Hak Asasi Kanker dan Benalu
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Jika tiba hari Jumat, ada desakan dari dalam diri keAdaman Yu Sumi
untuk ikut berjamaah shalat Jumat. Tapi itu akan membingungkan semua orang dan
pasti menjadi sumber pertengkaran masyarakat. Maka ia duduk di balik rerimbunan
daun-daun di belakang masjid. Ia mendengarkan khotbah dan merenung.
Penggalan kisah sederhana ini kuperuntukkan bagi anak cucuku dan
para jm, karena masyarakat umum tidak memerlukan butiran kecil ilmu dan
pengetahuan yang tidak istimewa. Jadi anak cucuku dan para jm simpan sendiri saja.
Ketika itu belum ada khotbah yang menyebarkan kebencian dan
kutukan. Belum ada khotib yang merasa dirinya selevel dengan Tuhan sehingga tak
mungkin salah, yang pendapatnya pasti benar, dan kebenaran yang ada di otaknya
bersifat absolut. Waktu itu belum ada pemimpin agama yang sombong dengan
pandangannya, yang angkuh dengan ilmunya dan takabbur dengan merasa pandainya.
Di zaman Yu Sumi hidup, juga Guk Urip dan Mas Bardi, belum ada
manusia yang begitu yakinnya bahwa ia dan mereka akan pasti menjadi penghuni
sorga, dan mempercayai bahwa siapapun yang tidak berpandangan dan tidak hidup
seperti mereka akan pasti menjadi penghuni neraka.
Sehingga Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi tidak pernah berjumpa
dengan manusia yang sombong karena agamanya, yang angkuh karena ibadahnya, yang
merendahkan orang lain karena imannya, yang mengutuk siapapun saja yang bukan
mereka. Mereka bertiga belum pernah mengalami pergaulan dengan manusia yang
mampu menciptakan harmoni antara ibadah kepada Allah dengan kekejaman kepada
manusia. Yang merangkai dengan mantap iman kepada Tuhan dengan perusakan dan
penghancuran atas sesama manusia.
Indah benar hidupnya Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi karena di era
mereka belum ada manusia beragama yang meyakini bahwa bumi dan alam semesta
adalah hak mereka, sehingga yang bukan mereka harus dimusnahkan. Bahwa Tuhan
menciptakan bermilyar galaksi, bertrilyun-trilyun planet ini tidak untuk
siapapun kecuali segolongan manusia, yang jumlahnya sangat sedikit, sehingga
cukup ditampung di beberapa Kecamatan di suatu negeri kecil. Tuhan menciptakan
alam semesta yang luasnya tak terukur ini tidak untuk siapapun kecuali untuk
sejumlah manusia yang hanya memerlukan sebuah pulau kecil di bumi yang sangat
kecil untuk tempat tinggalnya.
***
Berbahagia benar Yu Sumi, Guk Urip dan Mas Bardi, yang hidup tanpa
pernah menjadi masalah bagi lingkungan masyarakatnya. Yang masyarakat
sekitarnyapun tidak pernah riuh rendah memperdebatkan diri eksistensi mereka,
karena ummat manusia pada zaman itu selalu menjalankan toleransi tanpa
menyadari adanya kata toleransi dan mereka sendiri tak pernah mengucapkan kata
toleransi dari mulutnya.
Masyarakat di mana ketiga sahabat kita hidup sangat mengerti
aurat, memahami hakekat batas, tahu persis apa yang harus dibuka dan apa yang
sebaiknya ditutupi. Apa yang sebaiknya dikendalikan dan apa yang tidak masalah
jika dilampiaskan. Mengerti apa yang harus dikontrol untuk tidak berkembang
karena daya perusakannya luar biasa atas kehidupan dan masa depan.
Meskipun Yu Sumi aman mendengarkan khotbah Jumat dari kebun
belakang masjid, tapi sebenarnya ia menempuh jalan cukup jauh membelah desa
untuk bisa sampai ke gerumbul tempat ia bersembunyi dan nguping khotbah. Masjid
itu terletak di jalur tengah desa, yang penghuninya pada umumnya berkultur
santri. Hanya ada masjid dan musholla di jalur tengah. Sedangkan di jalur
selatan dihuni oleh para petani abangan. Dan Yu Sumi sendiri tinggal di jalur
utama. Jalur dan lingkungan yang anak-anak sekolahan menyebut sebagai jalur masyarakat
yang terbelakang, kurang berbudaya dan belum mengenal agama.
Karena lingkungan sosialnya, hampir mustahil Yu Sumi berpeluang
untuk belajar mengaji, duduk di bangku sekolah atau belajar apapun kecuali dari
kehidupan dan perenungannya sendiri. Padahal Yu Sumi tidak pernah mendengar apa
itu perenungan, apa itu santri atau abangan. Yu Sumi tidak punya ustadz, tidak
berguru kepada kiai, tidak pernah tahu selama hidupnya suatu benda ajaib yang
bernama televisi. Jangankan lagi gadget, internet, medsos, browsing, IT,
demokrasi, Revolusi Industri ke-IV, terlebih-lebih lagi Bank Syariat. Yu Sumi
tidak punya mursyid, syekh, guru bangsa, begawan, panembahan. Yu Sumi hanya
tahu secara naluriah bahwa ada yang maha besar dan berkuasa dalam hidupnya, ada
hidup dan kelak ada mati, ada asal-usul dan titik tujuan, entah akan ada
akhirnya atau tidak.
Yu Sumi hanya punya Tuhan. Bahkan Muhammad hanya sesekali ia
dengar nama itu dari khotbah di masjid yang ia nguping. Tetapi Yu Sumi memiliki
kecerdasan intelektual dan kewaspadaan sosial, serta tahu secara alamiah bahwa
ia tidak boleh menjadi beban bagi siapapun, tidak boleh menjadi masalah bagi
lingkungannya, meskipun tidak pernah berani beranggapan bahwa ia harus atau
bisa atau punya kemungkinan untuk bermanfaat bagi kehidupan di mana ia
menumpang.
***
Maka ia mengambil keputusan untuk memenuhi waktunya untuk bekerja.
Bekerja keras sepanjang siang dan kalau perlu tambah separo malam.
Yu Sumi sangat sedikit berbicara. Ia menyapa dan menjawab sapaan
siapapun yang ia berpapasan dan bertemu. Tetapi ia tidak pernah berdiskusi,
meminta, menuntut, membantah, berdebat, membela diri, mempertahankan apapun. Ia
bekerja saja dan bekerja saja. Sampai akhirnya Tuhan memindahkannnya dari desa
saya ke kampung baru yang hanya Tuhan yang tahu. Entah di bumi ini, atau
mungkin di planet lain, atau di luar galaksi, atau siapa tahu tetap di sekitar
desanya namun di koordinat dan gelombang yang berbeda.
Yu Sumi bekerja keras memenuhi hidupnya, sehingga unsur lain dalam
dirinya, misalnya nafsu sex, tersingkir dan bagaikan tak ada. Sepanjang hidup
Yu Sumi aku hanya pernah melihatnya berpakaian sarung yang itu-itu juga.
Kira-kira ada dua lembar sarung, satu dua kaos dan baju. Wajahnya tidak pernah
mengekspresikan tuntutan, harapan, atau amarah dan perlawanan. Yu Sumi madhep
mantep bekerja dan bekerja.
Ia tidak pernah mendengar kata hak atau kewajiban. Dan
beruntunglah dia. Sebab kalau ia sampai tahu hak dan memahami artinya,
kecerdasannya akan memberi ucapan-ucapan yang berbahaya bagi dirinya: “Aku
berhak memenuhi nafsuku. Aku berhak kawin dengan sesama manusia apapun
jenisnya, bahkan adalah hakku juga untuk kawin dengan lembu, pohon pisang atau
buah mentimun. Aku berhak menjadi apapun sesuai dengan hak asasiku. Aku berhak
menjadi kanker, menjadi benalu, menjadi penyakit, menjadi kuman, bakteri,
virus, racun, atau apapun yang aku mau….” []
Dari CN kepada anak-cucu dan JM
26 Februari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar