Pendidikan
Berbasis Nilai Kebangsaan
Oleh:
Azyumardi Azra
Banyak
kalangan publik dalam dua dasawarsa terakhir sering komplain bahwa semangat
kebangsaan (nasionalisme) generasi muda bangsa mengalami kemerosotan
signifikan. Fenomena atau kecenderungan ini terkait misalnya dengan minimnya
pengetahuan dan pemahaman tentang empat prinsip dasar negara-bangsa Indonesia
yaitu UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Banyak
faktor yang menyebabkan kondisi memprihatinkan itu. Faktor pertama adalah
perubahan cepat berdampak panjang sejak Mei 1998 berikutan dengan amalgamasi
berbagai krisis sejak dari moneter, keuangan dan ekonomi, politik dan
sosial-budaya.
Perubahan
drastis itu meningkat ketika Presiden Soeharto mengundurkan diri dari kekuasaan
yang dipegangnya selama 32 tahun menimbulkan kegoncangan yang berlipat ganda
dengan adopsi liberalisasi politik. Kebebasan politik dan adopsi demokrasi
liberal kompetitif menciptakan ketidakseimbangan baru dalam masyarakat luas.
Sampai sekarang equilibrium belum sepenuhnya tercapai.
Semangat
kebangsaan secara langsung atau tidak langsung merosot ketika Pancasila seolah
tidak lagi menduduki posisi sentral. Pejabat publik dan tokoh masyarakat enggan
berbicara tentang Pancasila yang mendapat citra dan persepsi jelek karena
pernah digunakan rezim Orde Baru sebagai alat mempertahankan status quo
kekuasaannya.
Berbarengan
dengan itu, sentralisme kekuasaan dan pemerintahan yang berpusat di Jakarta
secara cepat mengalami desentralisasi dan otonomi. Hasilnya, Indonesia seolah
telah menjadi semacam’negara federal’; NKRI seolah hanya tinggal dalam UUD
1945’ lebih terlihat hanya sekadar slogan.
Faktor
kedua adalah globalisasi, bukan hanya dalam hal pasar, keuangan dan ekonomi,
tetapi juga dalam komunikasi, informasi, gaya hidup, politik dan ideologi
keagamaan. Meningkatnya orientasi global di kalangan generasi muda khususnya
membuat mereka berpandangan, semangat kebangsaan tidak lagi relevan.
Pada saat
yang sama, kebebasan dan demokrasi secara domestik yang tumpang tindih dengan
globalisasi membuat ideologi dan praksis trans-nasional khususnya dalam bidang
agama dan politik menyebar cepat. Hasilnya adalah meningkatnya paham atau
ideologi dan praksis yang bertentangan dengan semangat kebangsaan.
Berorientasi
trans-nasional, berbagai ideologi dan praksis yang bertentangan dengan
Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika gentayangan di berbagai
pelosok Indonesia. Tidak banyak hal yang dilakukan pemerintah dalam mengkonter
ideologi dan gerakan semacam ini. Pemerintah seolah tidak berdaya untuk dapat melarang
mereka.
Pada saat
yang sama juga tidak ada upaya komprehensif dan sistematis untuk penguatan
kembali semangat kebangsaan. Jika ada, itu pun dilakukan secara sporadis dan ad
hoc (sementara). Ini misalnya dilakukan MPR sejak dipimpin Ketuanya (almarhum)
Taufik Kiemas melalui program yang dikenal sebagai sosialisasi ‘Empat Pilar’.
Meski
kegiatan ini sebenarnya sebenarnya secara susbtantif sangat kontributif untuk
revitalisasi semangat kebangsaan, ada juga kalangan yang mempertanyakan
kewenangan MPR melaksanakan program tersebut. Cukup telak, ada pula
kalangan yang mempertanyakan istilah ‘Empat Pilar’ yang tak ada dalam
nomenklatur konstitusi, perundangan dan ketentuan hukum lain.
Di tengah
keadaan yang tidak kondusif itu, perlu apresiasi pada lembaga atau institusi
dan pemimpin atau figur bangsa yang mencoba dengan segenap daya membangkitkan
semangat kebangsaan. Dalam konteks itu, apresiasi perlu diberikan kepada FKIP
Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, yang menyelenggarakan Konperensi
tentang ‘Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Kebangsaan’ (8/10/2016).
Penulis
Resonansi ini yang juga menjadi narasumber dalam konperensi itu memandang,
pendidikan formal mulai dari pendidikan dasar, menengah dan tinggi adalah lokus
sangat strategis dalam transfer ilmu pengetahuan, ketrampilan dan kecakapan.
Pada saat yang sama pendidikan formal juga sangat instrumental dalam penanaman
nilai, sejak dari agama, akhlak mulia dan budi pekerti, sampai pada semangat
kebangsaan.
Pendidikan
berbasis kebangsaan dapat mencakup seluruh subjek; tidak hanya yang menyangkut
pendidikan nilai seperti PKn, PAI, Sejarah, IPS dan semacamnya, tetapi juga
bahkan ilmu alam. Nilai-nilai kebangsaan dapat disisipkan dan ditanamkan dalam
semua subyek itu tanpa terjerumus ke dalam kelatahan.
Meski
demikian, pendidikan berbasis nilai-nilai kebangsaan tidak perlu menjadi matapelajaran
tersendiri. Karena jika dilakukan seperti itu, dia menjadi beban baru bagi para
penuntut ilmu. Cukuplah nilai-nilai kebangsaan itu diintegrasikan ke dalam
berbagai subyek yang ada. []
REPUBLIKA,
20 October 2016
Azyumardi
Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan
Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar