Meneladani Semangat Resolusi Jihad
Oleh: A Helmy Faishal Zaini
Tanggal 22 Oktober 71 tahun lampau adalah momentum yang sangat
bersejarah bagi bangsa Indonesia umumnya dan bagi kalangan santri dan
nahdliyin khususnya. Hari itu sejarah mencatat, bertempat di Kantor HB NU
di Jalan Bubutan Surabaya, ulama-ulama dari Jawa dan Madura yang berkumpul
untuk bermusyawarah dan dipimpin langsung Rais Akbar KH M Hasyim Asyari
mengeluarkan fatwa monumental yang kemudian hari kita kenal dengan sebutan
fatwa Resolusi Jihad.
Resolusi Jihad berisi dua poin utama. Pertama, memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannya. Kedua, supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat sabilillah untuk tegaknya negara Republik Indonesia merdeka dan agama Islam.
Semangat jihad yang dikumandangkan KH M Hasyim Asyari bukanlah semata-mata semangat berperang saja. Namun lebih dari itu semangat resolusi jihad dilandasi semangat perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan dan penindasan. Diktum hubbul wathan minal iman adalah diktum yang dicetuskan sebagai salah satu bahan bakar untuk melecut semangat arek-arek Suroboyo untuk menghalau penjajahan yang dimotori NICA pada saat itu.
Situasi seperti ini, situasi dalam keadaan keterjajahan, memang sangat pelik. Indonesia saat itu belum dipandang oleh dunia internasional setelah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Dalam pandangan dunia internasional, Indonesia masih dianggap minor atau bahkan ada yang menganggap bahwa Indonesia belum merdeka sepenuhnya. Baru beberapa bulan kemudian, ketika pertempuran akhir Oktober-awal November 1945 yang kemudian dikenal sebagai pertempuran 10 November meletus, mata dunia terbuka.
Dunia internasional mengakui eksistensi Indonesia. Jika tidak demikian, meminjam sejarawan Agus Sunyoto (2015), bukan tidak mungkin posisi Indonesia akan terus dipandang sebagai negara yang belum merdeka.
***
Fakta menarik seputar kemerdekaan yang masih banyak tidak
diketahui khalayak adalah bahwa sesungguhnya momentum pembacaan teks proklamasi
kemerdekaan RI yang dikumandangkan pada pukul 10.28 WIB tanggal 17 Agustus 1945
belum "berbunyi" di mata dunia.
Ibarat press conference atau siaran pers, tetapi tidak diliput oleh media massa. Sepi, sunyi, dan senyap barangkali. Pembacaan teks proklamasi itu sangat disayangkan karena nyatanya hanya berhenti pada pelaksanaan seremonial pembacaan teks belaka.
Pada konteks pertempuran 10 November 1945 itulah sesungguhnya fatwa Resolusi Jihad menemui titik signifikansinya. Fatwa yang dilahirkan dari hasil musyawarah ulama-ulama Jawa dan Madura itu menjadi asupan energi dan landasan teologis yang meligitimasi pertempuran 10 November tersebut.
Rakyat dan arek-arek Suroboyo yang "lelah" dan
"capai" karena hidup dalam ketertindasan dan keterjajahan merasa
mendapat legitimasi untuk melawan. Dan legitimasi itu bukan main-main karena
lahir dari ”istikharah” panjang para ulama dan kiai.
Dari sanalah sesungguhnya sejarah pertempuran 10 November itu bermula. Maka tidak mengherankan jika ada yang mengatakan bahwa jika tidak ada fatwa Resolusi Jihad tidak ada pertempuran 10 November.
Fakta perlawanan rakyat di Surabaya terhadap NICA yang didasari seruan fatwa Resolusi Jihad itu faktanya selama ini kurang diperhatikan para pemerhati sejarah. Banyak sejarawan yang alpa memperbincangkan Resolusi Jihad tatkala mengupas sejarah kemerdekaan Indonesia dan meletusnya pertempuran 10 November. Ketika berbicara kemerdekaan, fokus kita rata-rata hanya tertuju pada seremonial pembacaan teks proklamasi saja.
Buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah dan diktat kuliah sangat minim atau bahkan bisa dikatakan hampir tidak pernah memuat sama sekali sejarah Resolusi Jihad yang melibatkan ribuan santri di segenap penjuru Pulau Jawa.
Zainul Milal Bizawie (2014) menyebut bahwa tidak kurang dari 2.000 santri dan penduduk sekitar Surabaya terlibat langsung dalam pertempuran itu. Angka yang fantastis. Namun, benar kata pepatah, sejarah memang milik penguasa. Penguasa saat itu sangat mungkin "tidak berpihak" pada peran kaum santri dan komunitas pesantren betapapun dahsyat sumbangsih dan perjuangannya.
***
Atas peranannya yang begitu dahsyat, Sayyid Muhammad Asad Shihab
menyebut bahwa KH M Hasyim Asyari adalah peletak dasar kemerdekaan Republik
Indonesia. Mbah Hasyim adalah wadhiu
labinati istiqlali Indonesia, peletak dasar-dasar kemerdekaan
Indonesia.
Dalam buku catatan jurnalistiknya tersebut Sayyid Asad Shihab mengupas berbagai alasan penting yang kemudian menguatkan tesis utamanya mengapa Mbah Hasyim Asyari disebut sebagai peletak dasar kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam konteks ini, saya ingin mengatakan bahwa nasionalisme yang dibangun, digaungkan, dan diwariskan oleh KH M Hasyim Asyari adalah nasionalisme sejati yang lahir dari rasa mencintai tanah air ibu pertiwi. Maka tidak mengherankan jika setelah ditetapkannya tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri, kalangan pesantren sangat menyambut gembira putusan tersebut.
Negara telah mengakui peran santri dalam momentum kemerdekaan. Namun penting untuk dicatat bahwa memperingati Hari Santri tidak boleh berhenti sebatas selebrasi mengingat sejarah bisa membuat kita masuk ke dalam labirin jebakan romantisme historis. Yang harus kita lakukan ke depan adalah berjihad sesuai dengan konteks dan kapasitas kita. Sebab musuh utama kita hari ini yang paling kontemporer adalah kebodohan, kemiskinan, dan narkoba. Di sanalah sesungguhnya ladang jihad kita. Selamat Hari Santri. []
Koran
SINDO, 22 Oktober 2016
A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar