AMANAT PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA MENYAMBUT HARI SANTRI
السلام
عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم
الله الرحمن الرحيم
الحمد
لله رب العالمين اللهم صل وسلم على سيدنا ومولانا محمد وعلى اله وصحبه
أجمعين.
أما
بعد
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah
menganugerahkan kita karunia Iman Islam, sehat jasmani dan rohani, serta
keselamatan sehingga kita dapat dipertemukan dalam keberkahan dan
kebersahajaan.
Sholawat serta salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga,
sahabat, dan para pengikutnya, dengan harapan semoga kita semua mendapatkan
syafa’at dari Baginda Rasulullah SAW.
Hari ini Keluarga Besar Nahdlatul Ulama dan
seluruh rakyat Indonesia memperingati sebuah peristiwa yang sangat penting
dalam rangka mengenang jasa para ulama dan kaum santri dalam mempertahankan
kemerdekaan Negara Republik Indonesia dari rongrongan penjajahan. Penghormatan
dan pengakuan negara atas jasa serta peran para ulama dan kaum santri ini
termaktub dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015
tentang HARI SANTRI.
Sejarah mencatat bahwa para ulama dan santri
telah mewakafkan hidupnya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan
mewujudkan cita-cita kemerdekaan sebagai pintu gerbang menuju masyarakat adil
dan makmur. Para santri dengan caranya masing-masing bergabung dengan seluruh
elemen bangsa melawan penjajah, menyusun kekuatan di daerah-daerah terpencil,
mengatur strategi, mengajarkan tentang arti kemerdekaan, kedaulatan dan
kebhinekaan bangsa Indonesia.
Hari ini, 71 tahun yang lalu, bangsa
Indonesia hampir saja mengalami situasi pelik dan hampir tidak bisa melepaskan
diri dari penjajahan.
Meletusnya pertempuran tanggal 26 Oktober
hingga 9 Nopember 1945 di Surabaya antara rakyat sipil dengan tentara sekutu
NICA, pemicu utamanya adalah fatwa RESOLUSI JIHAD NU yang dikeluarkan pada 22
Oktober 1945 oleh para ulama di bawah komando Rois Akbar Jam’iyyah Nahdlatul
Ulama yakni KH. Muhammad Hasyim Asy’ari. Resolusi Jihad NU adalah perintah
lurus dari para alim ulama kepada umat Islam di sekitar pulau Jawa yang masuk
pada radius masafatul qosr (مسافة القصر) dimana dihukumkan WAJIB bagi mereka untuk
membela Tanah Air. Kewajiban membela tanah air artinya saat itu adalah perintah
untuk melawan tentara sekutu NICA.
Ketika itu, ulama-ulama dari Jawa dan Madura
berkumpul di Surabaya dipimpin langsung oleh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, dan
diikuti tokoh-tokoh antara lain: KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri,
KH. Ahmad Hasan, Kiai Mas Abdurrahman, KH. Abdul Halim, dan banyak lagi. Rapat
ini sempat tertunda sampai dengan datangnya ulama yang dikenal dengan
julukan“Singa dari Jawa Barat” yakni KH. Abbas Abdul Jamil dari Pesantren
Buntet Cirebon yang kemudian ditunjuk sebagai komandan LASKAR HIZBULLAH.
Para komandan resimen yang turut membantu
Kiai Abbas antara lain KH. Abd. Wahab Hasbullah, Bung Tomo, Cak Roeslan
Abdulgani, KH. Mas Mansur, dan Cak Doel Arnowo. Bung Tomo melalui pidatonya
yang disiarkan radio membakar semangat para pejuang dengan pekik takbirnya
untuk bersiap syahid di jalan Allah SWT. ALLAHU AKBAR. ALLAHU AKBAR. ALLAHU
AKBAR.
Fakta sejarah perlawanan terhadap NICA yang
berujung pada pertempuran sengit inilah yang kemudian kita kenal dengan peristiwa
10 Nopember. Kaum santri berhasil merobek bendera Merah Putih Biru yang diganti
dengan bendera Merah Putih di atas Hotel Oranje Surabaya. Kaum santri berhasil
merebut kembali keadaan dengan mengalahkan pasukan NICA yang dipimpin oleh
Brigjen Mallaby. Tak kurang dari 20.000 santri gugur dalam pertempuran
tersebut.
Atas peranannya yang begitu dahsyat, Sayyid
Muhammad As’ad Shihab menyebutkan dalam salah satu karyanya bahwa KH. Muhammad
Hasyim Asy’ari adalah awwalu wadi’ labinati istiqlali Indonesia ( أول واضع لبينة استقلال اندونيسيا ), “Peletak dasar-dasar kemerdekaan Indonesia”.
Selang beberapa bulan setelah terjadi
pertempuran dahsyat di Surabaya, di mana sipil dan santri menjadi aktor
utamanya, mata dunia perlahan mulai terbuka. Mereka mengakui fakta baru bahwa
“Indonesia” adalah negara yang telah merdeka dan berdaulat.
Tanpa RESOLUSI JIHAD NU tentu tidak pernah
ada peristiwa 10 Nopember. Tanpa RESOLUSI JIHAD NU, kemerdekaan yang telah
diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta tanggal 17 Agustus 1945, tentu
akan tercabik-cabik kembali oleh upaya pengambilalihan kedaulatan yang dimotori
tentara NICA. Inilah wujud ajaran dari Hadratussyeikh yang meletakkan kewajiban
bela negara adalah sama pentingnya dengan kewajiban membela agama.
"
حب
الوطن من الإيمان",
Cinta Tanah Air adalah bagian dari
Iman
Marilah kita jadikan momentum Hari Santri 22
Oktober ini untuk meneguhkan kesetiaan mengawal dan mempertahankan Pancasila,
NKRI serta UUD 1945.
Membaca sejarah nasional tidak mungkin
mengabaikan kaum santri yang telah teruji dalam mengawal negeri ini. Di tengah
berbagai masalah yang mendera bangsa Indonesia saat ini, perlu kiranya seluruh
elemen bangsa merenungi kiprah dan etos jihad kaum santri. Etos jihad kaum
santri berdiri di atas tiga pilar, yaitu Nahdlatul Wathan (pilar
kebangsaan), Tashwîrul Afkâr (pilar ke-cendekia-an), dan Nahdlatut
Tujjâr (pilar kemandirian).
Pilar kebangsaan perlu terus dipupuk dan
dikembangkan di tengah tarikan faham fundamentalisme agama dan fundamentalisme
pasar. Pilar ke-cendekia-an harus ditegakkan karena kecendekiaan adalah pilar
peradaban dan syarat sebuah bangsa meraih harkat dan martabatnya di hadapan
bangsa lain. Kecendekiaan tidak hanya diukur dari pendidikan formal tetapi
mental dan nalar intelektual yang terbuka terhadap pemikiran dan inovasi baru,
dengan berpedoman pada kaidah; al-muhâfadhah ala-l qadîmis shâlih wa-l
akhdzu bi-l jadîdi-l ashlah (Melestarikan tradisi lama yang baik dan
menciptakan tradisi baru yang lebih baik).
Khazanah intelektual Islam yang diakrabi
pesantren merupakan modal intelektual tak ternilai yang menempatkan santri
sebagai pewaris sah kebangkitan Islam masa depan. Inklusivisme kaum santri
perlu dipupuk di tengah ketertinggalan umat Islam dalam penemuan-penemuan
ilmiah dan inovasi sains dan teknologi. Jihad santri adalah memerangi kebodohan
dan mengintegrasikan penguasaan ilmu duniawi dan ukhrawi.
Pilar kemandirian adalah prasyarat mutlak
maju-mundurnya sebuah bangsa. Tidak ada bangsa yang maju dengan tergantung
kepada bangsa lain. Bangsa kita belum mandiri dalam memenuhi hajat hidup pokok
warganya. Sebagian besar kebutuhan pangan dan energi diperoleh dari impor,
padahal Indonesia negara agraris yang dikaruniai berbagai sumber daya alam di
laut, hutan, dan di bawah permukaan bumi. Harus diingat, ketergantungan adalah
antitesis kemerdekaan.
Hari ini adalah saat terbaik bagi kita untuk
dapat memaknai Hari Santri sesuai dengan perkembangan dan dinamika zaman yang
berkembang. Tantangan yang kita hadapi hari ini meskipun berbeda, akan tetapi
semangat dan integritas berbangsa dan bernegara tidak boleh terputus. Apalagi
di tengah arus budaya popular dan juga silang sengkarut ideologi trans-nasional
yang sudah sedemikian masif ini, penguatan nasionalisme dan patriotisme rakyat
Indonesia sangat-sangat dibutuhkan.
Tantangan kita yang pertama, menghadapi
berbagai ancaman seperti ideologi yang mengancam eksistensi kesatuan Republik
Indonesia harus kita lawan. ISIS dan sekelompok organisasi yang menjadikan
radikalisme dan terorisme sebagai wahana untuk berdakwah, harus kita lawan.
Sudah terlalu banyak negara yang hancur diakibatkan cara pandang yang keliru
meletakkan makna jihad yang justru melahirkan kekacau-balauan. Demikian juga
dengan segenap organisasi masyarakat yang anti serta menolak ideologi
Pancasila, mereka juga harus kita luruskan.
Nahdlatul Ulama senantiasa mengajarkan Islam
menjadi pionir dalam mewujudkan perdamaian dunia. Nahdlatul Ulama senantiasa
mengajarkan dakwah Islam yang ramah, bukan Islam yang marah. Islam yang mengajak
bukan mengejek. Islam adalah agama yang mengajarkan kita dapat merangkul, bukan
memukul.
Tantangan kedua, masih tingginya angka
kemiskinan dan Gini Rasio kita yang menyebabkan adanya ketimpangan
sosial antara yang kaya dan miskin, adalah masalah yang harus kita tuntaskan.
Pada Desember 2015, World Bank merilis bahwa
1% orang terkaya Indonesia menguasai sekitar 50,4% aset dan 10% orang terkaya
Indonesia menguasai 70,3% total kekayaan di Indonesia. Artinya, pembangunan
belum merata dan belum menyentuh rakyat miskin dan kaum lemah. Padahal Islam
mengajarkan, ekonomi harus tumbuh atas azas keadilan dan pemerataan.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-Hasyr ayat 7;
"
كَيْ
لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنكُمْ ۚ "
“Janganlah harta itu berputar-putar
diantara orang-orang kaya saja diantara kalian”.
Tantangan ketiga adalah meluasnya penggunaan
narkoba di seluruh kelas sosial masyarakat. Ini keprihatinan nasional kita.
Negara tengah menghadapi Darurat Narkoba. Data menunjukkan sampai tahun 2016
jumlah pengguna Narkoba sebanyak 4 juta orang. 1,6 Juta pernah mencoba. 1,4
Juta orang rutin mengkonsumsi dan 943 ribu orang sudah dalam kondisi kecanduan.
Data ini menunjukkan bahwa hari ini kita sedang mengalami DARURAT NARKOBA.
Maka dalam memperingati Hari Santri, tugas
kita hari ini adalah:
1. Jihad melawan segala bentuk anarkisme,
radikalisme dan terorisme yang bertentangan dengan Pancasila & NKRI.
2. Jihad memerangi kemiskinan, kebodohan dan
ketertinggalan kita.
3. Jihad melawan narkoba, dan bersama-sama
menjadikan Indonesia sebagai negara yang bersih dari peredaran Narkoba.
Dalam momentum hari santri kali ini, yang
paling utama dan penting untuk diteladani adalah bahwa KH. Muhammad Hasyim
Asy’ari adalah sosok kiai yang sepanjang hayatnya tetap mengindentifikasi
dirinya sebagai santri. Sikap santri inilah yang melahirkan sikap tawaddu’ dan
juga rendah hati di hadapan siapapun.
Kita harus bersyukur memiliki seorang ulama
yang bukan saja jernih melihat, namun juga cerdas bertindak, dan teguh dalam
memegang prinsip. KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tidak lahir kemudian menjadi
tokoh begitu saja. Hadratussyeikh sebagaimana lazimnya manusia lainnya,
digembleng melalui pendidikan agama yang penuh kedisiplinan dan ketaatan.
Hari Santri 22 Oktober adalah milik semua
golongan. Maka dalam momentum peringatan Hari Santri 22 Oktober ini, marilah
kita jadikan sebagai tonggak untuk bersatu, jangan sekali-kali kita berpecah
belah. Perpecahan adalah penyebab kelemahan, kekalahan dan kegagalan di
sepanjang zaman. Mari kita songsong kehidupan yang lebih baik, yang maslahah
untuk semua. Selamat Hari Santri.
شكرا
ودمتم في الخير والبركة والنجاح
والله
الموفق إلى أقوم الطريق
والسلام
عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, 22 Oktober 2016
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama,
Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, MA
[]
Sumber: NU ONLINE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar