Refleksi
1 Muharam Momentum Hijriah
Oleh:
Komaruddin Hidayat
SECARA
tegas dan jelas Alquran menyatakan kehadiran Islam yang dibawa Rasulullah
Muhammad SAW itu merupakan misi kerahmatan bagi semesta. Islam dalam arti
generiknya sesungguhnya mencakup semua agama yang dibawa seluruh rasul Allah
sejak Nabi Adam dan setelahnya. Jadi, pada dasarnya semua agama yang berasal
dari Allah itu adalah sama dan identik pesannya, sebagai wujud kasih-Nya untuk
memimbing manusia ke jalan yang benar, baik, dan membahagiakan.
Setiap agama umumnya memiliki kalender masing-masing untuk menandai hari-hari dan peristiwa besar yang kemudian dirayakan dengan upacara kenegaraan ataupun keagamaan. Peristiwa keagamaan ini pada urutannya melebur ke dalam ranah budaya sehingga upacara keagamaan dan keagamaan saling mengisi. Termasuk juga penetapan kalender agama dan bangsa saling memperkaya. Misalnya, sebagai bangsa besar Tiongkok memiliki kalender sendiri untuk menentukan hari-hari besar mereka. Dalam dunia akademis dan perdagangan, tampaknya yang dominan ialah kalender Masehi, yaitu dimulai dari peristiwa kelahiran Yesus Kristus.
Umat Islam sesungguhnya memiliki kalender tersendiri meskipun mereka juga menggunakan kalender Masehi. Bertepatan pada Ahad, 2 Oktober 2016 ini jatuh 1 Muharam 1438 Hijriah, sebagai awal tahun baru yang diciptakan dunia Islam. Disebut kalender Hijriah karena momentumnya memang bukan diambil dari hari kelahiran Nabi Muhammad, melainkan peristiwa perjuangannya yang dipandang sangat strategis dan historis dalam sejarah Islam, yaitu peristiwa hijrah dari Mekah ke Madinah. Secara historis peristiwa hijrah ini merupakan mata rantai yang sangat menentukan kemenangan dan perkembangan penyebaran Islam. Umat Islam begitu berat menghadapi tekanan musuh sewaktu di Mekah, lalu atas izin Allah berpindah dan melakukan konsolidasi di Madinah. Di kota ini umat Islam semakin besar jumlahnya, fondasi ajaran Islam semakin mapan, dan pada gilirannya Rasulullah dan umatnya kembali lagi ke Mekah dan menaklukkannya dengan cara damai.
Sebuah
konvensi
Kota Mekah dan Madinah ialah dua kota yang menjadi basis dan saksi masa-masa awal pembentukan ajaran dan umat Islam yang hidup sezaman dengan Rasulullah. Masa inilah yang selalu menjadi rujukan dan sumber inspirasi bagi pembinaan umat Islam setelahnya dari zaman ke zaman. Oleh karena itu, setiap tiba tahun baru Hijriah, umat Islam sedunia selalu mengadakan upacara peringatan untuk mengenang kembali dan meneladani Rasulullah dan para sahabatnya bagaimana membangun komunitas muslim yang beradab, tercerahkan, yang berhasil gemilang mengganti kehidupan tidak beradab (jahiliah) menjadi sangat beradab (civilized).
Pada awalnya kalender itu memang sebuah konvensi sebagai tanda perjalanan waktu, dengan mandasarkan hitungan putaran bumi, matahari, dan bulan yang kemudian melahirkan tonggak-tonggak waktu sejak dari menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan abad. Akan tetapi, untuk selanjutnya kalender selalu muncul dalam kesadaran batin kita bagaikan sebuah rumah yang berjalan (moving house) yang di dalamnya menyimpan seribu satu kenangan dan catatan peristiwa yang berjalan menyertai kita. Bahkan, seluruh aktivitas kita pun selalu dibayangi dan dibatasi waktu.
Jam tangan dan kalender tak pernah luput dari kesadaran kita sehari-hari. Di mana pun kita memasuki dunia kerja, di situ akan selalu bertemu dengan informasi tanggal, hari, bulan, dan tahun.
Bahkan
juga jam. Jam tangan yang awal mulanya diciptakan manusia untuk mengetahui
informasi waktu, sekarang posisinya menjadi berbalik. Bagi kalangan eksekutif
yang serbasibuk, bahkan selalu merasa dikejar-kejar jam dan waktu.
Sampai-sampai muncul ungkapan, kalau bisa seminggu itu menjadi sepuluh hari
karena merasa sempit waktu yang tersedia untuk menyelesaikan berbagai
pekerjaan.
Setiap orang memiliki jatah waktu 24 jam sehari semalam untuk melakukan aktivitas. Meski jatah waktunya sama, hasilnya ternyata berbeda-beda. Setiap orang juga berbeda dalam memaknai dan merasakan jalannya jarum jam dari menit ke menit. Ada yang merasa waktu berlalu dengan cepat, ada yang merasa lambat. Dengan demikian, rentang waktu ternyata bukan sekadar jumlah dan akumulasi hitungan menit, melainkan sangat berkaitan dengan suasana kejiwaan seseorang. Inilah yang saya maksudkan psikologi waktu.
Waktu
metafisik
Ketika kita menghitung waktu secara empiris, dengan mendasarkan jumlah edar bumi mengelilingi matahari, di sana sesungguhnya ada kategori waktu yang bersifat metafisik (metaphysical time). Bahwa kita semua mengada mesti mengasumsikan dan meniscayakan berada dalam ruang dan waktu. Ketika kita berpikir tentang waktu, kita sudah berada dalam waktu. Makanya selalu muncul pertanyaan baku terhadap keberadaan seseorang; di mana dan kapan? Di mana menunjukkan ruang, kapan menunjukkan waktu. Bahkan, terhadap orang yang sudah meninggal pun berlaku pertanyaan; di mana dia sekarang? Berapa lama dia tinggal di alam kubur? Apakah langsung pindah ke surga atau neraka? Neraka itu ada batasnya atau tidak? Kalau kekal, apakah sama dengan kekalnya Tuhan? Demikianlah, ini termasuk kategori waktu metafisik. Sedangkan Tuhan yang mahaabsolut diyakini berada di luar ruang dan waktu yang digambarkan dan dialami manusia. Namun, di atas semuanya itu, ada sebuah pertanyaan yang sangat fundamental. Apakah hidup ini sekadar kita jalani bagaikan sebuah mesin atau hewan tanpa makna? Apakah ketika usia semakin tua tak ubahnya mesin tua yang kekuatan dan harganya juga kian merosot dan diobral murah? Menarik direnungkan, ketika orang mengadakan peringatan hari ulang tahun, yang diucapkan bukannya panjang usianya, melainkan panjang umurnya. Dalam bahasa Arab, istilah umur masih seakar dengan kata makmur.
Artinya,
orang dikatakan panjang umurnya jika hidupnya produktif, mendatangkan
kemakmuran bagi lingkungannya. Orang yang panjang usianya, tapi defisit amal
kebajikannya dan tidak produktif bagi lingkungannya, disebut bangkrut hidupnya.
Lafii khusrin, kata Alquran. Sungguh hidup yang merugi.
Adalah iman dan banyaknya amal kebajikan yang membuat panjang umur seseorang. Bahkan, meski seseorang telah dikatakan mati, sesungguhnya umurnya tetap berjalan selama warisan kebajikannya masih dirasakan orang banyak, yang dalam Islam disebut amal jariah, atau amal kebaikan yang sustainable. Yang berkelanjutan melebihi usia seseorang. Oleh karenanya, sungguh tepat nasihat orang bijak; waktu itu ibarat pedang yang sangat tajam. Jika engkau tidak mampu menjinakkan dan menggunakannya dengan benar, engkau sendiri yang akan tertebas oleh pedang itu. Hidup adalah pilihan, dan pilihan menentukan nasib. Kalau hidup hanya memuja ketampanan fisik dan kekayaan harta, satu-satu akan menjauhi dan meninggalkan kita. Peringatan tahun baru Hijriah dalam konteks berbangsa adalah jangan pernah kita lengah memanfaatkan momentum, terlena oleh aspek prosedural dan seremonial dalam berdemokrasi, tetapi melupakan substansi. Bahwa kita semua wajib mengawal semua proses politik untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. []
Adalah iman dan banyaknya amal kebajikan yang membuat panjang umur seseorang. Bahkan, meski seseorang telah dikatakan mati, sesungguhnya umurnya tetap berjalan selama warisan kebajikannya masih dirasakan orang banyak, yang dalam Islam disebut amal jariah, atau amal kebaikan yang sustainable. Yang berkelanjutan melebihi usia seseorang. Oleh karenanya, sungguh tepat nasihat orang bijak; waktu itu ibarat pedang yang sangat tajam. Jika engkau tidak mampu menjinakkan dan menggunakannya dengan benar, engkau sendiri yang akan tertebas oleh pedang itu. Hidup adalah pilihan, dan pilihan menentukan nasib. Kalau hidup hanya memuja ketampanan fisik dan kekayaan harta, satu-satu akan menjauhi dan meninggalkan kita. Peringatan tahun baru Hijriah dalam konteks berbangsa adalah jangan pernah kita lengah memanfaatkan momentum, terlena oleh aspek prosedural dan seremonial dalam berdemokrasi, tetapi melupakan substansi. Bahwa kita semua wajib mengawal semua proses politik untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. []
MEDIA
INDONESIA, 1 October 2016
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar