Universitas Patangpuluhan
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Agak berlebihan-lah tujuh orang itu. Memang bisa saja ada
kemungkinan seseorang tidur tapi mendengar dan belajar. Ada perangkat-perangkat
tertentu di dalam sistem kesadarannya yang tetap bekerja meskipun resminya ia
sedang tidur. Markesot sendiri ketika dituduh oleh sejumlah orang bahwa ia
seorang pemikir, ia membantah.
“Saya bukan pemikir. Sama sekali bukan. Sebab yang berpikir adalah
akal saya yang mendayagunakan otak. Yang mengerjakan pemikiran bukanlah saya,
melainkan kerjasama jasad otak di bawah ubun-ubun saya, dengan pendaran magnet
hidayah dari Tuhan yang menembus batok kepala saya”.
Tapi lupakan itu. Biasa, Markesot sok makrifat. Juga yang tidur
dan mengigau biarkan terus menjalani kedaulatannya untuk tidur dan mengigau.
Tujuh teman Markesot ini tadi sudah dicampakkan masuk ke ‘hutan belantara
Indonesia dan Dunia’, tiba-tiba diputus arus listriknya oleh Markesot. Kalang
kabut hati dan pikiran mereka. Sampai terengah-engah nafas di dada mereka.
Berdasarkan urutan tulisan-tulisan, hutan belantara itu harus
segera diteruskan dengan ‘Hujan Deras Tidak Basah Kuyup’, ‘Bismillah Lompat
Masuk’, ‘Persaudaraan dengan Hujan’, ‘Tuhan Berakibat Sorga’, ‘Hujan
Berputar-putar Abadi’ dan seterusnya. Semua itu tak sengaja bersambung tema dan
nuansanya satu sama lain.
Tidak karena kencan untuk itu. Tetapi karena empat puluh orang itu
memang bertahun-tahun mengalami pembiasaan penyatuan hati. Seberagam apapun
pikiran, kesibukan pekerjaan dan pengalamannya, tetapi mereka selalu menyatu di
area jiwa yang lebih dalam.
Kalau Markesot seenaknya menghentikan kesatuan rangkaian itu, bisa
merusak irama, komposisi dan aransemen urat-urat saraf tujub orang yang sudah
sangat khusyuk sejak awal tadi.
***
Salah satu dari tujuh orang itu tidak tahan untuk tidak protes
kepada Markesot. Tetapi sebelum mulutnya membuka, dilihatnya Markesot malah
tertidur di pojok ruang. Mendadak saja tidur lelap sambil duduk. Padahal gema
ledakan cambuk dan suara tertawanya belum lenyap dari telinga tujuh temannya.
Tujuh teman itu berpandangan satu sama lain. Kemudian bersama-sama
mereka tertawa terpingkal-pingkal.
Sangat bahagia. Memang beginilah Universitas Patangpuluhan.
Suasananya. Nuansanya. Pola interaksinya. Komposisi nilai-nilainya.
Dimensi-dimensi yang baku, yang baru, yang mengejutkan, yang aneh, yang liar.
Iklim Universitas Patangpuluhan menyeret setiap penghuninya untuk menemukan
yang paling hidup dari kehidupan. Yang paling luas dari keluasan dan paling
dalam dari kedalaman.
Universitas Patangpuluhan seakan punya ‘kedung kahuripan’ atau
sumber daya hidup yang sangat sukar ditemukan di universitas yang secara resmi
benar-benar universitas. Bukankah orang-orang di Pasar Patangpuluhan pun mafhum
bahwa rumah hitam di belakang area pasar itu sama sekali bukan gedung Sekolah,
apalagi Universitas. Melainkan tempat mangkalnya orang-orang atau entah siapa
saja yang tidak jelas.
Rumah hitam yang pintunya tak pernah ditutup. Yang orang-orang
berdatangan tanpa ukuran waktu, siang, malam, tengah malam, menjelang Subuh,
sesudah subuh, terus-menerus. Orang-orang kecopetan di Stasiun Kereta atau
Terminal Bus parkir di situ. Orang-orang frustrasi mau bunuh ini itu mendarat
di bawah pohon waru depan rumah hitam itu. Orang sakit, orang gila, gelandangan
dari luar kota, macam-macam makhluk lainnya, bercengkerama di naungan kehitaman
rumah itu.
***
Mungkin terasa agak muluk-muluk. Tapi memang ciri komunitas
Markesot adalah pendidikan kedaulatan diri. Menemukan sejarah diri. Asal usul
diri. Sangkan diri dan paran diri. Dari mana diri ke mana diri. Tidak dibatasi
‘pakai’ Tuhan atau tidak.
Tidak disarankan untuk memilah antara alam dengan kebudayaan.
Tidak diharuskan untuk memulai sejarah itu dari kurun sebelum alam diciptakan.
Boleh cukup dimulai dari Ibu Bapaknya, atau klan keluarganya, suku-nya, atau
‘wiwitan’ kebangsaannya.
Bahkan masing-masing berdaulat untuk melandasi tulisannya dari
pandangan yang sesubyektif apapun. Misalnya bahwa dulu setiap manusia
menciptakan dirinya sendiri, sehingga sejak awal hingga akhir kelak ia
menggenggam hak asasi dirinya sendiri.
Manusia punya kebebasan untuk memenggal asal-usulnya dengan kedua
orang tuanya, termasuk dengan manusia yang pertama dahulu kala. Manusia
berdaulat untuk mengklaim hak asasinya dan tidak ada urusan atau ikatan dengan
kewajibannya kepada sesama manusia, alam lingkungannya serta bumi tempat
tinggalnya.
Empat puluh orang yang berkumpul di Patangpuluhan itu sepenuhnya
berdaulat atas diri dan setiap keputusan yang diambilnya. Kedaulatan diri itu
nanti mungkin berjumpa dengan nilai-nilai, dengan benar atau salah, rasional
atau tidak nalar, baik atau buruk, pas atau melenceng, bermanfaat atau sia-sia.
Dan bermacam nilai-nilai lainnya. Tapi itu nanti. Sekarang urusannya berdaulat
atas diri masing-masing terlebih dulu.
***
Siapakah sebenarnya empat puluh orang, empat puluh teman, empat
puluh anak itu? Barang siapa pernah sedikit tahu gambaran sosok Markesot,
mestinya bisa mengidentifikasi juga siapa empat puluh makhluk yang berada di
sekitarnya.
Markesot mungkin bisa menjadi salah satu contoh tipologis manusia
Negeri Katulistiwa. Manusia-manusia komplit meskipun kebanyakan masih pada
tingkat potensial-embrional. Orang yang secara alamiah memiliki ragam bakat,
multi-talent, komprehensif dan luwes mengatasi pembidangan-pembidangan.
Terampil untuk melakukan banyak hal sekaligus. Secara keseluruhan sebenarnya
tinggal satu-dua langkah bagi mereka ini untuk menjadi seperti yang di jaman
dulu pernah digambarkan sebagai “manusia seutuhnya”.
Markesot sendiri sangat komplit, sampai-sampai tidak jelas yang
mana yang Markesot. Bukan tipologi manusia spesialistik, meskipun tidak berarti
di dalam proses hidup mereka harus kalah dengan jenis manusia-spesialistik.
Tapi sekaligus ragam bakatnya itu bisa justru menjadi halangan banyak di antara
mereka. Mampu melakukan banyak hal, sehingga sukar menentukan satu hal untuk
ditekuni. Akhirnya tidak mencapai satu hal pun, karena banyak bakatnya itu
dilakukan semua tapi setengah-setengah.
Terus terang, meskipun tolong tidak usah diucapkan ini dengan
menyolok di depan siapapun saja, sesungguhnya bagi pandangan umum: Markesot
termasuk contoh manusia yang gagal seperti itu. Tampak mampu melakukan banyak
hal, tapi ternyata tidak ada satu halpun yang ia fokus dan tekun. Jadinya
Markesot tidak mencapai dan tidak menjadi apa-apa. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar