Taat yang
Wajib tak Ditaati
Oleh: KH.
Hasyim Muzadi
Sudah
hampir setengah bulan, masyarakat Indonesia diharu biru oleh berita terkait
Taat Pribadi. Anak muda dari Probolinggo yang disapa oleh pengikutnya dengan
Dimas Kanjeng itu, menjadi bahan pemberitaan di berbagai media massa, baik
sosial maupun konvensional. Karena kedekatannya dengan makhluk gaib beraura
negatif, Taat disebut bisa melakukan apa saja yang tak bisa dilakukan orang
biasa. Dari ke mulut ke mulut, Taat menjelma manusia super.
Karena
kemampuannya itu pula,Taat ditaati. Perintahnya didengar. Tindak tanduknya
ditiru. Apa saja yang datang darinya dianggap sabda dan titah. Maka dalam
sekejab, konon, lebih dari sepuluh ribu orang mengalami dislokasi sosial dan
bergabung dengan Taat di Padepokan Dimas Kanjeng di Probolinggo Jawa Timur. Di
padepokan, mereka mengaku menemukan ketenangan dan kebahagiaan. Ketenangan yang
mereka tak temukan dalam keluarga dan lingkungannya.
Tak
main-main, para murid Taat datang dari beragam kelas sosial. Dari tataran elite
hingga kaum alit. Dari mantan tentara hingga tentara aktif. Dari mantan kepala
dinas hingga PNS biasa. Dari tokoh berjuluk doktor hingga dokter yang secara
berkala secara taat mengambil sampel darah Taat. Ribuan orang itu merasa takjub
saat baju kebesaran-(terlalu besar) Taat menyemburkan uang yang konon mencapai
Rp 1 T lebih ! Sungguh kehidupan hedonis yang sudah akut.
Ketika
diundang Bang Karni Ilyas ke acara Indonesia Lawyer Club (ILC) awal pekan ini,
secara gamblang, penulis sudah jelaskan ; fenomena apa sebenarnya ini. Setelah
menyimak berbagai perkembangan di lapangan, dari membaca berita, dan mendengar
keterangan berbagai pihak, sampailah pada kesimpulan : ini adalah fenomena
penipuan. Taat, dengan segala laskarnya, adalah gerombolan penipu. Menistakan
hati nurani kita sebagai bangsa yang relijius.
Karena
pikiran, tindakan dan kata-katanya tak ada landasannya dalam tataran teologis
dan konstitusional, maka Taat tidak wajib ditaati. Ia justeru wajib dihindari.
Taat kepada Taat adalah ketaatan yang batal karena Taat secara terang-terangan
telah bermaksiat kepada Allah SWT. Melalui kolom refleksi di HU Republika ini,
Penulis ingin mengajak saudara-saudara yang sudah terjerat untuk segera pulang.
Hindari bersikap taat kepada Taat yang tidak taat kepada Allah SWT.
Pulang ke
jalan yang benar. Jalan yang dtuntunkan oleh agama. Jalan yang dibenarkan oleh
konstitusi negara. Jika dikritisi dari perspektif ajaran agama, tindakan Taat
lebih mendekati sebuah praktek perdukunan ketimbang sebuah karomah. Dalam
agama, perdukunan memang ssejak lama sudah dikenal. Sebutlah dukun bayi dan
dukun pijat. Beberapa, bahkan ada yang diberikan kelebihan oleh Allah SWT.
Begitu
pula ramalan. Ramalan memang ada tetapi akan menjadi salah kaprah jika ramalan
itu digunakan untuk meramal nasib orang. Memang ada orang yang diizinkan
melihat hal-hal yang bakal terjadi di masa depan, tapi Allah tidak mengizinkan
pemilik “nikmat” syahadah itu untuk mengemukakan apa yang diketahuinya
kepada masyarakat awam. Jika menggunakan ukuran ilmu agama, maka persoalan Taat
Pribadi tak lebih dari sejenis perdukunan makhluk gaib.
Makhluk
gaib itu sendiri bisa barasal dari bangsa jin, syaitan, dan malaikat. Jika
menggunakan ukuran ini, maka untuk meminta bantuan atau bekerja sama dengan
malaikat tentu saja tidak mungkin. Sebab, para malaikat diciptakan hanya
mengikuti perintah Allah. Tidak punya kemampuan melawan apalagi bermaksiat.
Tapi bila bekerja sama dengan syaitan maka syaitan akan meminta upah yang lebih
banyak lagi.
Upahnya
bisa dengan mengorbankan binatang bahkan nyawa orang dijadikan sebagai tumbal.
Bagaimana jika bekerjama atau meminta bantuan dari bangsa Jin ? Itu juga
mungkin terjadi. Terlebih di dalam ajaran agama disebutkan ada jin muslim dan
jin kafir. Namun, baik-baiknya jin tetap saja jin akan minta dirawat oleh
tuannya jika tidak ingin keluarganya diganggu. Selanjutnya jika diterpomong
dari segi karomah, Taat Pribadi tak memenuhi kualifikasi untuk itu.
Karomah
diberikan, bukan dengan istilah diperoleh karena tidak ada wali Allah yang
berharap karomah selain mnerima semua ketatapan-Nya, kepada orang-orang
pilihan. Orang-orang yang dianugerahi karomah, menghiasi hidupnya dengan
kesalehan. Bukan dimulai dari perbuatan-perbuatan yang tidak dapat dibenarkan
oleh agama ; seperti perbuatan menggandakan uang, misalnya.
Meskipun
ada pihak-pihak yang menginginkan dilakukan pembuktian secara ilmiah, tetap
saja kecerdasan otak bukanlah segalanya. Kecerdasan intelektula maish sangat
bergantung kepada kejiwaan. Ketika kejiwaan mengalami kegoncangan, maka
keceradasan intelektua juga akan mengalami goncangan. Lihatlah bagaimana
seseorang dengan titel akademik mentereng bisa mendadak menjadi bukan
siapa-siapa ketika pulang ke rumah dan bertengkar dengan isterinya.
Kemegahan
intelektualisme bisa berguncang keras karena terjadinya instabilitas rohani.
Instabilitas rohani akan menjadi sumber dari beragam penyakit lain, baik
penyakit intelaktualisme maupun penyakit badani. Dalam konteks Taat Pribani,
kita hanya mungkin menggunakan dua pendekatan. Pendekatan agama dan pendekatan
Negara. Sudah jelas, dari sisi agama, perbuatan Taat dan kelompok nyata-nyata
sebuah penistaan. Menista agama adalah menista ajaran Tuhan.
Sementara
dari sisi Negara, tindakan mengadakan atau menggadakan uang, adalah bentuk
pelanggaran pidana. Sebab, menurut peraturan yang ada, hanya Bank Sentral
sajalah yang memiliki kewenangan membuat dan mencetak uang. Kalau ada pihak,
orang, atau lembaga yang mencetak uang, maka ia telah mengambil kewenangan Bank
Sentral. Mengambil kewenangan Bank Sentral dalam mencetak uang ; jelas-jelas
sebuah tindak pidana.
Satu yang
jelas ; fenomena Taat Pribadi bukan yang pertama kali terjadi. Ia sudah
mewarnai perjalanan kehidupan kenegaraan, kemasyarakatan dan keagamaan bangsa
Indonesia. Kondiis ini bisa menerjang seperti bah jika masyakarat tengah sakit.
Karena sakit itulah, Taat Pribadi dengan kemampuan layaknya jin dan gerakan
syaithoniyah-nya, membuat sakit masyarakat bertambah parah. Tak ada obat yang
paling tepat kecuali memulangkan semua urusan hanya kepada Allah SWT. Wallaahu
A’lamu Bishshowab. []
REPUBLIKA,
09 Oktober 2016
KH. A. Hasyim Muzadi | Mantan Ketua Umum PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar