Hakikat Makna Hijrah
Oleh: Nasaruddin Umar
SECARA literal hijrah berarti memutuskan, meninggalkan, dan
berpisah. Secara populer hijrah berarti momentum transformasi dan mobilitas
sosial dari satu kondisi kehidupan destruktif ke dalam kehidupan konstruktif,
dari spirit juang sentrifugal ke sentripetal; dari pola hidup
primitif-tradisional ke modern-profesional, dari masyarakat tribalisme yang
nomaden ke masyarakat ummah yang madani; dari gaya hidup konsumtif ke
produktif, dari pola pikir negasi ke pola pikir titik temu, dari pandangan
buruk sangka (suuzan) ke baik sangka (husnuzan), dari pendekatan kekerasan ke
kelembutan, dan dari sikap emosional ke sikap rasional.
Momentum hijrah digunakan juga sebagai penanggalan dunia Islam
yang mengacu ke perhitungan peredaran bulan. Berbeda penanggalan
Masehi/Miladiah yang mengacu ke perhitungan peredaran matahari. Dipilihnya
momentum hijrah sebagai nama penanggalan dunia Islam tidak lepas dari besarnya
pengaruh peristiwa hijrah dalam perkembangan dunia Islam. Hijrahnya nabi dari
Mekkah ke Madinah meraih keberhasilan dalam strategi perjuangan dan
perkembangan umat. Itulah sebabnya Pemerintahan Khalifah Umar memilih momentum
hijrah sebagai nama penanggalan dunia Islam. Berbeda kalender Miladiah/Masehi
dihubungkan dengan kelahiran Nabi Isa atau Yesus Kristus menurut keyakinan umat
kristiani.
Nabi dan para sahabat kelihatannya lebih memilih mengikuti model
penanggalan bangsa Arab pra-Islam ketimbang menggunakan kalender Miladiah.
Bangsa Arab pra-Islam menggunakan sistem penanggalan lunisolar dan tahunnya
dihubungkan dengan peristiwa terpenting dalam tahun itu. Misalnya Nabi Muhammad
dilahirkan pada Senin, 12 Rabiulawal tahun Gajah. Disebut Tahun Gajah karena
pada tahun itu terjadi kejadian dahsyat, yaitu musnahnya pasukan gajah yang dipimpin
langsung oleh raja Abrahah dari Yaman.
Inisiatif Khalifah Umar mengumpulkan para tokoh dan para sahabat
yang berada di Madinah untuk menyepakati sistem penanggalan pemerintahan.
Musyawarah itu muncul berbagai usul tentang momentum yang akan digunakan
penanggalan hijrah. Setidaknya ada lima usul yang muncul dalam musyawarah itu,
yaitu: 1) Momentum kelahiran Nabi Muhammad SAW. (Aam al-Fill, 571 M). 2)
Momentum pengangkatan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul (‘Aam al-Bi’tsah, 610
M). 3) Momentum isra Mikraj Nabi Muhammad SAW. 4) Momentum wafatnya Nabi
Muhammad SAW serta 5) Momentum hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke
Madinah atau pisahnya negeri syirik ke negeri mukmin. Pada waktu itu, Mekkah
dinamakan negeri syirik atau bumi syirik. Pendapat terakhir ini diusulkan Ali
bin Abi Thalib dan kemudian dipilih Khalifah Umar.
Cara para ulama memaknai momentum hijrah lebih dititikberatkan
pada makna substansi dari hijrah itu sendiri. Misalnya, Nabi Muhammad SAW
berhasil mengangkat martabat umat manusia dari berbagai tradisi negatif
masyarakat jahiliah pra-Islam menjadi masyarakat madani. Sebuah masyarakat yang
menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan (‘adalah), kemanusiaan (insaniah),
persamaan (musawa), musyawarah (syura), kesetaraan gender (‘adalah
al-jinsiyyah), dan amanah. Nabi secara gemilang menghijrahkan umatnya dari
masyarakat kabilah (qabiliyyah) ke dalam masyarakat ummah.
Dalam masyarakat kabilah promosi karier hanya bergulir di kalangan
pria dan turunan bangsawan. Kaum perempuan dan laki-laki nonbangsawan tidak
pernah bermimpi menjadi pemimpin. Nabi Muhammad SAW terbukti mempromosikan
kelompok-kelompok marginal menjadi orang penting. Abu Hurairah mantan budak
menjadi pemimpin Baitul Mal, semacam Perbendaharaan Negara. Salman al-Farisi
yang tadinya nonmuslim asing (‘ajami) menjadi penasihat militer. Usamah ibn
Zaid menjadi panglima angkatan perang walaupun umurnya di bawah 20 tahun. Nabi
pun menunjuk Ali ibn Abi Thalib sebagai anggota Khulafa Rasyidin, semacam
kabinet Nabi.
Kalangan ulama tasawuf memaknai hijrah lebih bersifat spiritual.
Setelah manusia hijrah ke bawah (tanazul), dari kampung halaman rohaninya di
langit surga ke bumi penderitaan, konsep hijrah dimaknai dengan hijrah ke atas
(taraqqi), yaitu kembalinya anak manusia ke kampung halamannya semula. Untuk
menembus lapis-lapis itu, manusia setiap saat harus hijrah, misalnya, hijrah dari
tahmid ke syukur, dari syukur ke syakur, dari mukhlis menjadi mukhlas, dari
taib ke tawwab, dari shabir ke shabur, dan dari khauf ke khasya.
Bagi bangsa Indonesia momentum hijrah amat penting karena termasuk
bangsa dan negara yang heterogen dan plural. Penguatan otonomi daerah secara
ekstrem sampai menyingkirkan keberadaan warga masyarakat bangsa dari luar
daerahnya bisa berarti hijrah dari konsep sentripetal ke sentrifugal, yang
tentu merugikan bangsa. Dan pada akhirnya juga merugikan daerahnya sendiri.
Contoh lain munculnya fenomena deindonesianisasi pemahaman ajaran agama,
khususnya Islam. Jika itu dibiarkan, itu berpotensi menimbulkan masalah
mendasar dalam kelangsungan kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.
Perkembangan Indonesia baru, khususnya pasca reformasi 1998 yang
bertumpang-tindih dengan arus deras globalisasi, menyebabkan longgarnya tatanan
nilai-nilai agama dan kebangsaan di Tanah Air. Tanpa bermaksud menafikan aspek
positif reformasi dan menggugat globalisasi, kenyataan menunjukkan adanya
hal-hal yang bersifat pemahaman yang perlu diluruskan. Tentu saja bukan doktrin
ajaran agamanya, melainkan artikulasi dalil-dalil agama yang bisa dikategorikan
melenceng dari nilai-nilai substansi agama itu sendiri.
Pemahaman yang menyebabkan memudarnya nilai-nilai keadaban publik,
melemahnya sikap toleransi beragama, menipisnya resistensi kemungkaran,
melemahnya spirit amar makruf, meningkatnya kekerasan atas nama agama, dan
menggejalanya desakralisasi ajaran agama menjadi contoh hijrah yang destruktif.
Yang kita harapkan tentunya konsep hijrah yang mencerahkan, yakni terwujudnya
sebuah umat ideal (khaira ummah) di dalam wadah NKRI, sebagaimana diamanahkan
para founding fathers bangsa kita.
Dalam berbagai kesempatan kita sering menyaksikan atas nama
reformasi, karakter bangsa dikaburkan. Atas nama demokrasi, kesantunan publik
ditanggalkan; atas nama keterbukaan, aib orang lain dibongkar; atas nama
kebebasan pers, kode etik ditinggalkan. Atas nama nasionalisme, nilai-nilai
universal direduksi; atas nama globalisasi, kearifan lokal dimuseumkan; atas
nama kemodernan, norma-norma lokal digulung. Selain itu, atas nama kebebasan
beragama, aliran sesat dan penyimpangan ajaran agama ditoleransi; atas nama
kebebasan berserikat, ormas terlarang dilindungi.
Atas nama kebebasan akademik, guru-ulama dimaki-maki; atas nama
transparansi, rahasia negara dibocorkan; atas nama pasar bebas, pedagang kaki
lima digulung. Dan atas nama pemberantasan korupsi, fitnah merajalela; atas
nama kerahasiaan bank, aset nasabah dibobol orang dalam; atas nama peningkatan
asli daerah, pariwisata syirik dan seksual dibuka. Dan juga atas nama HAM,
homoseksual-lesbian dihalalkan.
Masih banyak lagi yang tadinya mapan dan berfungsi merekatkan rasa
keindonesiaan, tetapi mengalami penggusuran.
Melakukan pembiaran terhadap fenomena tersebut berarti membiarkan
tergerusnya nilai-nilai luhur keagamaan yang berkeindonesiaan. Kita memang
tidak mungkin set back ke nostalgia nilai-nilai keindonesiaan masa lalu. Kita
juga sadar bahwa beberapa nilai-nilai itu memerlukan peninjauan kembali untuk
disesuaikan dengan kondisi objektif zaman. Namun, kristalisasi nilai-nilai suci
keagamaan yang simetris dengan nilai-nilai luhur kebangsaan tetap harus
dipertahankan.
Prinsip dialektik perubahan sosial NU: Memelihara warisan luhur
masa lalu yang masih relevan dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik
(al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah),
relevan juga untuk dijadikan sebagai prinsip dalam mengukur strategi budaya
bangsa kita. []
MEDIA INDONESIA, 04 Oktober 2016
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar