Hukum Egois Salah Satu
Pasutri dalam Hubungan Badan
Pertanyaan:
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Saya seorang istri dan sudah mempunyai seorang anak berusia tiga tahun. Secara ekonomi kami tidak ada masalah dan perjalanan rumah tangga normal-normal saja. Namun beberapa bulan terakhir ini hubungan kami sedikit ada masalah. Penyebabnya adalah suami saya dalam beberapa bulan terakhir ini setiap kali berhubungan badan selalu egois. Kalau dia sudah keluar langsung main berhenti saja padahal saya belum sampai puncaknya. Saya tambah sedih karena setiap kali saya ajak untuk berkonsultasi ke dokter, suami saya selalu menolak dengan banyak alasan.
Yang ingin saya tanyakan, bagaimana pandangan agama tentang perilaku suami saya yang egois dalam berhubungan badan? Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Majalengka – Nama Dirahasiakan
Jawaban:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Dalam hubungan badan antara suami-istri sudah sepatutnya kedua pasangan mesti saling mengerti dengan keinginan masing-masing. Jangan sampai salah satu pihak merasa “puas” tetapi mengabaikan pihak lain. Komunikasi yang baik di antara keduanya adalah kata kuncinya.
Idealnya dalam berhubungan badan antara suami-istri adalah kedua belah pihak merasa puas, keluar bersama-sama. Namun terkadang bisa suaminya yang lama, istrinya tidak atau sebaliknya. Perbedaan ini memang acapkali menimbulkan masalah, terutama jika pihak suami yang keluar duluan padahal istrinya belum. Istri pasti kecewa dan “ngambek” karena syahwatnya tidak dituntaskan.
وَاْلاِخْتِلَافُ
فيِ طَبْعِ الْإِنْزَالِ يُوجِبُ التَّنَافُرِ مَهْمَا كَانَ الزَّوْجُ سَابِقاً
إِلَى الْإِنْزَالِ ، وَالتَّوَافُقُ فِي وَقْتِ الْإِنَزَالِ أَلَذُّ عِنْدَهَا
وَلَا يَشْتَغِلُ الرَّجُلُ بِنَفْسِهِ عَنْهَا فَإِنَّهَا رُبَّمَا تَسْتَحْيِ
Artinya, “Perbedaan karakter keluarnya mani (diantara suami-isteri, pent) akan menimbulkan perselisihan terutama jika pihak suami keluar terlebih dahulu. Padahal bagi istri keluar secara bersamaan akan terasa lebih nikmat. Suami tidak boleh mementingkan egonya sendiri sehingga mengabaikan istrinya. Sebab, acapkali istri merasa malu untuk mengungkapkan gejolaknya,” (Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Mesir, Mushthafa Al-Babi Al-Halabi, 1358 H/1939 M, juz 2, halaman 52).
Lantas bagaimana jika suami keluar duluan, kemudian ia membiarkan istrinya padahal syahwatnya belum tuntas seperti deskripsi masalah di atas? Dalam konteks ini menarik apa yang dikemukakan Ibnu Qudamah melalui kitab Al-Mughni. Menurutnya, tindakan suami yang dalam berhubungan badan dan keluar duluan kemudian mengabaikan istrinya padahal ia belum tuntas syahwatnya adalah makruh.
إِنْ
فَرَغَ قَبْلَهَا ، كُرِهَ لَهُ النَّزْعُ حَتَّى تَفْرُغَ ؛لِمَا رَوَى أَنَسُ
بْنُ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: { إذَا جَامَعَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ فَلْيَصْدُقْهَا ، ثُمَّ إذَا قَضَى
حَاجَتَهُ ، فَلَا يُعَجِّلْهَا حَتَّى تَقْضِيَ حَاجَتَهَا } .وَلِأَنَّ فِي
ذَلِكَ ضَرَرًا عَلَيْهَا ، وَمَنْعًا لَهَا مِنْ قَضَاءِ شَهْوَتِهَا
Artinya, “Apabila suami keluar terlebih dahulu sebelum istrinya, maka dimakruhkan bagi suami untuk melepaskannya sebelum istri menuntaskan syahwatnya. Karena ada riwayat dari Anas bin Malik RA menyatakan bahwa Rasulullah SAW besabda, ‘Ketika seorang suami menggauli istrinya, maka hendaknya ia memberinya cinta dengan tulus (falyashduqha). Kemudian ketika suami telah menyelesaikan hajatnya, maka jangan terburu-terburu untuk mengakhirinya sebelum istrinya menuntaskan hajatnya juga.’ Demikian itu karena bisa menimbulkan bahaya bagi istri dan menghalanginya untuk menuntaskan syahwat,” (Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Beirut, Darul Fikr, 1405 H, juz VIII, halaman 136).
Kalimat “hendaknya ia memberinya cinta dengan tulus” (falyasduqha) maksudnya adalah hendaknya ia (suami) menggauli istrinya dengan sungguh-sungguh, perkasa, dan memberikan servis di ranjang dengan baik serta penuh kasih sayang. Hal ini mengacu kepada penjelasan dalam kitab At-Taysir bi Syarh Jami’is Shaghir karya Abdurrauf al-Munawi.
فَلْيَصْدُقْهَا
) بِفَتْحِ
الْمُثَنَّاةِ وَضَمِّ الدَّالِ مِنَ الصِّدْقِ فِي الوُدِّ وَالنَّصْحِ أَيْ
فَلْيُجَامِعْهَا بِشِدَّةٍ وَقُوَّةٍ وَحُسْنِ فِعْلٍ
Artinya, “’Falyashduqha’ dengan diberi tanda harakat fathah pada huruf yang bertitik dua (huruf ya`) dan diharakati dhammah huruf dal-nya berasal dari ungkapan ash-shidq fil wudd wan nashh (tulus dalam memberikan cinta dan nasihat). Maksudnya adalah hendaknya ia (suami) menggauli istrinya dengan sungguh-sungguh, perkasa, dan menggaulinya dengan cara yang baik,” (Lihat Abdurrauf Al-Munawi, At-Taysir bi Syarhi Jami’is Shaghir, Riyadl, Maktabah Al-Imam Asy-Syafi’i, cet ke-3, 1408 H/1988 M, juz I, halaman 175).
Mengacu pada penjelasan di atas, kita dapat menarik simpulan bahwa makruh bagi suami ketika berhubungan badan dan keluar terlebih dahulu terburu-buru untuk melepaskan istri atau membiarkannya, sementara ia (istri) belum sampai menuntaskan syahwatnya. Hal ini karena bisa menimbulkan mudharat atau kerugian bagi istri karena tertunda syahwatnya.
Di samping itu seorang suami sudah sepatutnya untuk menggauli istrinya dengan penuh kesungguhan, menunjukan keperkasaannya serta menggauli dengan cara yang baik. Hal ini penting diperhatikan bagi para suami agar terhindar dari percekcokan dengan istri. Sebab, jika di “ranjang” sendiri bermasalah, maka akan mengakibatnya munculnya masalah di luar “ranjang” sebagaimana dikemukakan oleh Abu Hamid Al-Ghazali di atas.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik dan bermanfaat. Bagi suami yang kurang perkasa di “ranjang”, lakukan komunikasi secara baik-baik dengan istri, kemudian segeralah berkonsultasi dengan ahlinya serta jangan lupa untuk selalu berdoa. Kami selalu terbuka menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb
Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar