Kisah Nyai Wahid
Hasyim Mendidik Gus Dur dan Kelima Adiknya
Nyai Wahid Hasyim dan keluarga/Dok: Perpustakaan PBNU |
Tidak ada yang berat
di pundak Nyai Hj Sholehah, ibu Abdurrahman Addakhil yang saat ini dikenal
sebagai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan kelima adik Gus Dur saat ditinggal
untuk selama-lamanya oleh suami tercinta KH Abdul Wahid Hasyim. Wahid Hasyim
wafat pada 19 April 1953 dengan meninggalkan 6 orang anak yang masih duduk di
sekolah dasar.
Keenam anak tersebut
yaitu Abdurrahaman Addakhil berusia 14 tahun dan baru lulus sekolah dasar saat
itu. Konon nama ini berasal dari nama tokoh Bani Umayyah yang mendirikan Daulah
Umayyah di Andalusia. Kedua, Aisyah berusia 12 tahun dan baru kelas 5 sekolah
dasar, ketiga Salahuddin Al-Ayyubi yang kini dikenal Salahuddin Wahid berusia
10 tahun dan baru kelas 3 sekolah dasar.
Keempat, Umar
Al-Faruq berusia 9 tahun dan baru duduk di kelas 2 sekolah dasar, kelima Lilik
Khadijah yang baru berusia 5 tahun dan masih belajar di taman kanak-kanak,
terakhir Muhammad Hasyim yang saat itu masih di dalam kandungan Nyai Sholehah
yang baru berusia 3 bulan.
Ketika itu mereka
menempati rumah di Jalan Matraman Barat atau di Taman Amir Hamzah. Perasaan
sedih kala itu memang menggelayut dalam diri Nyai Sholehah ketika 6 orang
putra-putrinya ditinggal KH Wahid Hasyim padahal mereka masih memerlukan kasih
sayang seorang ayah. Wahid Hasyim meninggal dunia akibat kecelakaan mobil yang
menimpanya saat perjalanan antara Jakarta dan Bandung.
Beban untuk mendidik
hingga menyekolahkan keenam anaknya itu betul-betul sangat dirasakan oleh Nyai
Sholehah karena tidak banyak peninggalan suaminya selain ilmu dan perjuangan
yang tiada tara. Nyai Sholehah menuturkan, suaminya adalah seorang pejuang yang
tentunya tidak banyak perhatiannya pada harta benda selain keikhlasan. Pada
saat itu, kisahnya, kondisi dan keadaan negara tidak semaju sekarang ini.
“Jadi, walaupun jadi
Menteri juga tidak banyak uang. Wal hasil tidak ada persiapan ekonomi apa-apa
dan tidak meninggalkan warisan harta yang cukup untuk keperluan hidup dan
pendidikan anak-anak,” tutur Nyai Sholehah (Risalah Islamyah, 1977: 28).
Namun demikian, bagi
Nyai Sholehah yang terpenting suaminya telah meninggalkan ilmu pengetahuan dan
pelajaran hidup yang sangat berharga untuk bekal anak-anaknya di masa yang akan
datang. Hal ini menjadi keyakinan dirinya dalam setiap usaha yang dilakukannya
agar keenam anaknya dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, termasuk
ketika Nyai Sholehah membuka usaha jualan beras.
“Dalam usaha dagang
beras itu, seingat saya bisa mendapat keuntungan Rp2,50 alias seringgit tiap
kuintalnya,” ujar Nyai Sholehah (1977: 29).
Uang satu ringgit
kala itu memang bukan uang yang sedikit sehingga usaha dagangnya itu mampu
mencukupi bagi kehidupan dan pendidikan anak-anaknya. Usaha dagang beras
terbilang sukses, Nyai Sholehah juga berusaha membuka usaha-usaha lainnya,
seperti usaha leveransir (semacam jasa penyedia barang, red) bagi pembangunan
Tanjung Priok kala itu.
Bagi Nyai Sholehah,
meskipun suaminya seorang menteri, pejuang bangsa dan salah satu perumus dasar
negara Indonesia, tidak lantas membuatnya bergantung pada sederet kiprah dan
prestasi tersebut. Biarlah bangsa Indonesia yang menilai, mengingat, atau
bahkan memberikan penghargaan setinggi-tingginya bagi KH Wahid Hasyim. Dalam
hal inilah Nyai Sholehah berprinsip bahwa tidak ada usaha yang tidak pantas
dalam mencari rezeki halal, tentu asal usahanya halal pula.
Atas kerja kerasnya
tersebut, Nyai Sholehah berhasil mencukupi kebutuhan bagi pendidikan keenam
anaknya. Apalagi 6 anaknya tersebut terbilang anak-anak yang cerdas dan sholeh.
Semua anaknya itu dididik dan disekolahkan di Jakarta untuk pertama kali,
kemudian ada yang melanjutkan ke Jawa Tengah (Pesantren Tegal Rejo), ITB, dan
Mesir.
Dalam hal pendidikan
agama, ketika suaminya masih hidup, anak-anak Nyai Sholehah sering mengaji
kepada ayahnya sendiri di tengah kesibukannya menjabat sebagai Menteri
Agama. Tradisi shalat jamaah pun diterapkan betul oleh Nyai Sholehah untuk
mewujudkan kedisiplinan anak-anaknya. Setiap maghrib harus berjamaah, lalu
dilanjut dengan mengaji Al-Qur’an bersama-sama. Khusus malam Jumat, mereka juga
diharuskan membaca tahlil secara berjamaah.
Dalam pandangan Nyai
Sholehah, pendidikan agama sangat penting dalam membina moral anak-anak
sehingga peran apapun yang dijalani anak-anaknya kelak, mereka tetap terjaga
untuk taat kepada Tuhannya. Selain itu, pendidikan rohani juga mampu menjadikan
anak tidak mudah minder (kecil hati) karena Islam mendidik manusia berhati
besar tetapi tidak sombong.
Pendidikan berharga
yang selalu ditekankan oleh Nyai Sholehah juga terkait dengan berusaha menjadi
diri sendiri, beramal dengan karya sendiri, tidak menggantungkan dan membonceng
orang lain, terutama membonceng kebesaran orang tua. Karena menurutnya, lebih
baik menjadi orang besar karena karyanya sendiri daripada menjadi besar karena
orang tuanya. Oleh sebab itu dalam pandangan Nyai Sholehah, bekal akhlak dan
ilmu pengetahuan mempunyai peran yang sangat penting. []
Disarikan dari
Majalah Risalah Islamyah Jakarta, Edisi Nomor 7-IX, tahun 1977.
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar