Mengarungi Samudra
Sufisme Gus Dur
Judul
Buku : Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus
Penulis
: KH. Husein Muhammad
Penerbit
: Noura Books, Februari 2016
ISBN
: 978-602-385-009-9
Peresensi
: Munawir Aziz, bergiat di Gerakan Islam Cinta (@munawiraziz)
Bagaimana sosok KH.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam tradisi
pesantren negeri ini? Kisah dua tokoh ini, Gus Dur dan Gus Mus, adalah kisah
tentang persahabatan, persaudaraan dan kerja keras pembelajar. Gus Dur
sudah diketahui publik sebagai pembelajar sejati, yang tidak pernah
meninggalkan ruang kosong dalam hidupnya. Hidup Gus Dur adalah ilmu tanpa
batas. Segala sikap, pemikiran dan geraknya adalah ilmu. Beliau memiliki
perspektif luas tentang keindonesiaan, kebangsaan, pesantren dan dunia Islam.
Sementara, Gus Mus
merupakan kawan dekat Gus Dur yang sehati dengannya. Sosok Gus Mus menjadi
referensi bagi muslim Indonesia saat ini. Bahkan, pemikiran Gus Mus juga
menjadi bahan pertimbangan, pemantik diskusi dan penebar kedamaian di pelbagai
kawasan. Sosok Gus Dur dan Gus Mus tidak hanya milik muslim Indonesia. Mereka
berdua adalah milik warga dunia.
Gus Dur Sang
Pembelajar
Lalu, bagaimana
keduanya dipahami sebagai rangkaian gagasan? Bagaimana sikap, perspektif dan
gerakan Gus Dur-Gus Mus ini diresapi oleh warga negeri ini? KH. Husein Muhammad
menjelaskan dengan jernih dan mengalir dalam buku 'Gus Dur dalam Obrolan Gus
Mus' ini. Lewat buku ini, Kiai Husein ingin menjelaskan pemikiran-pemikiran Gus
Dur melalui pantulan refleksi Gus Mus.
Sebagai sahabat dekat
Gus Dur, Gus Mus menyimpan mutiara kisah, kepingan memori, kenangan humor
terhadap sosok mantan presiden Indonesia itu. Ketika kuliah di Mesir, Gus
Mus-lah sosok yang sangat dekat dengan Gus Dur. Bahkan, Gus Mus sering diajak
untuk nonton film di beberapa bioskop di Mesir. Gus Dur, dengan ungkapan khas,
selalu bergerak untuk menikmati ilmu, menyerapnya dengan cara pandang pribadi,
dan merenungkan refleksi-refleksi yang segar terhadap ilmu tersebut.
Sementara, penulis
buku ini, Kiai Husein merupakan sosok yang juga dengan Gus Dur. Terutama, pada
akhir masa hidup Gus Dur. Kang Husein sering berdialog dengan Gus Dur di ndalem
Ciganjur.
Menurut Kiai Husein,
Gus Dur adalah orang yang sangat cerdik, sangat cerdas serta menguasai beragam
ilmu. Gus Dur juga memiliki pengetahuan yang sangat luas, serta terbuka pada
pengetahuan baru. Menurutnya, Gus Dur dianugerahi keistemewaan paripurna, yakni
weruh sak durunge winarah (mengetahui sebelum terjadi)".
Sufisme Gus Dur
Dalam catatan Kiai
Husein, para ulama besar memiliki keistimewaan semacam ini, semisal Abu Yazid
al-Busthami, Ibn 'Arabi dan Imam al-Ghazali. Bahkan, Ibn Arabi pernah mengungkapkan,
ketika menulis karya besarnya Futuhat al-Makiyyah: "Seluruh pikiran dalam
buku ini, lahir dari ilham yang terus mengaliri otakku,". Dalam renungan
Kiai Husein, para intelektual besar memperoleh anugrah berupa ilham dan
kewaskitaan, setelah melalui perenungan panjang, seraya menggunakan kejernihan
hati untuk memahami akar permasalahan dalam kehidupan.
Gus Dur, Maulana
Rumi, dan para wali Allah adalah orang-orang yang selama hidupnya diabdikan
untuk mencintai seluruh manusia, dengan tanpa pamrih apapun. Mereka memberikan
kebaikan karena semata-semata kebaikan itu sendiri, bukan karena mengharap
kebaikan itu kembali kepada dirinya. Menurut Kiai Husein, cara hidup seperti
ini diungkapkan dalam sebuah puisi indah, oleh sufi Ibn Athaillah as-Sakandari.
"tanamlah eksistensimu di bawah tanah yang tak dikenal. Sesuatu yang
tumbuh yang tak ditanam, tidak akan berbuah segar", begitu petuah penulis
mahakarya Al-Hikam.
Ketika membahas sosok
pribadi Gus Dur, Kiai Husein bertanya kepada Gus Mus. Namun, Gus Mus
melemparkan pertanyaan ini kepada Kiai Husein, yang dijawabnya begini:
"Kalau menurut saya begini, Gus. Pemetaanku mungkin salah, ya mohon maaf
dengan segala hormat. Gus Dur itu seorang pemikir, budayawan, seorang penulis
brilian, narasumber seminar yang laris, mengusai sastra prosais dan puisi Arab
serta Inggris, menyukai musik klasik dan mengerti, tetapi tidak atau sedikit
sekali menulis puisi. Kalaupun kadang menyanyi, suaranya menurutku kurang enak,
tidak merdu (hal. 165).
Dengan segala
kelebihan dan kekurangan sebagai manusia, Gus Dur menjadi panutan bagi semua
orang, Gus Dur menjadi guru sekaligus sahabat untuk memahami makna terdalam
kehidupan. Melalui buku ini, kita diajak untuk mengarungi samudra terdalam
spiritualitas Gus Dur, memahami makna cinta yang ditebarkan olehnya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar