Pancasila dalam Percobaan
Oleh: Yudi Latif
Hendaklah tetap bertahan kepala dingin di tengah kobaran api
permusuhan yang bisa membakar rumah kebangsaan. Apabila mata dibayar dengan
mata, dunia akan mengalami kegelapan. Sesungguhnya kelapangan hati saling
memaafkan lebih mulia di mata Tuhan dan kemanusiaan.
Kita tak bisa bergerak mundur. Asal fitrah kepemimpinan bangsa ini
adalah titik putih kesetaraan-persaudaraan kewargaan. Politik Indonesia tidak
mewarisi dosa asal seperti Amerika Serikat. Di sana, kanvas dasar
kepemimpinannya mesti berwarna putih-Anglo Saxon, Protestan, dan laki-laki.
Diperlukan ratusan tahun bagi negara kampiun demokrasi itu untuk bisa menghapus
warisan noda historis yang melumurinya.
Saat ini, tatkala jantung politik Amerika Serikat tengah berdebar
menanti penghapusan dosa terakhir, bahwa pemimpin negara tidak mesti laki-laki,
kepemimpinan politik Indonesia sudah melampaui itu semua. Dalam lintasan
sejarah bangsa, kepala pemerintahan/negara pernah (bahkan sering) dipimpin
minoritas non-Jawa. Pernah pula seorang Kristen bernama Amir Sjarifoeddin
Harahap menjadi perdana menteri. Bahkan, Johannes Leimena dengan latar
minoritas ganda (Kristen-Melanesia) beberapa kali menjadi pejabat presiden. Tak
ketinggalan, pernah pula perempuan menjadi presiden di negeri ini.
Apabila kini masalah suku dan agama kembali dipersoalkan dalam
urusan pemilihan, pertanda ada kuman degeneratif yang melunturkan semangat
kebangsaan kita. Ketegangan etno-religius ini harus dipandang sebagai gejala
permukaan dari endapan penyakit epidemik yang menyerang sistem saraf Pancasila.
Rumah Pancasila adalah rumah keseimbangan dengan lima prinsip
nilai kait-mengait, yang dapat berdiri kokoh manakala dijalankan dengan mengusahakan
koherensi antarsila, konsistensi dengan produk-produk perundangan, dan
korespondensi dengan realitas sosial. Bibit penyakit bisa timbul karena
distorsi dalam pemenuhan nilai intrinsik setiap sila ataupun karena ketimpangan
dalam pemenuhan nilai ekstrinsik yang berkaitan dengan relasi antarsila.
Yang paling mudah terdeteksi dari tendensi kelunturan itu terjadi
pada pengamalan sila ketuhanan. Merebaknya kekerasan bernuansa agama merupakan
letupan dari kecenderungan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan
yang tidak lagi mencerminkan semangat "ketuhanan yang berkebudayaan"
yang lapang dan toleran, sebagaimana ditandaskan Bung Karno.
Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan eksterioritas
formalisme peribadatan, tanpa kesanggupan menggali interioritas nilai
spiritualitas dan moralitas, hanyalah berselancar di permukaan gelombang
bahaya. Tanpa menyelam di kedalaman spiritual, dalam semangat ketuhanan yang
welas asih, keberagamaan menjadi mandul, kering, dan keras.
Pengikut agama memaksakan absolutisme sebagai respons ketakutan
atas kompleksitas kehidupan dunia, yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan
ancaman keluar. Pemulihan krisis-konflik sosial kehilangan basis kepercayaannya
ketika agama yang seharusnya membantu manusia menyuburkan rasa kesucian, kasih
sayang, dan perawatan (khalifah) justru sering kali memantulkan rasa
keputusasaan dan kekerasan zaman dalam bentuk terorisme, permusuhan, dan
intoleransi.
Distorsi dalam pengalaman sila ketuhanan diperparah oleh distorsi
dalam pengamalan sila persatuan. Dalam masyarakat plural, sikap hidup yang
harus dikembangkan adalah semangat hidup berdampingan secara damai dan
produktif lewat pergaulan lintas-kultural yang membawa proses penyerbukan
silang budaya. Namun, warisan panjang rezim represif, yang cenderung melakukan
homogenisasi dan sentralisasi budaya-politik, membuat bangsa Indonesia
cenderung mengembangkan sikap hidup monokultural; hanya membatasi pergaulan
dalam kepompong ras, etnis, dan agama masing-masing secara eksklusif.
Segregasi sosial warisan kolonial belum banyak mengalami
peleburan. Beberapa golongan masih mempertahankan supremasi rasial dengan
menolak kawin campur dengan golongan lain yang dianggap inferior.
Permukiman-permukiman elite baru muncul dengan sekat segregatif yang
memisahkan. Pembagian kerja dan kedudukan atas dasar pembedaan golongan juga
masih bertahan.
Tabir sosial ini bahkan mulai dipahatkan pada model mental
generasi penerus lewat persekolahan eksklusif berbasis irisan kesamaan agama,
ras/etnis, dan kelas sosial. Akibatnya, masyarakat cenderung mengembangkan
sikap curiga dan tidak percaya terhadap golongan lain dan memandang kehadiran
yang berbeda sebagai ancaman.
Pada akhirnya, seperti diisyaratkan John Rawls, sumber persatuan
dan komitmen kebangsaan dari negeri multikultural adalah "konsepsi
keadilan bersama (a share conception of justice). Sila keadilan sosial
merupakan perwujudan paling konkret dari prinsip-prinsip Pancasila, tetapi
paling diabaikan. Selama belasan tahun reformasi, Indonesia mengalami surplus
kebebasan, tetapi defisit keadilan, dengan kesenjangan sosial yang makin lebar.
Padahal, betapa pun kuatnya jahitan persatuan nasional jika ketidakadilan tak
lagi tertahankan, perlawanan dan kecemburuan sosial akan meruyak.
Meluasnya rasa ketidakadilan bukan merupakan wahana yang kondusif
bagi penerimaan gagasan persaudaraan kewargaan. Ragam ekspresi kekerasan akan
diarahkan terhadap kalangan yang dipersepsikan sebagai "biang kerok",
dengan menggunakan baju agama dan simbol primordial lain sebagai legitimasi
simbolisnya.
Dengan kepala dingin dan keterbukaan bagi refleksi diri, marilah
kita kikis kuman kelunturan dan degenerasi semangat kebangsaan itu, dengan
secara jujur dan konsisten menjalankan integritas moral Pancasila. []
KOMPAS, 18 Oktober 2016
Yudi Latif | Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar