Pemuda Berkecerdasan Kewargaan
Oleh: Yudi Latif
"AKHIRNYA," tulis Ben Anderson, 'saya percaya bahwa
watak khas dan arah dari revolusi Indonesia pada permulaannya memang ditentukan
oleh 'kesadaran pemuda' ini." Mohammad Hatta, sebagai pengamat yang
terlibat, mengajukan pertanyaan retoris, "Apa sebabnya pemuda-pemuda,
mahasiswa Indonesia, secara aktif ikut berpolitik?" Lantas ia jawab
sendiri, "Kalau mahasiswa Belanda, Prancis, dan Inggris menikmati
sepenuhnya usia muda yang serbamenggembirakan, pemuda Indonesia harus
mempersiapkan diri untuk suatu tugas yang menuntut syarat-syarat lain.
Tidak ada jalan lain yang sudah siap dirintis baginya; tidak ada
lowongan pekerjaan yang sudah disiapkan baginya. Sebaliknya, dia harus
membangun mulai dari bawah, di tengah-tengah suasana yang serbasukar, di
tengah-tengah pertarungan yang penuh dendam dan kebencian. Perjuangan
kemerdekaan yang berat membayang di depannya, membuat dia menjadi orang yang
cepat tua dan serius untuk usianya."
Kesadaran revolusioner kaum muda Indonesia itu tidaklah jatuh dari
langit, tetapi sengaja diusahakan melalui penaburan benih-benih kecerdasan yang
disemai di ruang publik. Memasuki dekade kedua abad ke-20, generasi baru, yang
terdidik secara baru, melahirkan kesadaran baru bahwa untuk masa yang panjang
Bumiputera hidup bagaikan katak dalam tempurung, dan tempurung itu dipercaya
sebagai langit luas. Mereka melihat dengan mata sendiri kesengsaraan yang
diderita oleh massa rakyat, dan menyadari sepenuhnya bahwa 'senjata' lama
dengan impian ratu adilnya tak lagi memadai sebagai sarana perjuangan.
Generasi baru tampil dengan menawarkan 'senjata' baru, cara
pengucapan baru, dan karisma pengubah sejarah yang baru. Senjata itu bernama
kecerdasan dan ilmu (ideologi). Manakala elemen-elemen kemapanan menyeru pada
'kejumudan' dan 'kesempitan', kaum muda menerobosnya dengan menawarkan ide-ide
progresif dan semangat republikanisme yang lebar dan inklusif.
Dengan kecerdasan dan ideologi, generasi baru menyadari bahwa
rakyat Indonesia dengan pecahan-pecahan yang banyak dan beraneka tak mungkin
bisa dijumlahkan menjadi kebersamaan jika tidak memiliki 'bilangan penyebut'
yang sama. Perjuangan dari keragaman posisi subjek memerlukan titik temu
(common denominator). Penyebut bersama sebagai titik temu itu mereka temukan
dalam nama Indonesia, dengan imaji komunitas bersama yang dikonstruksikan
melalui Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928: bertumpah darah satu, tanah air
Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia; menjunjung bahasa persatuan, bahasa
Indonesia.
Dalam menggagas imaji kebangsaan baru itu, Sumpah Pemuda berisi
kecerdasan pembongkaran kreatif (creative destruction). Menerobos kecenderungan
serbaragu, konformis, parokialis, dan status quois dari generasi tua, para
pemuda-pelajar, yang semuanya berusia di bawah 30 tahun itu, datang dengan etos
kreatif. Etos kreatif ini, seperti dilukiskan Margaret Boden dalam The Creative
Mind (1968), bersendikan kecerdasan dengan kepercayaan diri dan kesanggupan
menanggung risiko sehingga memiliki kemampuan untuk mendekonstruksi bangunan
lama demi konstruksi baru yang lebih baik.
Sumpah Pemuda itu juga berisi tekad dari suatu kaum yang progresif
bahwa pendefinisi utama pemuda itu bukanlah usia, melainkan situasi mental
kejiwaan (state of mind). Dalam ungkapan Samuel Ullman, "Pemuda bukanlah
persoalan lutut yang lentur, bibir merah, dan pipi yang berona kemerahan;
melainkan masalah tekad, kualitas imaginasi, kekuatan emosi; kesegaran musim
semi kehidupan."
Sumpah Pemuda itu berisi kebesaran. Kebesaran jiwa yang mengatasi
kekerdilan kepentingan sempit demi kebaikan hidup bersama. Meski Jawa merupakan
bahasa dengan jumlah penutur paling banyak, dan pemuda-pelajar yang menghadiri
Kongres Pemuda itu juga banyak yang berasal dari Tanah Jawa, bahasa Jawa tidak
dipilih sebagai bahasa persatuan. Demi mengusung gagasan kebangsaan yang
egaliter, mereka sepakat menjadikan bahasa melayu-Indonesia sebagai bahasa
persatuan.
Sumpah Pemuda itu berisi keluasan. Keluasan horizon imajinasi
kebangsaan yang mengatasi kesempitan primordialisme agama dan kedaerahan. Di
bawah payung 'nasionalisme kewargaan', segala kesempitan dan keragaman
dipertautkan ke dalam keluasan imaji keindonesiaan. Kesanggupan
mentransendensikan kesempitan etnosentrisme menuju keluasan solidaritas
kebangsaan itu pada akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu
gerbang kemerdekaannya.
Elan vital jiwa Sumpah Pemuda itu sangat penting kita bangkitkan
manakala kehidupan publik-kenegaraan saat ini cenderung mengabaikan kecerdasan.
Kehormatan pikiran kembali dihinakan politik dinasti dan kekuatan uang, yang
membawa mediokritas dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan merajalelanya
mediokritas, etos kreatif dan ekonomi kreatif sebagai basis daya saing global
pada era pascaindustri tak bisa berkembang secara kondusif.
Dengan peluluhan daya pikir, kelebaran semangat nasionalisme
kewargaan juga disempitkan kembali oleh semangat partaiisme, tribalisme,
koncoisme, fundamentalisme, dan daerahisme. Dalam situasi demikian, proyek
nasionalisme kewargaan yang digagas Sumpah Pemuda berjalan surut ke belakang.
Kita dihadapkan pada situasi yang pahit, harus menerima nubuat dari Edward
Shils, "Kendati intelektual negara-negara terbelakang telah menciptakan
ide tentang bangsa di negeri mereka sendiri, mereka belum sanggup mencipta
sebuah bangsa. Mereka sendiri adalah korban dari kondisi itu karena
nasionalisme tidak dengan sendirinya menjelmakan semangat kewargaan."
Gerak mundur keindonesiaan sebagai kebangsaan yang tidak
mewujudkan kewargaan itu sangat tampak dari melemahnya jati diri manusia
Indonesia dalam aspek kedirian yang bersifat publik bahwa pribadi yang baik
tidak dengan sendirinya menjadi warga negara dan penyelenggara negara yang
baik. Kita juga bisa menyaksikan hampir semua hal yang bersifat kolektif
mengalami dekadensi: partai politik sakit, lembaga perwakilan sakit, birokrasi
sakit, aparatur penegak hukum dan keamanan-pertahanan sakit, bahkan
organisasi-organisasi keagamaan yang berskala besar pun mulai menunjukkan
gejala sakit.
Krisis pada kedirian yang bersifat publik ini mencerminkan
kegagalan pembangunan bangsa dalam mengembangkan 'kecerdasan kewargaan' (civic
intelligence). Pendidikan terlalu menekankan kecerdasan personal, dengan
mengabaikan usaha mempertautkan keragaman kecerdasan personal itu ke dalam
kecerdasan kolektif-kewargaan. Setiap individu dibiarkan menjadi deret 'huruf'
alfabet tanpa disusun secara kesatuan dalam perbedaan (Bhinneka Tunggal Ika) ke
dalam 'kata' dan 'kalimat' bersama. Akibatnya, banyak manusia baik dan cerdas
tidak menjadi warga negara dan penyelenggara negara yang baik dan cerdas (sadar
akan kewajiban dan haknya).
Padahal, pengembangan 'kecerdasan kewargaan' lebih fundamental
bagi suatu bangsa yang ingin membebaskan diri dari kolonisasi individualisme.
Berbeda dengan individualisme, Pancasila memandang, dengan segala kemuliaan
eksistensi dan hak asasinya, setiap pribadi manusia tidaklah bisa berdiri
sendiri terkucil dari keberadaan yang lain. Setiap pribadi membentuk dan
dibentuk jaringan relasi sosial. Semua manusia, kecuali mereka yang hidup di
bawah keadaan yang sangat luar biasa, bergantung pada bentuk-bentuk kerja sama
dan kolaborasi dengan sesama yang memungkinkan manusia dapat mengembangkan
potensi kemanusiaannya dan dalam mengamankan kondisi-kondisi material dasar
untuk melanjutkan kehidupan dan keturunannya.
Kebajikan individu hanya mencapai pertumbuhannya yang optimum
dalam kolektivitas yang baik. Oleh karena itu, pengembangan jati diri bukan
saja harus memberi wahana kepada setiap individu untuk mengenali siapa dirinya
sebagai 'perwujudan khusus' ('diferensiasi') dari alam. Pengembangan jati diri
juga harus memberi wahana setiap orang untuk mengenali dan mengembangkan
kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku
bersama yang terkristalisasi dalam Pancasila.
Pancasila sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem
prilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat
menentukan apakah disposisi karakter perseorangan berkembang menjadi lebih baik
atau lebih buruk. Maka dari itu, pengembangan 'kecerdasan kewargaan' berbasis
Pancasila merupakan kunci integrasi dan kemajuan bangsa. Namun, persis pada
titik itulah simpul terlemah dari proses pendidikan dan pembangunan selama ini.
Peringatan Hari Sumpah Pemuda harus dijadikan momentum untuk mengembalikan
trayek kebangsaan Indonesia pada rel nasionalisme kewargaan, dengan
mengembangkan 'kecerdasan kewargaan' berjiwa Pancasila. []
MEDIA INDONESIA, 28 October 2016
Yudi Latif | Cendekiawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar