berkembang atau utang menggunung. Mereka yang
mengidap nestapa ini segera terjerumus ke dalam janji penggandaan uang, emas,
atau harta benda lain. Untuk berhasil dalam penggandaan, mereka mau menyerahkan
persekot uang yang digandakan; jumlahnya bisa puluhan juta sampai ratus miliar.
Padahal, jelas "janji" penggandaan itu tidak masuk akal (too good to
be true).
Kultus "heterodoks"
Semua faktor tadi dalam aktualisasinya terkait erat dengan figur
sentral yang memberi janji pemecahan semua masalah secara instan. Namun, untuk
meyakinkan agar orang memercayainya, dia membangun dan menampilkan diri sebagai
sosok religius dan karismatik.
Citra religiositas dan karisma biasa dibangun dengan penampilan
diri yang tidak berbeda atau bahkan lebih dari sosok otoritas keagamaan
ortodoks. Jubah beserta sorban yang dilengkapi aksesori bernuansa keagamaan,
misalnya, dapat memunculkan "wibawa" yang membuat mereka yang
bermasalah tadi terpesona dan percaya.
Penguatan citra secara fisik ini kemudian dilengkapi penggunaan
nama atau gelar yang bisa mendatangkan kekaguman dan respek. Nama atau gelar
itu bisa diambil dari nama diri atau kosakata kitab suci atau nama dan gelar
lokal yang mengandung nuansa suci, suci, sakral, dan mulia.
Kedua tahap penguatan citra fisik ini sekaligus disertai pengutipan
ayat kitab suci-bisa fasih atau tidak fasih melafalkannya, doktrin atau
nomenklatur yang lazim di dalam lingkungan komunitas keagamaan arus utama.
Dengan cara itu, mereka yang mencari jalan pintas merasa sosok yang mereka
percayai secara taklid buta, bukanlah pimpinan kultus heterodoks.
Padahal, dari sudut pandang studi agama, proses seperti itulah
yang melahirkan kultus, pemimpin cult-aliran atau kelompok spiritual yang
berpusat pada seorang pemimpin dianggap karismatik yang memukau dengan
penampilan fisik dan penggunaan jargon religio-intelektual yang memesona.
Kultus berpusat pada pemujaan tanpa reserve pada sang figur. Hasilnya
adalah ketundukan (taklid buta) dan ketergantungan psiko-religius para pengikut
kepadanya.
Hasilnya sudah bisa diduga dan dapat disaksikan. Para pengikut
menjadi sasaran eksploitasi dan kemauan pemimpin kultus. Para pengikut kultus
kehilangan nalar sehat dan logika yang benar sekalipun berpendidikan tinggi.
Perkembangan religio-sosial Indonesia yang rentan memberi iklim
cukup kondusif bagi muncul dan berkembangnya kultus dari waktu ke waktu.
Kondisi sosial-ekonomi, politik, dan budaya yang berubah cepat mengakibatkan
banyak warga mengalami disrupsi dan disorientasi. Mereka ini berpotensi
terjerumus ke dalam pelukan figur "karismatik" yang tak lain adalah
con man (orang yang menyalahgunakan kepercayaan orang, alias penipu) yang
menjanjikan "jalan pintas" penyelesaian masalah yang mereka hadapi.
Karena fenomena kultus con man yang selalu laten, ormas
keagamaan, warga dan masyarakat perlu menyikapinya secara cerdas dengan
menggunakan akal sehat. Para fungsionaris agama dan pimpinan ormas agama patut
senantiasa membentengi umatnya dengan sosialisasi pemahaman dan pengamalan
agama sesuai ortodoksi.
Pemerintah-khususnya Kementerian Agama-juga semestinya lebih
pro-aktif mencermati kemunculan kelompok kultus yang ujung-ujung mencakup aksi
kriminalitas yang melanggar hukum dan mengganggu kehidupan agama dan
sosial. Dengan begitu, pemerintah dapat melindungi warganya dari con man yang
merugikan banyak warga, baik mental-spiritual maupun material. []
KOMPAS, 6 Oktober 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta; Anggota Council on Faith, World Economic Forum Davos;
Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar