Hukum Wakaf dari Non-Muslim
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Pak Ustadz yang terhormat, saya mau
menanyakan persoalan yang terkait dengan wakaf. Ada orang non-Muslim mau
memberikan tanah atau mewakafkannya untuk dibangun masjid. Apakah hal itu
diperbolehkan dalam pandangan hukum Islam? Atas penjelasannya kami ucapkan
terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Nama dirahasiakan
Jawaban:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Wakaf sebagaimana yang kami pahami adalah berorientasi pada manfaat dari harta-benda yang diwakafkan. Pemanfaatan itu terfokus hanya pada kebaikan semata untuk mendekatkan diri kepada Allah. Konsekuensinya, dzat harta benda wakaf itu sendiri tidak bisa ditasharrufkan karena dalam wakaf yang ditasharrufkan adalah manfaatnya sehingga harta-bendanya masih tetap utuh.
وَحَدُّهُ
فِي الشَّرْعِ حَبْسُ مَالٍ يُمْكِنُ الْإِنْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ
مَمْنُوعٌ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي عَيْنِهِ وَتَصَرُّفُ مَنَافِعِهِ فِي الْبِرِّ
تَقَرُّبًا إِلَى اللهِ
Artinya, “Definisi wakaf menurut syara‘
adalah menahan harta-benda yang memungkinkan untuk mengambil manfaatnya beserta
kekalnya dzat harta-benda itu sendiri, dilarang untuk menasaharrufkan dzatnya.
Sedang menasharrufkan kemanfaatannya itu dalam hal kebaikan dengan tujuan
mendekatkan diri kepada Allah SWT,” (Lihat Taqiyyuddin Abi Bakr bin Muhammad
Al-Husaini Al-Hishni, Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishar, Surabaya,
Darul Ilmi, tt, juz 1, halaman 256).
Dalam wakaf tentunya selalu mengandaikan adanya pihak yang mewakafkan dan harta benda yang diwakafkan. Persoalan kemudian timbul apabila yang mewakafkan adalah orang non-Muslim seperti yang dideskripiskan dalam pertanyaan di atas. Dalam pandangan kami, ini sangat menarik, karena ada non-Muslim mau memberikan tanahnya kepada orang muslim untuk dibuat sebagai tempat ibadah.
Lantas bagaimana sikap para ulama dalam menanggapi persoalan ini? Setidaknya ada dua pendapat. Salah satunya adalah yang memperbolehkan. Pandangan ini dianut oleh para ulama dari kalangan Madzhab Syafi’i.
Setidaknya ada empat rukun wakaf, yaitu harta benda yang diwakafkan (mawquf), pihak penerima wakaf (mawquf ‘alaih), pernyataan tentang wakaf (shigah), dan pihak pemberi wakaf (waqif). Yang menjadi titik fokus dalam pembahasan ini adalah terkait pihak pemberi wakaf.
Menurut ulama dari kalangan Madzhab Syafi’i—sebagaimana terdokumentasikan dalam kitab Fathul Wahhab—syarat pemberi wakaf adalah pihak yang nyata-nyata tidak dalam tekanan (al-mukhtar). Dengan kata lain ia adalah pihak yang dengan sukarela memberikan harta-bendanya untuk diwakafkan di samping juga sebagai orang yang memiliki kecakapan dalam berbuat kebajikan (ahlu tabarru’).
Menariknya, persyaratan yang diajukan terkait pemberi wakaf tidak menyebutkan ia harus seorang Muslim. Konsekuensinya adalah keabsahan wakaf dari non-Muslim. Sebab, tidak ada persyaratan harus seorang Muslim. Karena itu kemudian dengan tegas Syekh Zakariya Al-Anshari dalam Fathul Wahhab-nya menyatakan keabsahan wakaf non-Muslim meskipun untuk masjid.
أَرْكَانُهُ) أَرْبَعَةٌ (مَوْقُوْفٌ وَمَوْقُوْفٌ عَلَيْهِ وَصِيْغَةٌ
وَوَاقِفٌ وَشُرِطَ فِيْهِ) أَيْ فِي الْوَاقِفِ (كَوْنُهُ مُخْتَارًا) وَالتَّصْرِيْحُ بِهِ مِنْ زِيَادَتِيْ (أَهْلُ تَبَرُّعٍ)
فَيَصِحُّ مِنْ كَافِرٍ وَلَوْ لِمَسْجِدٍ
Artinya, “Rukun wakaf ada empat yaitu harta
benda yang diwakafkan, pihak penerima wakaf, pernyataan wakaf, dan pihak yang
mewakafkan. Disyaratakan pihak yang memberi wakaf adalah ia orang yang secara
sukarela memberikannya (mukhtar), dan penjelasan tambahan dari saya dalam hal
ini adalah ia merupakan ahlu tabarru’ (orang cakap dalam kebajikan). Karenanya
sah wakaf dari orang non-Muslim dan walaupun wakaf tersebut untuk masjid,”
(Lihat Syekh Zakariya Al-Anshari, Fathul Wahhab bi Syarhi Manhajith Thullab,
Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1418 H, juz I, halaman 440).
Pandangan ini tampak jelas melihat dari sisi tujuan fundamental wakaf itu sendiri yaitu dalam rangka taqarrub. Taqarrub di sini mesti dilihat dari kacamata Islam. Karenanya maka tidak dianggap penting apakah wakaf sebagai ibadah menurut keyakinan pihak yang mewakafkan atau tidak. Yang terpenting adalah sepanjang wakaf tersebut memiliki nilai qurbah atau ibadah dalam pandangan Islam maka dapat dibenarkan.
Karena itu kemudian dikatakan bahwa yang menjadi acuan dalam soal wakaf adalah sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah dalam pandangan Islam. Sehingga misalnya wakaf non-Muslim untuk masjid adalah sah, sebab dalam pandangan Islam itu dianggap sebagai qurbah. Berbeda jika ia mewakafkan tanahnya misalnya untuk gereja, jelas tidak sah karena itu bukan termasuk kategori qurbah dalam pandangan Islam.
وَقَالَ
الشَّافِعِيَّةُ وَالحْنَاَبِلَةُ: اَلْعِبْرَةُ بِكَوْنِ الْوَقْفِ قُرْبَةً فِي
نَظَرِ الْإِسْلَامِ. سَوَاءٌ أَكَانَ قُرْبَةً فِي اعْتِقَادِ الْوَاقِفِ أَمْ لا
فَيَصِحُّ وَقْفُ الْكَاِفرِ عَلَى الْمَسْجِدِ؛ لِأَنَّهُ قُرْبَةٌ فِي نَظَرِ
الْإِسْلَامِ، وَلَا يَصِحُّ وَقْفُهُ عَلَى كَنِيسَةٍ أَوْ بَيْتِ نَارٍ
وَنَحْوِهِمَا؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ قُرْبَةً فِي نَظَرِ الْإِسْلَامِ.
Artinya, “Para ulama dari kalangan madzhab
Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa yang menjadi acuan dalam soal wakaf adalah
qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) yang sesuai dengan pandangan Islam, baik
itu selaras dengan keyakinan pemberi wakaf atau tidak. Karenanya, sah wakaf
non-Muslim untuk masjid karena dalam pandangan Islam itu merupakan bentuk dari
qurbah. Tidak sah wakaf untuk gereja, baitun nar (tempat penyembahan api), atau
sejenisnya karena itu bukan merupakan qurbah dalam pandangan Islam,” (Lihat
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Damaskus, Darul Fikr, cet
ke-XII, juz X, halaman 330).
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik dan bermanfaat. Mari kita doakan saudara non-Muslim yang mendermakan hartanya untuk masjid agar segera mendapatkan petunjuk untuk masuk Islam. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar