Islam, Benny Moerdani
dan Politik Militer Soeharto
Penulis
: Salim Haji Said
Judul
: Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Orde Baru
Penerbit : Mizan,
Agustus 2016
ISBN
: 978-979-433-952-7
Peresensi
: Munawir Aziz, Peneliti
Islam dan Kebangsaan, bergiat di Gerakan Islam Cinta dan PPM Aswaja.
Bagaimana Islam
dipahami oleh pemerintahan Soeharto, yang disokong kekuatan penuh militer?
Serta, bagaimana militer melihat Islam sebagai kekuatan di tengah keragaman
bangsa Indonesia? Buku ini, 'Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter
Soeharto (Mizan, 2016)', yang ditulis wartawan senior dan diplomat, Salim Haji
Said, berhasil memberikan perspektif baru tentang bagaimana militer dan
pemerintahan Orde Baru memandang Islam.
Dalam buku ini, Salim
Haji Said berusaha mengkonstruksi tiang utama pemerintahan otoriter Orde Baru,
yang dikuatkan oleh barisan militer. Komando militer, menjadi andalan utama
Soeharto dengan Benny Moerdani sebagai orang kepercayaannya. Melalui
serangkaian wawancara, pengamatan dan penggalian arsip, Salim Said menggali
latar belakang di balik strategi politik Benny Moerdani yang mendulang
kebencian di kalangan umat muslim. Bagaimana kebijakan Benny terhadap kaum
muslim Indonesia? "Setelah mempelajari latar belakang perwira-perwira itu,
saya berkesimpulan, bahwa yang dicurigai Benny dan perwira-perwira di
sekitarnya, serta pengikutnya adalah mereka yang ditengarai menonjol
keislamannya, misalnya dengan mengirimkan anak ke pesantren kilat pada masa
libur atau sering menghadiri pengajian" (hal. 98).
Dalam catatan Salim
Said, kelompok perwira militer yang berlatar belakang militer akan mendapatkan
diskriminasi dalam karir dan pendidikan. Mayor Jenderal TNI Edi Budianto, dalam
kisah yang ditulis Salim Said, pernah dianggap sebagai fundamentalis. Mengapa
demikian? Benny Moerdani menganggap Edi Budianto sebagai fundamentalis, hanya
karena menyekolahkan anak gadisnya ke pesantren kilat semasa libur.
Benny juga punya
metode untuk memilah dan menggariskan cara berpikir anak buahnya. Dalam tes
bagi perwira untuk pendidikan militer lanjutan, dicantumkan pertanyaan tentang
apakah perwira yang beragama Islam bersedia menerima pemuda non-Muslim sebagai
suami bagi anak gadisnya? Jika jawaban yang diberikan adalah perlu iman yang
sama, maka perwira tersebut bisa dipastikan akan mendapat nasib yang buruk
(hal. 99).
Soeharto sebagai Raja
Dalam buku ini,
pembaca bisa melihat bagaimaan sisi-sisi lain dari hubungan militer, Soeharto
dan kelompok muslim terjadi. Meski Soeharto memandang Islam sebagai kekuatan
utama, tapi dia berusaha menjaga kekuasaan dengan mengokohkan barisan militer.
Para tokoh muslim hanya menjadi alat kekuasaanya, terutama ketika munculnya
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) sebagai lembaga yang didukung oleh
Soeharto. Buku ini, juga merekam bagaimana Soeharto secara licin menggunakan
strategi politik adu-domba terhadap orang-orang di sekelilingnya. Untuk apa?
Tidak lain, adalah untuk mempertahankan kekuasaan.
Benny Moerdani sosok
kontroversial dalam sejarah militer di negeri ini. Di panggung politik, Benny
Moerdani memerankan body guard yang mengamankan lapis internal kekuasaan
Soeharto. Benny juga mengawasi gerak-gerik keluarga Soeharto, untuk memastikan
mereka aman. Dalam hubungannya dengan Islam, Benny sering dianggap sebagai
musuh politik kaum muslim. Terlebih, insiden Tanjung Priok menjadi puncak
kebencian mayoritas kaum muslim terhadap Benny.
Akan tetapi, kisah
menarik diperankan Benny dengan Gus Dur. Kisah persahabatan dua tokoh ini,
diliputi misteri: antara persahabatan dan permusuhan, antara percaya dan
curiga. Ketika Benny dikritik dan dihujam kebencian kaum muslim, Gus Dur
mengajak Benny untuk keliling pesantren, sowan ke beberapa kiai sepuh, dan mengenalkan
dunia santri kepada Jenderal Benny. Padahal, beberapa tahun silam, ketika
Soeharto mengintervensi kaum santri, hingga pada pemilihan Ketua Umum PBNU,
Benny lah yang menjadi komandan lapangan untuk melakukan operasi melemahkan NU
dan pesantren, khususnya pada Muktamar 1987 di Asembagus, Situbondo.
Namun, Gus Dur
memaafkan Benny dengan mengajaknya bersafari ke pesantren-pesantren, ketika
posisi Sang Jenderal sedang terjepit. Mengenai Benny, Gus Dur menulis:
"Sebagian teman menyatakan kepada penulis, bahwa Benny Moerdani adalah
musuh Islam yang sesungguhnya, tapi penulis berkesimpulan itu sebagai sesuatu
yang salah. Justru, Pak Benny adalah orang yang melaksanakan pola hubungan
negara dan agama seharusnya. Di antaranya, dia memegang pendiriannya bahwa harus
ada perbedaan tegas antara mana yang menjadi tanggungjawab negara dan mana
milik negara itu sendiri" ungkap Gus Dur, dalam buku LB Moerdani: Langkah
dan Perjuangan (2005).
Buku karya Salim Haji
Said ini, melengkapi beberapa karyanya terdahulu: Dari Gestapu ke Reformasi:
Serangkaian Kesaksian (Mizan, 2013), dan Gestapu 65: PKI, Aidit, Soekarno dan
Soeharto (Mizan, 2015). Ulasan Salim Haji Said memiliki perspektif yang segar,
karena sebagai peneliti, wartawan dan diplomat, ia mampu menjangkau beberapa narasumber
kunci yang selama ini menjadi saksi sejarah dalam tubuh militer Indonesia. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar