KH Ahmad Dahlan: Ahli
Falak Nusantara
Makam KH Ahmad Dahlan
berada di sisi timur Makam KH Sholeh Darat di Makam Bergota Semarang.
Salah satu ulama
Nusantara yang dikenal ahli dalam bidang ilmu falak adalah KH Ahmad Dahlan.
Kiai Dahlan lahir di Termas Pacitan Jawa Timur 1862 dan wafat di Semarang 1911.
Makam beliau berada di sisi timur Makam KH Sholeh Darat di Makam Bergota
Semarang. Menyebut nama Ahmad Dahlan memang orang menjadi tertuju pada sosok
pendiri Muhammadiyah. Dan ternyata dua sosok bernama yang sama itu, KH Ahmad
Dahlan Termas dan KH Ahmad Dahlan Yogyakarta, sama-sama mengaji di Pondok
Pesantren KH Sholeh Darat.
KH Ahmad Dahlan
Termas (sebagian orang menyebut KH Ahmad Dahlan Semarang) merupakan putra dari
Abdullah bin Abdul Mannan bin Demang Dipomenggolo I yang merupakan keturunan
Ketok Jenggot punggawa Keraton Surakarta, tokoh cikal bakal berdirinya daerah
Termas. Dipomenggolo I merupakan seorang santri ahli agama yang berdarah
bangsawan yang mendirikan Pesantren Semanten. Salah satu putra Dipomenggolo
bernama Mas Bagus Sudarso juga dikirim belajar agama di Pondok Pesantren
Tegalsari Ponorogo. Di pesantren yang juga mengkaji budaya ini diasuh Bagus
Burhan atau Ronggowarsito.
Kakak dari KH Ahmad
Dahlan adalah KH Mahfudz Termas (1842-1920) dan adiknya bernama KH Dimyati
Termas (wafat 1934). Tiga bersaudara ini memiliki keilmuan yang sangat luar
biasa. Dunia pesantren sangat mengakui peran besar kakak-beradik ini dalam
keilmuan-keilmuan agama Islam terutama paham ahlussunnah wal jama’ah.
Sosok KH Ahmad Dahlan
yang sangat pandai tidak bisa dilepaskan dari kiprah keluarganya. Keluarga
Termas memang sudah dikenal melahirkan ulama Nusantara yang sangat
berkontribusi besar dalam dunia pesantren. Misalnya KH Mahfudz Termas dikenal
sebagai ulama yang memiliki puluhan karya kitab dan spesialis di bidang hadits,
telah mencetak murid yang menjadi ulama pesantren.
Keahlian KH Ahmad
Dahlan Termas dalam bidang ilmu falak ditandai dengan penyebutan namanya dengan
sebutan KH Ahmad Dahlan Alfalaky. Kepandaiannya dalam ilmu agama, menjadikannya
diambil sebagai menantu KH Sholeh Darat. Ia dinikahkan dengan putri KH Sholeh
Darat bernama RA Siti Zahra dari jalur istri RA Siti Aminah binti Sayyid Ali.
Dari pernikahan ini, pada tahun 1895, melahirkan anak bernama Raden Ahmad Al
Hadi yang kelak ketika dewasa menjadi tokoh Islam di Jembrana Bali.
KH Ahmad Dahlan
memulai pendidikannya dari para kiai yang ada di Termas kemudian melanjutkan
belajar kepada kakaknya KH Mahfudz Termas yang ada di Makkah. Saat di tanah
suci inilah KH Ahmad Dahlan bersahabat dengan ahli falak Syaikh Muhammad Hasan
Asy’ari Bawean Madura (wafat 1921). Syaikh Muhammad Hasan Asy’ari mempunyai
karya Kitab Muntaha Nataiji al Aqwal.
Dalam buku Materpiece
Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri 1320-1945 karya Zainul Milal
Bizawie disebutkan bahwa KH Ahmad Dahlan dan Syaikh Muhammad Hasan Asy’ari
berangkat menuju beberapa wilayah Arab dan menuju ke Al Azhar Kairo. Di Kairo
keduanya berjumpa dengan dua ulama Nusantara: Syaikh Jamil Djambek dan Syaikh
Ahmad Thahir Jalaludin. Selama di Kairo keduanya mengkhatamkan kitab induk ilmu
falak karya Syaikh Husain Zaid Al Mishri, Al Mathla’ fi Al Sa’id fi Hisabi al
Kawakib ‘ala Rashdi al Jadid yang ditulis awal abad 19.
Setelah selesai
belajar di Arab, kemudian ia pulang ke tanah air. Berdasarkan saran dari
kakaknya, sesampai di tanah air KH Ahmad Dahlan bersama dengan Syaikh Hasan
Asy’ari diminta untuk belajar agama dengan KH Sholeh Darat di Semarang. Maka
pesan itu dilaksanakan. KH Ahmad Dahlan mengaji dengan KH Sholeh Darat di
Semarang. Dan sudah menjadi tradisi para ulama Nusantara, para santri yang
sudah belajar di Arab tetap diminta belajar di Indonesia lagi, terutama dengan
KH Sholeh Darat atau KH Cholil Bangkalan.
Karya-karya di bidang
Falak yang dilahirkan oleh KH Ahmad Dahlan adalah: Tadzkiratu al Ikhwan fi
Ba’dli Tawarikhi wal ‘Amali al Falakiyati (selesai ditulis 1901), Natijah al
Miqat (selesai ditulis 1903) dan Bulughu al Wathar (selesai ditulis 27 Dzul
Qa’dah 1320 di Darat Semarang). Ditengarai, masih banyak karya-karya KH Ahmad
Dahlan yang sampai sekarang belum terlacak.
Dalam kitab
Tadzkiratu al Ikhwan fi Ba’dli Tawarikhi wal ‘Amali al Falakiyati ditegaskan
oleh Zainul Milal Bizawie sebagai kitab hisab awal bulan pertama yang ditulis
oleh ulama Nusantara. Ini menjawab atas dugaan selama ini bahwa kitab hisab
awal bulan yang pertama ditulis adalah Sullam Nayyirin yang baru ditulis 1925.
Pola kitab karya KH Ahmad Dahlan masih menggunakan angka Abajadun dengan memakai
Zaij Ulugh Beik.
Kitab Natijah al
Miqatberisi tentang kaidah ilmu falak tentang penggunaan rubu’ mujayyab dalam
penentuan awal waktu shalat dan arah kiblat. Dalam kitab ini juga dirangkumkan
pemikiran-pemikiran guru KH Ahmad Dahlan: Syaikh Husain Zaid Mesir, Syaikh
Abdurrahman bin Ahmad Mesir, Syaikh Muhammad bin Yusuf Makkah dan KH Sholeh
Darat. Kemudian pada tahun 1930, kitab Natijah al Miqatdisyarahi oleh Syaikh
Ihsan Jampes (wafat 1952) dengan kitabnyaTashrihu al Ibarat.
Kitab Bulughu al
Watharini merupakan kitab falak pertama yang ditulis ulama Nusantara dengan
sistem haqiqi tahqiqi. Kitab ini selesai ditulis bersamaan dengan kitab Muntaha
Nataij al Aqwal karya Syaikh Hasan Asy’ari Bawean. Induk kitab yang dirujuk
dalam membuat Bulughu al Wathardan Muntaha Nataij al Aqwal berasal dari ilmu
zaij kitab Al Mathla’ fi Al Sa’id fi Hisabi al Kawakib ‘ala Rashdi al Jadid
karya Syaikh Husain Zaid Al Mishri.
Khazanah keilmuan
falak yang dimiliki oleh KH Ahmad Dahlan dan Syaikh Hasan Asy’ari Bawean ini
yang turut serta mewarnai perkembangan ilmu falak di Pondok Pesantren. Dinamika
keilmuan falak di dunia pesantren selalu merujuk pada kajian-kajian ilmiah ulama
Nusantara yang mampu mengembangkan ilmu falak yang berasal dari Arab.
KH Ahmad Dahlan dalam
kesehariannya, bersama keluarga menempati rumah di sekitar Masjid Agung Kauman
Semarang. KH Ahmad Dahlan selain dikenal sebagai ulama, juga ahli dalam bidang
dagang dan tergolong berekonomi kuat (punya banyak toko di Pasar Johar). Bekal
itulah yang digunakan untuk berjuang membangun dakwah Islam di Kota Semarang.
Dan sepeninggal KH Sholeh Darat pada tahun 18 Desember 1903, Pondok Pesantren
Darat diasuh oleh KH Ahmad Dahlan.
Selama kurang lebih
delapan tahun, KH Ahmad Dahlan menggantikan guru sekaligus mertuanya mendidik
para santri yang belajar ilmu agama di Pondok Pesantren Darat. Dengan segala
dedikasi penuh, para santri yang mengaji di Pondok tersebut diajar sebagaimana
cara KH Sholeh Darat mendidik. Termasuk KH Ahmad Dahlan mengajarkan ilmu falak
kepada para santri-santrinya dengan menggunakan tiga kitab falak yang
ditulisnya.
Keahlian ilmu falak
yang dimiliki oleh KH Ahmad Dahlan tidak pernah lepas dari keahlian falak yang
dimiliki oleh KH Sholeh Darat. Dalam beberapa kisah disebutkan bahwa KH Sholeh
Darat yang merupakan guru dari ulama Jawa ini sangat tepat dalam menghitung
waktu shalat dan penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawwal.
Proses penegasan
dalam penentuan waktu shalat dan Ramadhan ia tegaskan dalam beberapa karyanya.
Termasuk keterbukaan KH Sholeh Darat dalam mengawal tradisi “Dugderan” di Kota
Semarang sebagai bentuk kepedulian ilmu falak dan ilmu sosial. Dimana ketika
masyarakat Semarang ingin menyambut kehadiran Ramadhan dirayakan dengan
bunyi-bunyi bedug dan petasan, maka disebut dug der (dug bunyi bedug dan der
bunyi petasan).
Keahlian falak yang
dimiliki KH Sholeh Darat adalah ketika diminta menghitung jumlah palawija yang
ada di dalam karung oleh Belanda. Dengan sangat cepat berdasar ilmu hitung
falaknya, maka KH Sholeh Darat memberikan jawaban dengan tepat. Kekaguman
Belanda pada prediksi jumlah isi palawija itulah yang menjadikan Belanda kagum
dengan ilmu falak KH Sholeh Darat.
Putra KH Ahmad Dahlan
yang bernama Raden Ahmad Al Hadi berdakwah menuju Loloan Timur Jembrana Bali
adalah karena mendapatkan isyarat dari KH Cholil Bangkalan (1820-1925) selaku
gurunya. Selain itu, setelah KH Ahmad Dahlan wafat, Ibunya menikah lagi dengan
KH Amir dan pindah ke Simbang Kulon Pekalongan. Dengan bekal ilmu agama yang
dimiliki itu, putra KH Ahmad Dahlan bernama Ahmad ini berdakwah ke Bali.
Sebagaimana ayahnya,
Raden Ahmad Al Hadi sangat senang dengan ilmu pengetahuan agama. Walaupun sejak
kecil sudah dilatih berdagang di Pasar Johar Semarang, namun Raden Ahmad Al
Hadi tetap semangat mengaji. Sehingga di usia 16 tahun ketika ia ditinggal
wafat KH Ahmad Dahlan ia ikut belajar di Pondok Pesantren ayah tirinya, KH
Amir. Setelah itu ia merantau dari pondok ke pondok hingga pernah belajar
Makkah.
Sebagaimana
dijelaskan oleh KH Fathur RA (anak kandung Raden Ahmad bin Ahmad Dahlan), bahwa
Raden Ahmad sangat tinggi minat belajarnya. Pondok Pesantren yang dijadikan
tempat mencari ilmu adalah: Pondok Pesantren Kaliwungu (berteman dengan KH Abul
Choir selama dua tahun), Pondok Pesantren Buntet Cirebon (belajar ilmu silat),
Pondok Pesantren Kiai Umar Sarang (belajar ilmu alat), Pondok Pesantren KH
Munawwir Krapyak Yogyakarta (belajar Al Qur’an), Pondok Pesantren KH Dimyati
Termas, Pondok Pesantren KH Idris Jamsaren Solo.
Setelah tamat dari
Pondok Manbaul Ulum Jamsaren Solo dengan bekal Beslit dari Governoor Belanda
Jawa Tengah, Raden Ahmad melanjutkan belajar ke Makkah dan Madinah berguru
dengan pamannya sendiri, KH Mahfudz Termas.
Sepulang dari Arab,
Raden Ahmad masih mengaji dengan KH M Hasyim Asy’ari di Jombang (satu tahun)
dan KH Cholil Bangkalan Madura (satu tahun). Saat di Bangkalan inilah ia
bertemu dengan KH Kusairi Shiddiq (mertua KH Abdul Hamid Pasuruan). Perintah
Kiai Cholil pada Raden Ahmad adalah menuju Bali bertemu dengan murid Kiai
Cholil yang bernama Tuan Guru Haji Muhammad di Loloan Timur Jembrana Bali. Dan
ia jalani hingga mendirikan Pondok Pesantren Manba’ul Ulum di Jembrana Bali.
Nama “Manba’ul Ulum“ adalah tabarukan dengan almamaternya saat mondok di
Jamsaren.Wallahu a’lam. []
M. Rikza Chamami,
Sekretaris Lakpesdam NU Kota Semarang dan Dosen UIN Walisongo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar