Membendung Sektarianisme
Oleh: Azyumardi Azra
Adanya mazhab atau aliran pemahaman dan pengamalan Islam adalah
keniscayaan—Sunnatullah. Sebab itu, pertengkaran, konflik, apalagi perang
sesama Muslim dan juga dengan non-Muslim merupakan penolakan (kufur) terhadap
Sunnatullah.
Meski jelas-jelas Alquran melarang fanatisme mazhab atau aliran
agama (‘ashabiyah) atau partisan politik (hizbiyah) yang sering meningkat
menjadi sektarianisme menyala-nyala, tetap saja ada kaum, kelompok, aliran atau
mazhab yang tidak peduli. Sejak masa pasca-Nabi Muhammad SAW sudah muncul
aliran dan kelompok seperti itu, yang bahkan menjadi pola dasar (prototype)
paham dan gerakan radikal di masa moderen-kontemporer.
Kalangan Muslim dengan sektarianisme membakar, juga tidak mau
belajar dari sejarah. Mereka tidak hanya membangun justfikasi
teologis-doktrinal untuk membenarkan sektarianisme bernyala-nyala itu,
sekaligus pula selalu mengulangi aksi kekerasan sektarian.
Hasilnya, pemikiran Islam hampir selalu diwarnai pertengkaran dan
klaim kebenaran sejak zaman baheula sampai sekarang. Merupakan realitas
historis, perdebatan pascaperang Siffein (Shafar 37M/Juli 657M), lengkap dengan
paradigma Khawarij berupa takfir, hijrah dan jihad terhadap sesama Muslim yang
tidak sepaham dan sealiran. Kini berbagai kelompok ‘neo-Khawarij’ mengadopsi
paradigma dengan aksi kekerasan yang sama.
Ironi dan tragedi umat Islam akibat sektarianisme bernyala-nyala
menjadi perbincangan hangat dalam Seminar Antarabangsa ‘Islam Tanpa Sekte’,
atau lebih tepat ‘Islam Tanpa Sektarianisme’. Seminar yang diselenggarakan
Islamic Renaissance Front (IRF, Kuala Lumpur 11/9/2016) menghadirkan pembicara;
al-Fadhil Ustadz Abdul Ghani Shamsuddin, Pengurusi al-Uttihad al-‘Alam li
al-‘Ulama’ al-Muslimin, dan tiga akademisi, Chandra Muzaffar, Karim Douglas
Crow, Syed Farid Alatas dan penulis Resonansi ini.
Chandra Muzaffar melihat sektarianisme yang terus menimbulkan
gejolak di Dunia Arab karena adanya kuasa asing seperti Amerika Serikat,
Israel, Uni Soviet (kini Rusia), dan Turki yang juga ikut bermain. Kepentingan
geo-politik dan geo-ekonomi berbagai kuasa asing membuat kawasan ini selalu
menjadi kancah persaingan dan pertarungan.
Selanjutnya,persaingan kuasa di antara Arab Saudi dan Iran yang
selain bersumber dari kepentingan politik dan kekuasaan regional juga terkait
dengan sektarianisme antara Wahabi versus Syi’ah. Chandra menolak anggapan,
pertarungan di antara kedua negara sebagai sepenuhnya ‘hasil konspirasi’ di
antara kuasa-kuasa asing yang bermain di Timur Tengah.
Sedangkan Farid Alatas melihat ‘punca’ (sumber) kekisruhan,
konflik dan kekerasan di antara umat Islam di Dunia Arab dan kawasan lain
adalah kalangan kaum Muslimin sendiri. Ia melihat sejak masa pasca-Nabi, sudah
ada kelompok Muslim yang mudah terpengaruh pada propanda dan provokasi internal
untuk melakukan kekerasan terhadap orang dan kelompok Muslim lain yang berbeda.
Karim Crow berpandangan sama; akar pertikaian dan konflik di
kalangan umat Islam sudah 1400 tahun. Karena itu pertikaian sektarianisme sudah
menjadi psike banyak kalangan umat Islam. Kebencian sektarian paling dominan
dalam psike tersebut sehingga dengan cepat mendorong para pengikutnya
yang bertentangan untuk saling bunuh. “Ditambah struktur sosial dan pemerintahan
yang gagal, negara-negara Arab kini menemui jalan buntu”, kata dia.
Jika keadaannya demikian akut dan teruk, kalau Islam dan kaum
Muslimin ingin berjaya baik di dunia maupun akhirat, tidak ada cara lain
kecuali membendung dan mengendalikan sektarianisme bernyala-nyala itu. Mazhab
dan aliran memang tidak bisa dihilangkan sama sekali, tetapi dapat dicegah
menjadi tak terkontrol dan akhirnya menghancurkan diri sendiri (self
destruction).
Bagaimana cara membendung sektarianisme supaya tidak
meluap-meluap? Penulis Resonansi ini dalam perbincangan itu menyarankan:
pertama, umat Islam yang berbeda aliran baik intra-Sunnah maupun antara Sunni
dan Syiah perlu lebih sungguh-sungguh dan lebih tulus dalam usaha taqrib
al-madhahib—rekonsiliasi dan islah antar mazhab.
Upaya ini, yang misalnya pernah dan masih diusahakan al-Azhar dan
juga ditegaskan kembali dalam ‘Pesan Amman’2013, belum membuahkan hasil banyak.
Bahkan dalam beberapa tahun terakhir sektarianisme intra-Sunni, intra-Syi’ah
dan antar-Sunni-Syiah malah kian meruyak, mendegradasi citra Islam dan kaum
Muslim secara keseluruhan.
Kedua, secara simultan perlu pengembangan dan penguatan pemahaman
dan pengamalan Islam wasathiyah. Hanya dengan Islam wasathiyah, Islam dan kaum
Muslim dapat tampil secara tawasuth, tawazun, dan ta’adul. Hanya dengan Islam
wasathiyah, kaum Muslimin dapat mengembangkan budaya toleransi (tasamuh), dan
damai (salam) baik sesama Muslim maupun dengan non-Muslim.
Hanya dengan budaya religio-sosial dan politik damai, Islam dan
kaum Muslim punya masa depan. Jika tidak, kaum Muslim terus terjerambab ke
dalam abyss atau yang disebut Buya Syafii Maarif sebagai ‘limbo sejarah’,
lubang dalam yang gelap di masa lalu, masa kini dan masa depan. []
REPUBLIKA, 06 October 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA
(Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar