Kamis, 13 Oktober 2016

(Ngaji of the Day) Pantaskah Menyebarluaskan Foto Orang Sakit di Media Sosial?



Pantaskah Menyebarluaskan Foto Orang Sakit di Media Sosial?

Tak diragukan, Islam sangat menganjurkan tiap orang untuk berempati kepada sesama, termasuk menjenguk saat datang musibah sakit ataupun kematian. Anjuran ini tersebar dalam banyak teks hadits. Orang yang dijenguk pun bisa siapa saja, mulai dari keluarga, tetangga, ulama, hingga orang-orang yang membenci kita.

Menjenguk orang sakit adalah bagian dari ibadah yang utama. Saking pentingnya ibadah ini, dalam sebuah hadits riwayat Imam ath-Thabrani dijelaskan bahwa di antara kewajiban terhadap tetangga adalah menjenguknya kala sakit dan mengiringi jenazahnya saat meninggal dunia.

Penjenguk orang yang tertimpa musibah memiliki nilai lebih karena memang ia bukan sekadar penonton. Ada aspek solidaritas dalam aktivitas tersebut. Kehadirannya dibutuhkan sebab orang-orang yang sakit memerlukan ketenangan jiwa, motivasi, semangat, dan juga doa. Peran para penjenguk adalah memberikan itu semua. Lebih berfaedah lagi bila ada uluran tangan dalam bentuk lain, seperti biaya pengobatan atau sejenisnya.

Lantas, apakah tingkah sebagian penjenguk yang mengambil gambar orang sakit dan memublikasikannya ke media sosial seperti jamak dilakukan belakangan ini memenuhi etika tersebut? Foto-foto yang diumbar umumnya melukiskan kondisi pasien yang sedang tergolek lemah di atas ranjang, kadang bertelanjang dada, dan lengkap dengan cairan infus dan tancapan selang di rongga hidung dan mulut. Seberapa penting mengekspos gambar-gambar seperti ini?

Islam sangat menghormati privasi seseorang. Islam memuliakan manusia dan menjamin terlindunginya hak yang menyangkut kehormatan pribadinya. Termasuk jika privasi tersebut menyangkut dosa personal atau aib lainnya. Sebuah hadits mengingatkan:

مَنْ سَتَرَ مُسْلمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنيا وَالآخِرَة

“Barangsiapa menutup (aib/cacat) seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat.” (HR Muslim)

Orang-orang yang sakit bisa jadi sangat tidak menginginkan gambar tentang keadaan dirinya yang ringkih, nelangsa, dan tak berdaya, tersebar bebas di media sosial semacam Facebook, Twitter, Whatsapp, Instagram, BBM, atau lainnya. Walaupun, ia tahu ungkapan simpati dan doa pasti bakal membludak—bukan langsung kepada dirinya yang sedang sakit melainkan kepada akun si penyebar gambar. Tubuh adalah bagian dari citra kehormatan seseorang. Jika dalam kondisi normal sehari-hari saja seseorang berusaha berpenampilan bagus di hadapan orang lain, bagaimana mungkin dalam situasi “buruk” seperti itu rela ditonton banyak orang?

Para penjenguk barangkali bermaksud baik dengan mempublikasikan foto orang sakit. Bukan pamer kesalehan sosial, tapi sedang menggalang solidaritas dan doa dari lebih banyak orang lain. Atau mungkin sebatas menyampaikan informasi ke masyarakat bahwa si A tengah sakit. Namun, apakah penyebaran foto-foto itu sudah memperoleh izin dari yang bersangkutan? Tidak adakah cara yang lebih santun dan elegan dalam menggalang simpati selain dengan mengumbar foto-foto penderitaan dan ketidakberdayaan pasien?

Di sinilah perlunya dimengerti bahwa prinsip menjenguk orang sakit adalah meringankan beban penderitaan, atau minimal tak menambah ketidaknyamanannya. Niat baik memang penting, namun cara dan adab dalam mengejawantahkan niat tersebut juga tak kalah penting. Karena menyangkut privasi seseorang, maka yang harus ditekankan adalah restu atau izin dari si pemilik privasi. Karena menyangkut pula ranah publik, konten yang ditampilkannya pun seyogianya tak melanggar kepantasan di mata umum (‘urf). Garis etis ini tak hanya berlaku untuk foto penderita sakit, tapi juga gambar jenazah, korban kecelakaan, atau sejenisnya. Wallâhu a‘lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar