G-30-S
PKI 1965
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Ada yang
patut diingat pada bulan September-Oktober, 51 tahun yang lalu: sebuah tragedi
nasional berupa pemberontakan G-30-S PKI 1965. Bahwa bangsa ini harus secara
berangsur menghilangkan beban sejarah masa lampau, saya setuju. Sebab, jika
tidak demikian, akan sulit bagi kita untuk membangun masa depan dengan mantap
dan percaya diri jika kedua kaki kita masih tetap saja terseret oleh kelampauan
yang sarat dengan berbagai masalah konflik politik yang berdarah yang nyaris
saja memorak-porandakan bangsa dan negara muda ini.
Konflik
ini telah terjadi berkali-kali, baik yang berkala nasional maupun lokal, dengan
ongkos sosial yang tinggi. G-30-S PKI 1965 termasuk yang mengguncang bangsa dan
negara ini secara nasional. Gerakan lain yang memakai Islam, seperti DI/TII
juga telah melukai bangsa ini yang pada akhirnya harus ditumpas habis pada 1962
oleh Pemerintah Sukarno dengan dihukum matinya pemimpin puncaknya Sukarmadji
Maridjan Kartosuwirjo, teman lamanya saat nyantri di rumah HOS
Tjokroaminoto di Surabaya tahun 1920-an.
Mengapa
Resonansi ini masih mencantumkan PKI, sementara ada pihak yang sudah berupaya
keras untuk menghapus nama partai itu? Bagi saya yang mengalami sendiri era
yang penuh konflik itu akan menjadi sebuah rekayasa sesat untuk memisahkan PKI
dengan Gerakan 30 September 1965 itu. Tidak mungkin seorang DN Aidit sebagai
ketua CC PKI bergerak sendirian tanpa sepengetahuan anggota CC yang lain. Anwar
Sanusi, anggota CC yang lain, misalnya, pernah mengatakan beberapa bulan
sebelum peristiwa itu bahwa ibu pertiwi sedang hamil tua. Tinggal menanti sang
bidan untuk menyambut kelahiran bayi yang bakal lahir.
Tafsiran
saya bahwa bayi itu tidak lain dari sistem kekuasaan di Indonesia akan
sepenuhnya dikendalikan oleh PKI, sebagaimana Muso telah melakukannya di Madiun
pada 18 September 1948 dengan mendirikan Republik Soviet di kota itu. Gerakan
Muso ini dihadapi dengan tegas oleh Pemerintah Sukarno-Hatta. Dalam tempo
kurang dari tiga bulan, Gerakan Muso ini telah berhasil dilumpuhkan, khususnya
oleh pasukan Siliwangi yang sengaja didatangkan. Divisi ini memang dikenal
sebagai kekuatan yang sangat antikomunis dibandingkan dengan divisi yang lain.
Berbeda
dengan G-30-S PKI, Gerakan Muso tidak menyebabkan PKI dibubarkan pemerintah
karena memang tidak seluruh aparat partai terlibat. Situasi sejarah pada akhir
1965 dan awal 1966 sungguh berbeda dengan tahun 1948. Jika tahun 1948 Bung
Karno mengambil sikap tegas untuk melumpuhkan Gerakan Muso dengan ungkapan:
pilih Muso atau pilih Sukarno-Hatta. Pada 1965, Bung Karno dinilai tidak tegas
memenuhi tuntutan rakyat agar PKI dibubarkan. Sikap inilah yang menjadi sebab
utama mengapa kemudian kekuasaan Bung Karno diambil alih oleh MPRS untuk
selanjutnya diberikan kepada Jenderal Soeharto. Dengan senjata Supersemar
(Surat Perintah 11 Maret 1966), pada 12 Maret 1966, PKI resmi dibubarkan yang
kemudian dikukuhkan oleh TAP MPRS.
Orang
boleh berdebat panjang tentang G-30-S PKI ini. Tetapi, satu yang sudah pasti:
sengaja menghapus jejak PKI dalam tragedi ini sama dengan menipu bangsa ini
dengan tujuan politik yang minus kearifan. Adapun tindakan keras aparat
kemudian terhadap mereka yang dituduh sebagai pengikut PKI adalah masalah lain
yang harus diselesaikan secara adil dan beradab. Masalah ini jangan dibiarkan
menggantung terlalu lama. Korbannya cukup banyak. Mereka meminta keadilan.
Untuk
sebuah masa depan yang lebih adil, tidak ada jalan lain kecuali perdamaian
nasional wajib diwujudkan dalam tempo dekat. Oleh sebab itu, kultur saling
memaafkan di antara sesama anak bangsa adalah cara terbaik untuk menjamin
keutuhan Indonesia bagi kepentingan generasi yang akan datang. Generasi ini
harus terbebas dari beban sejarah akibat kesalahan dan kelalaian nenek
moyangnya, kita semua, generasi yang pasti berlalu.
Dengan
jalan ini, siapa tahu bangsa dan negara ini akan bertahan lama dengan syarat:
konkretisasi sila keadilan sosial harus dirasakan oleh semua warga, tanpa
kecuali, tanpa melihat latar belakang agama dan afiliasi politiknya! []
REPUBLIKA,
04 Oktober 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar