Hari
Santri dan Perdamaian Dunia
Oleh: A
Helmy Faishal Zaini
Setahun
silam, Keppres No 22/2015 tentang Hari Santri telah ditandatangani dan
dibacakan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Di hadapan ribuan kalangan yang
jauh-jauh datang dari sejumlah daerah, Presiden membacakan keppres tersebut
yang sempat tarik-ulur dan melalui pelbagai dinamika perdebatan tersebut.
Kita
masih ingat, banyak pihak dengan penuh percaya diri mendasarkan argumen
ketidaksetujuannya pada Hari Santri. Hal itu disebabkan oleh kekhawatiran akan
terjadinya potensi eksklusivisme sektarian yang akan memecah belah bangsa.
Argumen
ini, jika kita cermati dengan saksama, sesungguhnya cacat logika. Sebab,
pangkal utamanya ia gagal memahami bahwa tujuan Hari Santri bukan semata-mata
untuk memuliakan santri. Hari Santri diajukan bukan untuk mengukuhkan serta
memosisikan bahwa santri lebih istimewa di muka republik ini. Ia diajukan untuk
mengenang serta menghargai semangat nasionalisme sipil dari kalangan umat
beragama Islam yang dipompa oleh fatwa Resolusi Jihad.
Pangkal
alasan ini tampaknya lahir dan bersumber dari kekhawatiran dan pemahaman bahwa
Hari Santri berarti upaya atau usaha guna menjadikan santri memiliki nilai
lebih di mata negara. Ia akan memiliki hak-hak istimewa sehingga akan berujung
pada efek eksklusivisme.
Jika kita
dengan tidak gegabah memahami arti filosofis pengajuan Hari Santri, sangat
mungkin kita tidak akan tergesa-gesa menyimpulkan bahwa perubahan usulan Hari
Santri yang mulanya 1 Muharram diubah menjadi 22 Oktober—yang merujuk pada
fakta Resolusi Jihad yang digaungkan oleh Rais Akbar Nahdlatul Ulama, Hadratusy
Syaikh Hasyim Asy’ari—adalah hal yang tidak tepat. Kita juga akan tidak mudah
terjatuh pada lubang pemahaman sempit dan cenderung meringkas kesimpulan bahwa
sejatinya pemilihan 22 Oktober sebagai Hari Santri adalah salah satu usaha
mempersempit sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Kesimpulan
tersebut sungguh kesimpulan yang zonder logika dan terlalu mengada-ada. Sebab,
jika kita membaca buku klasik milik seorang jurnalis Mesir bertajuk Allamah
Hasyim Asy’ari Wadhiu Libinati Istiqlali Indonesia—yang sudah diterjemahkan
oleh KH A Mustofa Bisri ke dalam bahasa Indonesia berjudul Maha Guru Muhammad
Hasyim Asy’ari Peletak Kemerdekaan Indonesia—maka kita dengan segera akan bisa
berjumpa dengan jawabannya.
Dalam
buku biografi tersebut kita bisa menemukan bahwa sesungguhnya tonggak sejarah
kemerdekaan Indonesia dipicu oleh adanya fatwa Resolusi Jihad yang dipandegani
oleh KH M Hasyim Asy’ari. Artinya, memang benar bahwa Resolusi Jihad adalah
fakta periodik dari bagian kepingan sejarah kemerdekaan Indonesia. Namun, yang
penting untuk dicatat ialah bahwa periode itu adalah tonggak dari perlawanan
rakyat yang di kemudian hari bisa dijadikan ”argumentasi” dan ”bukti” bahwa
rakyat Indonesia masih ada dan ia berhak merdeka.
Berpaling
dari trikotomisasi
Banyak
kalangan berargumen dengan cara mencoba membangkitkan kembali mayat
trikotomisasi ala Greetz (1988) yang aneh dan tidak relevan itu. Argumen
tersebut kira-kira seperti ini: ”jika menggunakan skala yang dibuat Geertz
tentang trikotomisasi itu, maka Hari Santri akan berpotensi mengotakkan umat
Islam. Ia akan menjadi penanda buruk bagi kerukunan umat Islam di Indonesia.”
Argumen
di atas sesungguhnya argumen yang sangat usang dan nyaris tak relevan untuk
ditanggapi. Sebab, argumen seperti ini didasarkan atas konsepsi yang keliru,
yakni trikotomi santri-abangan-priayi-nya Geertz.
Santri,
meminjam Nur Syam (2007), adalah kategori yang didasarkan pada kualifikasi
ketaatan beragama, sementara priayi itu adalah konsepsi yang didasarkan pada
kelas sosial dalam sebuah struktur masyarakat Jawa. Mengukur diri kita
menggunakan kacamata orang lain dan cara pandang orang lain yang nyatanya
”terbata-bata” mengeja kita adalah pekerjaan yang keliru, kalau tidak mau
dikatakan salah.
Lebih
dari itu, jika kita lebih teliti dan tidak gegabah, kata santri—sebagaimana
tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)—berarti orang yang mendalami
agama Islam. Jadi jelas santri bukanlah milik golongan serta sekte tertentu.
Santri adalah predikat yang disematkan bagi segenap anak bangsa yang dengan
tekun mendalami agama Islam serta—dalam konteks Hari Santri—adalah mereka yang
memiliki rasa nasionalisme yang tinggi pada bangsa dan negara.
Penting
untuk dicatat bahwa dalam Ikrar Santri Indonesia yang dibacakan oleh segenap santri
di pelosok pesisir utara Pulau Jawa dalam Kirab Resolusi Jihad, yang
diselenggarakan kali kedua oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang
menyusuri radius tidak kurang dari 2.000 kilometer—yang berawal dari Banyuwangi
dan berujung di Jakarta—seluruh butir ikrar tersebut memuat rasa nasionalisme
dan kesetiaan kepada Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), dan juga UUD 1945.
Semangat
menolak diskriminasi dan penjajahan
Di sisi
lain, patut pula dikemukakan bahwa sejarah kemerdekaan adalah sejarah
kebangkitan kaum sipil yang agamis. Yang lebih penting lagi adalah bahwa
Resolusi Jihad yang menandai meletusnya pertempuran dahsyat di Surabaya tidak
hanya milik satu golongan dan ormas.
Sebut
saja, misalnya, nama Sutomo yang lebih dikenal dengan sebutan Bung Tomo. Ia
jelas tak pernah mengenyam pendidikan pesantren. Ada juga nama KH Sa’dullah
Khumaidi asal Jombang, yang merupakan tokoh Muhammadiyah, juga ikut berperan
aktif dalam melaksanakan fatwa jihad. Ia menjadi komandan batalyon di daerah
Buduran, Sidoarjo, yang membawahkan sekitar 1.500 anggota pasukannya.
Yang
lebih penting untuk dicatat adalah bahwa semangat Resolusi Jihad yang tertuang
dalam fatwa yang dikeluarkan oleh KH M Hasyim Asy’ari bukan semangat
peperangan. Fatwa Resolusi Jihad dilandasi oleh semangat untuk menolak
diskriminasi dan juga penjajahan. Semangat ini pada gilirannya menjadi dasar
serta landasan NU dalam bertindak sampai saat ini.
Apa yang
pernah dikatakan Mitsuo Nakamura (2007) bahwa NU adalah organisasi yang
didirikan dengan semangat perdamaian, kesetaraan, dan juga kemanusiaan adalah
benar adanya. Nahdlatul Ulama selalu mendasarkan tindakan praksisnya pada upaya
perdamaian, kesetaraan, dan kemanusiaan.
Walhasil,
Hari Santri adalah momentum yang tepat untuk kembali merenungi sekaligus
beraksi untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang damai dan sejahtera. Semoga....
[]
KOMPAS,
22 Oktober 2016
A Helmy
Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar